Duniaku berbeda dengan dunia kalian.
Duniaku unik, berbeda dengan dunia kalian. Duniaku tak memiliki dongeng, berbeda dengan dunia kalian. Duniaku dipenuhi percikan api busuk, berbeda dengan dunia kalian—mungkin.
Namun, terdapat satu kesamaan yang pasti di antara dunia kita.
Duniaku hancur, sama seperti dunia kalian.
Kalimat ketiga itu bukanlah dusta. Ya, tak ada dongeng, hanya ada legenda—atau mungkin lebih tepatnya cerita nyata turun-temurun. Cerita nyata yang bukan ilusi belaka. Cerita nyata yang tak direkayasa. Cerita nyata yang dibuktikan di depan mata.
Legenda iblis. Legenda yang turun-temurun sejak ratusan—atau mungkin jutaan—abad, yakni sejak Adam dan Hawa turun dari kayangan menuju bentala untuk menyucikan dosa-dosanya.
Iblis tercipta jauh sebelum keberadaan manusia. Sosok yang terjelma dari api biru neraka, tercipta oleh sentuhan kuasa-Nya. Sosok yang menghabiskan sisa detak jantungnya untuk tunduk pada-Nya; menjalankan segala perintah-Nya. Hingga kemunculan suatu gumpalan tanah; sosok paling mulia, makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna.
Bagaimana bisa makhluk dari tanah itu jauh lebih mulia dariku? Tentu dia adalah makhluk yang lebih rendah dariku. Begitulah pikir sang iblis.
Tentu saja para iblis berpikir demikian. Api merupakan elemen cahaya, senantiasa berada di atas, halus, panas, dan identik dengan cahaya langit yang bertaburan di cakrawala. Sebaliknya, tanah adalah elemen berwarna gelap, berada di bawah, kasar, lembab, dan jauh dari langit. Namun, api memiliki satu kekurangan, yakni dapat membakar suatu properti dalam waktu yang singkat. Dan tentu api tersebut telah memberangsangkan hatinya yang mulia dan suci.
Lalu, Tuhan memberi perintah untuk bersujud pada Adam—makhluk tanah itu. Tentu saja mereka enggan dan tinggi hati. Muak dengan perintah-Nya kali ini, akhirnya para iblis itu membangkang pada-Nya. Hati mereka tertutup rapat, tak lagi sudi menjalankan perintah-Nya—jika bersangkutan dengan Adam.
Tuhan tak segan untuk menjerumuskan iblis ke neraka-Nya yang penuh dengan kobaran merah yang membara di setiap penjurunya.
Kemudian, sang iblis bersuara dengan parau, "Tuhan kami Yang Maha Pengasih, tolong dengarkanlah hamba-Mu yang hanyalah abu hangus tanpa kekuasaan-Mu ini."
Berbagai kata keluar dari mulutnya, membuat suatu kesepakatan. Kesepakatan untuk menghasut Adam beserta keturunannya. Untuk menguji keimanan makhluk tanah itu pada Sang Pencipta.
Tentu saja, sang iblis kini keluar dari kobaran api itu. Lalu, menciptakan realita dalam tiap ucapannya. Ia pergi ke kayangan, menggoda pikiran beserta hati Adam.
Hingga suatu saat, makhluk tanah itu dihujani rasa kesepian. Tuhan—yang tak tega melihat ciptaan-Nya dalam masa terpuruk seperti itu—menciptakan seorang teman untuknya. Layaknya seorang ayah yang memberi hadiah kecil pada putrinya, diam-diam ia menciptakan sosok Hawa dari tulang rusuk Adam, seperti halnya perkembangbiakan pohon singkong dengan menggunakan bagian tubuh singkong itu sendiri.
Tentu saja Adam merasa amat bahagia kala mengetahui bahwa kini ia bukanlah satu-satunya manusia di kayangan. Tak ada yang dapat mendeskripsikan ulasan senyuman di wajahnya saat itu. Hawa juga tak kalah bahagia, senyuman merekah juga terukir di wajah halusnya. Mereka kini layaknya sedang berlomba-lomba siapa yang layak menempati posisi pertama sebagai manusia paling bahagia—walaupun hanya ada dua manusia di kala itu.
Detik demi ratusan juta detik dihabiskan untuk menikmati segalanya di kayangan. Seluruh permintaan pasti diperkenankan, tanpa terkecuali—selain satu hal. Buah yang berpokok di pohon keabadian ialah satu dari satu hal bertegah di kayangan. Yah, itu bukanlah suatu rahasia terselubung bagi penghuni kahyangan—tak terkecuali Adam dan pasangannya, Hawa. Pohon keabadian itu menjadi terkucilkan karena semua penghuni menghindarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sade: Iblis dalam Lingkaran
FantasyBagaimana jika manusia dan iblis hidup berdampingan; dalam satu dunia, tak terpisah oleh cermin semesta? (Update sesuai mood, hehe)