Bantuan untuk Klarisa

914 132 5
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

Semua orang sibuk membahas tentang Darka yang ternyata baru tau jika Klarisa hamil lalu anaknya meninggal.

"Kita bersalah." Rasa sedih begitu masuk ke relung hati Bellona. "Kalau waktu itu kita nggak keras ke Darka dan terus dekati Klarisa, nggak akan begini, Sayang."

Bellona berbicara berhadapan dengan Abdi yang melirik ke arah Darka yang babak belur karena dihajar olehnya semalam.

"Pa ... Ma, udah. Mau menyesal seperti apa cucu kalian nggak akan ada di sini. Sekarang fokus Darka mau apa dan gimana." Taka menyela percakapan kedua orang tuanya.

Abdi mendengkus dengan tangan membekap mulutnya, pandangan tetap ke arah Darka yang terpejam.

"Ajeng," panggilnya. Ajeng mendekat. "Bisa bawa Darka ke sana?"

"Untuk apa, Pa? Bisnis Darka semua aku dan Mas Taka yang handle, semua udah berjalan dan lagi berkembang. Kalau mendadak kepemilikan berubah lagi, apa kita nggak dianggap main-main?" tukasnya tegas.

Abdi menganguk tipis. Keputusan itu salah. Istri Taka mendekat, mencoba memberi pandangan.

"Pa, kita kasih Darka kesempatan mulai sendiri. Koneksi Papa dan Mama jalan tercepat. Kita semua tau juga paham, dengan ini Darka nggak akan pergi jauh dari Klarisa."

Semua mata menatap istri Taka dengan serius.

"Rasa sesal Darka, akan berubah menjadi rasa tanggung jawab besar karena menghancurkan masa depan Klarisa yang dia anggap sepele. Let him growing up. Papa dan Mama bisa bantu lewat kasih pekerjaan di Jakarta, kita juga banyak rekanan bisnis hebat. Darka tinggal pilih mau ambil yang--"

"Nggak, Mbak," sela Darka dengan suara parau. Arah pandangan mereka terpusat ke pria babak belur dengan selang infus serta vitamin di punggung tangan.

"Darka ...," lirih Bellona menghampiri putra bungsunya.

"Ma, Pa, kalian masih sibuk dari dulu. Dari Darka kecil. Darka bisa urus semua masalah sendiri. Darka ke sini cuma mau minta maaf dan menyesal karena perbuatan bejat Darka ke Klarisa." Ia menjeda. Bellona meraih jemari tangan Darka, digenggamnya erat.

"Klarisa nggak seharusnya menderita."

Darka mendorong pipi bagian dalamnya dengan lidah, ia tertawa pelan.

"Seharusnya Klarisa ... dia ... dia bisa ...." Kembali lidahnya kelu. Air mata Darka luruh perlahan.

"I want her to be happy, i want her to spread her wings and fly to the sky no matter what the nature will falling down or ...." Bibir Darka gemetar menahan isak. "Dia Ibu dari anak Darka yang Darka nggak pantas dipanggil Ayah." Ia mengatur napasnya karena terasa sesak di dalam dada.

"I want to protect her with all my stregth. And i promise, i will take her life back."

Mendengar semua itu, tak ada yang tak pilu. Semua mendekat ke ranjang.

"Maafin Papa Mama, kami sadar Darka, terlalu sibuk dan waktu untuk kamu sangat sedikit. Pak Cik cerita semua keluh kesah kamu dan ... maaf karena Papa keras didik kamu bahkan hukum kamu sampai seperti ini." Abdinegara mencium kening Darka lama.

"No body is perfect, Pa. Orang tua juga nggak ada yang sempurna." Darka membalas dengan senyum merekah.

"Do your best, our little brother. Call us if you need some hand. We will help you." Taka mengusak kepala Darka, jika Ajeng, ia menciumi gemas pipi memar Darka.

"Kamu tetap adik kecil kami yang pemarah, ketus, tapi cengeng. Kita semua ada di belakang kamu." Ajeng menghapus jejak air mata Darka dengan jemarinya.

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang