Tiga

6 1 0
                                    

Aku memang sudah mengagumi puisi Wind selama kurang-lebih tiga bulanan ini. Namun ada kalanya, puisi milik Wind tidak dipajang di mading. Seperti halnya hari ini. Padahal aku sudah sengaja datang pagi untuk melihat puisi siapa yang dipajang di mading. Gagal deh rencanaku untuk memperlihatkan pada Inggit seperti apa tulisan Wind yang sesungguhnya.

Namun sepertinya takdir memang sedang mengolok-olokku pagi ini. Inggit yang lebih sering datang mepet jam masuk, malah sudah kelihatan batang hidungnya setelah lima belas menit aku berada di kelas. Apa takdir tengah memperingatkanku agar tidak terlalu berlebihan menyukai sesuatu?

Pagi ini, Inggit mengucir dua rambutnya menjadi bulatan di dua sisi kepala. Membuatnya tampak seperti beruang lucu di kartun. Sangat kontras dengan muka datarnya selama ini.

"Udah ada puisinya di mading?" tanya Inggit langsung, bahkan sebelum bokongnya mendarat di kursi.

Aku menghela napas pendek, lantas menopang dagu. "Puisinya udah ada di mading. Noh, lihat aja sendiri."

"Tapi?" tanya Inggit. Mungkin karena ia merasa aku begitu lesu saat menjawab pertanyaannya.

"Ya ... gitu deh," balasku.

"Gitu deh gimana?" kejarnya penasaran.

"Ya, puisinya emang udah ketempel tu di mading."

"Terus?"

"Bukan puisi yang kita harepin." Aku sedikit keki saat menjawabnya. Satu sisi dongkol, satu sisi lagi kecewa. Kenapa harus puisi orang lain, sih, yang terpajang di mading?

"Puisi orang lain?" tebak Inggit, tepat sasaran.

Aku mengangguk singkat.

"Kok bisa?"

"Ya, bisa aja, sih. Toh mading kan buat siapa aja yang mau berkarya. Lagian puisi yang mau dipajang di mading, kan, pasti udah diseleksi sama anak-anak mading. Mungkin minggu ini, puisi si Wind nggak lolos aja."

Aku mencoba bersikap realistis. Sebenarnya ini dikhusukan agar aku tidak terlalu kecewa dengan ekspektasiku sendiri. Lagi pula, memang benar, sih, siapa saja boleh bebas mengirimkan karya-karyanya ke anak ekskul mading. Nanti anak-anak ekskul mading sendiri yang menyeleksi karya siapa aja yang layak dipajang dan mana yang tidak layak.

"Masuk waiting list mungkin," ucap Inggit yang aku yakini untuk menghiburku saja.

Aku mengangguk mengiakan.

"Iya, bisa jadi."

Aku tidak terlalu mengubris Inggit lagi sebelum ia akhirnya berkata, "Lo kan banyak kenal anak-anak OSIS tuh, kenapa nggak lo tanya aja ke mereka?"

"Tanya apa?" sahutku, acuh tak acuh.

"Ya lo bisa nanya siapa yang ngirim puisi atas nama Wind. Bentukannya gimana. Kapan dan di mana dia ngasih puisinya ke anak mading. Kan nggak mungkin gitu kalau puisinya jatuh dari langit terus ditempel gitu aja sama anak-anak mading."

Usulan Inggit ada benarnya. Namun kembali lagi, untuk saat ini aku belum mau mencari tahu siapa sebenarnya sosok bernama Wind ini. Aku belum sepenasaran itu dan masih dalam tahap mengagumi karyanya saja.

Hal itu pun aku utarakan ke Inggit yang langsung dicibir gadis itu, "Katanya jatuh cinta sama kata-kata dia. Tapi kalo jatuh cinta kok nggak penasaran dan berusaha nyari tahu?"

Benar juga kata-kata Inggit. Namun entah kenapa, memang untuk saat ini, aku masih belum mau mencari tahu. Entah kapan. Atau mungkin sebenarnya aku belum sepenuhnya jatuh cinta dengan kata-kata Wind?

Your PoemTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang