El Hana

58 6 3
                                    

Sudah Miqdad duga bahwa di usianya yang akan menginjak 27 tahun ia pasti diminta untuk segera menikah. Tetapi ia tidak mengira bahwa ibunya akan menjodohkannya dengan anak seorang kerabat jauh mereka.

"Orang Minang perantau sama kayak kita kok, Bang. Ibu sudah cocok banget. Apalagi anaknya itu ramah, sopan, dan dulu waktu kecil sungguh menggemaskan. Kalian pernah ketemu waktu TK. Eh, tapi seingat Ibu kalian juga satu kampus di Jogja. Kenal nggak?"

Miqdad menggeleng. Ia tidak yakin punya kenalan bernama Hana. Toh, ibunya sering sekali menceritakan gadis itu. Terutama sebulan terakhir sebelum acara silaturami itu digelar.

Ibunya selalu bersemangat membahas perempuan yang akan dijodohkan dengan Miqdad. Itu sudah terjadi sejak dua tahun yang lalu. Setelah ibunya tahu bahwa Miqdad tidak berhubungan serius dengan perempuan mana pun.

"Kamu sudah janji sama Ibu, loh, Bang. Mau sampai kapan kamu nungguin perempuan yang nggak tahu sekarang ada di mana keberadaannya?"

Iya, Miqdad tahu itu. Ia tidak mungkin lupa. Bagaimana bisa lupa jika ingatannya akan perempuan itu saja masih melekat di dalam pikiran dan hatinya. Sebuah kutukan cinta pertama. Barangkali mitos itu benar.

"Jadi namanya siapa, Bu?" Miqdad sebenarnya bertanya retoris. Agar pikirannya tidak kembali penuh akan perempuan yang seharusnya telah ia lupakan sejak dua tahun lalu itu.

"Elhana. Hana. Ingat ya Bang, minggu depan kita silaturahmi ke rumah keluarga Hana."

***

Miqdad mendesah. Ia sungguh tidak percaya bagaimana pernikahan ini terjadi begitu cepat. Ia bahkan sudah lupa kapan ia setuju. Ibunya mengatur segalanya dengan cermat dan sempurna.  

Ah, ibunya. 

Bagaimana ia bisa menentang ibu yang sangat disayanginya itu. Apalagi ia sudah menyetujui kesepakatan yang terjadi dengan ibunya dua tahun lalu. Jika ia tidak segera mencari gadis untuk dinikahi, maka ia harus menyetujui perjodohan ini.

Lalu tentang Elhana, mengapa perempuan itu setuju saja dengan perjodohan ini? Semudah itu bahkan. Miqdad kira ia tidak akan langsung menyetujuinya, mengingat usia mereka juga masih 27 tahun, dan orang-orang seusia mereka memang lebih fokus mengejar karier daripada buru-buru berkeluarga.

Tapi mungkin mereka punya latar belakang kelurga yang sama. Pernikahan adalah urusan dua keluarga besar. Bukan hanya urusan laki-laki dan perempuan. Seperti aturan tak tertulis di dalam keluarga besarnya. Warisan turun temurun entah sejak kapan.

Satu bulan usia pernikahan mereka, namun Miqdad belum benar-benar mengenal Elhana. Yang ia tahu perempuan itu adalah seorang ahli gizi di sebuah rumah sakit ibu dan anak yang cukup terkenal di kota ini.

Ia berangkat kerja pukul 06.15. Sarapan satu gelas air madu dan telur rebus. Sesekali ia juga membawa bekal yang entah sejak kapan ia siapkan. Ia juga menyiapkan sarapan untuk Miqdad jika perempuan itu memasak di pagi hari.  Dan pada pukul 17.00, perempuan itu sudah di rumah. Bersantai dengan membaca buku atau menonton serial di tv. Atau tidak keluar kamarnya sama sekali.

Rutinitas itu terjadi seminggu setelah mereka menikah dan tinggal di rumah yang disiapkan keluarga Miqdad untuk mereka. Di minggu ketiga dan keempat, Miqdad izin tidak pulang ke rumah karena ia harus pergi ke Singapura. Pekerjaannya sebagai analis bisnis di perusahaan multinasional memang menuntutnya untuk pergi ke luar negeri beberapa kali dalam setahun.

Meski sebenarnya itu hanya alasannya saja. Ia sedang menghindari Hana. Istri yang baru dinikahinya sebulan lalu.

***

Sore itu menjelang jam pulang kantor, Hana menuju musala untuk salat Asar. Ia tidak akan buru-buru pulang karena ia tahu suaminya baru akan tiba beberapa hari lagi. Meski masih canggung, namun ia berusaha untuk mengirim pesan dan bertukar kabar. Walau ia cukup payah memulai percakapan mereka jika bertemu langsung.

"Han!" sapaan riang itu bersumber dari kubikel sebelah musala. Tempat anak laboratorium berada. Dan pemilik suara itu adalah Sarah, lengkapnya adalah Julia Sarah. Sahabatnya dari SMA. Ia seorang analis kesehatan di rumah sakit yang sama dengan Hana.

"Sar, belum pulang?" Hana menemuinya. Mereka duduk di depan ruang tunggu laboratorium.

"Habis ini. Kamu tumben pulang sore? Biasanya tiap jam pulang langsung buru-buru. Cie, pengantin baru mah gitu. Apalagi kalo suaminya macem Miqdad gitu. Ya nggak ya nggak?" ucap Sarah menggodanya.

Hana hanya tersenyum tipis, namun mengabaikan ledekan Sarah. "Mending temenin makan malam aja yuk habis ini. Masih sore, sih. Tapi lagi pengen makan burger."

Sarah yang baru mengecek ponselnya, buru-buru menoleh pada Hana. Semenjak Hana jadi ahli gizi, Sarah dapat menghitung dengan jari berapa kali ia akan memakan burger selama setahun. Dan setelah berbulan-bulan tidak makan makanan cepat saji itu, ia tiba-tiba menginginkannya.

"Ngidam?" tanya Sarah curiga.

Hana menggeleng, "cuma pengen."

Sarah makin curiga. Jika tidak mengidam, hanya satu hal yang terlintas dalam otaknya. Hana sedang tidak dalam kondisi hati yang baik. 

Maka sebagai sahabat, ia hanya mengangguk menyanggupi keinginan sahabat karibnya itu tanpa banyak bertanya.

---


Supporting Cast Reveal

Julia Sarah

Julia Sarah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Parafrasa CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang