01. Luka di atas luka

11 6 3
                                    

PRANG!

HANCUR. Vas bunga yang terbuat dari kaca itu seketika hancur saat di banting ke permukaan lantai. Serpihan-serpihan kacanya berderai, menjamah hampir ke seluruh sudut ruangan.

Mirza memejamkan mata, saat merasa kakinya yang tak tertutupi alas itu terkena serpihan kaca. Rasa pedih di kakinya tak dapat terelakkan, tapi saat ini, rasa pedih di hatinya lebih besar dan begitu bergejolak.

Perlahan-lahan, Mirza kembali membuka matanya yang terpejam. Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah, sorot mata penuh kemarahan milik Ayahnya tengah menatapnya nyalang.

Mirza tahu, saat ini, pria dewasa yang menjabat sebagai ayah kandungnya itu tengah marah besar. Napas ayahnya itu pun terdengar memburu, seraya mencengkram sebuah kertas tak berdosa yang kini telah kusut.

Hening tertinggal, menyisakan atmosfer menegangkan disana.

Tangan yang mencengkram sebuah kertas itu terangkat, "Bisa kamu jelaskan apa maksud surat ini, hah?" Ayahnya bertanya.

"Ayah di panggil guru bimbingan konseling karena---"

Belum sempat kalimat itu berlanjut, tanpa aba-aba ayahnya langsung membuang kertas itu ke lantai dan beralih mencengkram kerah seragam milik anak laki-lakinya itu.

"Kamu anak sialan. Bagaimana bisa kamu memukul guru mu sendiri? Saya bahkan tak pernah mendidik kamu untuk seperti itu, bajingan. Dasar tidak tahu etika dan sopan santun,"

Walau nada itu terkesan tenang, tetapi rasanya tiap suku katanya begitu menusuk sangat dalam di hati Mirza.

Remaja laki-laki di dalam cengkraman sang ayah itu hanya dapat terkekeh pelan. Tidak, itu bukan kekehan melawan. Hanya kekehan lah satu-satunya yang bisa mewakilkan perasaan yang sudah tak dapat terdeskripsi itu. Menangis? Bahkan air mata pun sudah tak mampu mendeskripsikan rasa sakit dihatinya.

Merasa bahwa sang anak seolah meremehkannya, ia mendorong tubuh anaknya itu hingga membentur kerasnya permukaan dinding. Tak peduli bahwa anaknya merasakan sakit, tanpa jeda ia melayangkan pukulan demi pukulan pada raga payah Mirza yang hanya terdiam tanpa perlawanan.

"Ayo, pukul saya! Lawan saya, bajingan! Lawan saya seperti kamu dengan hebatnya melawan guru kamu di video itu!"

Lagi, Mirza hanya terdiam. Sorot matanya sepeti kosong, menatap sang ayah yang penuh api kemarahan itu dengan tatapan penuh luka yang sulit diartikan.

Sang ayah terkekeh remeh menatap raga tak berdaya anak laki-lakinya itu. Dia menganggap sang anak hanya berandalan kecil yang tengah mencari perhatian. Tidak, dia tidak paham betul-betul tentang anaknya. Dia tidak tahu cerita sebetulnya yang membuat anaknya bisa terlibat perkelahian dengan gurunya itu. Pria dewasa dengan gelar ayah itu hanya menghakimi anaknya tanpa mendengarkan lebih dulu alasan sebenarnya.

Saat ia hendak melayangkan pukulan kembali pada tubuh tak berdosa yang tengah dihakimi sepihak, Mirza tiba-tiba berkata lirih.

"Kenapa, yah? Kenapa ayah selalu menghakimi Mirza seperti ini tanpa dengarkan kejadian yang sebenarnya?"

Tatapan mata yang tadinya menatap kosong kini menatap penuh tanya pada ayahnya. Ayah sempat terdiam, di beberapa detik setelahnya, Ia menyunggingkan senyum sinis. Matanya lagi-lagi menatap dengan sorot meremehkan.

"Apa yang perlu di dengarkan lagi, bajinga---"

"DIA BERBUAT TINDAKAN FATAL, AYAH! GURU BAJINGAN ITU MELUKAI ANAK PEREMPUAN AYAH! DIA BEJAD!" Mirza tiba-tiba berteriak kalap, memotong kalimat sang ayah. Dadanya naik turun penuh emosi, tangannya terkepal kuat-kuat.

Sejenak, Pria yang hampir memasuki ke kepala empat itu terkesiap atas bentakan anaknya.

"Seandainya ayah tahu alasan sebenarnya, apa ayah akan marah dan meminta maaf setelah ini?" Nada bicaranya berubah menjadi lebih tenang, walau, jika di telisik di sorot matanya, ada rasa amarah yang begitu besar tengah berusaha di padamkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ESPERANZA: dua insan yang terlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang