“Tidak ada yang berubah. Semua masih baik-baik saja selama kamu mau berusaha.”- Alona Zealinne Artharendra
•••
Dua hal yang membuat Alona membenci hari rabu. Yang pertama karena hari Rabu adalah hari dimana dirinya harus melaksanakan piket kelas. Dan yang kedua adalah karena hari rabu kelasnya mengadakan pelajaran Biologi. Yang menjadi masalah Alona bukan pada mata pelajarannya. Namun pada guru yang mengajar. Jika saja guru yang tidak memiliki rambut atau istilahnya botak tersebut tidak memiliki sensitivitas tinggi padanya. Mungkin Alona juga akan mulai menyukai pelajarannya.
Jika di tanya mengapa guru yang di sebut-sebut memiliki watak galak tersebut tidak menyukai Alona, maka alasannya adalah karena Alona tidak pernah serius saat dirinya mengajar. Tentu Alona menyangkal. Tidak. Lebih tepatnya memberi sedikit pembelaan untuk dirinya sendiri. Bukan apa-apa. Hanya saja Alona terkadang tidak mengerti penjelasan guru tersebut dan lebih memilih tidur di kelas.
“Zafran! Piket!”
Alona berkacak pinggang dengan sapu panjang di tangan kanannya. Matanya menatap tajam sosok tampan yang kini berada di hadapannya. Kalau kata Alona, harusnya laki-laki bernama Zafran ini harus rajin-rajin piket sebelum di suruh. Mengapa? Karena dirinya menjabat sebagai wakil ketua kelas. Dan anehnya, tidak ada tanggung jawab seorang wakil dalam dirinya. Salahkan Zafran yang mendaftarkan diri menjadi calon wakil ketua kelas saat bosan. Bodohnya. Kebanyakan siswa malah memilihnya.
Bukannya menuruti permintaan Alona, Zafran malah berniat ingin kabur. Untungnya Alona dengan cepat langsung menahan kerah bajunya. Jika tidak, mungkin lelaki itu akan benar-benar kabur dan menghindari tugasnya.
“Piket gak Lo?!”
“Hari ini gak usah piket aja, yok. Sekali-kali gitu. Lo gak capek piket Mulu?”
Pertanyaan yang mungkin sangat menyebalkan di telinga Alona. Setiap hari rabu hanya pertanyaan tak berfaedah ini yang Alona dengar dari Zafran. Jika tidak pasti katanya capek. Kalau bukan karena kursi-kursi di kelas berat, jadinya Zafran males piket. Terlalu banyak alasan memang.
“Ya capek, lah! Makannya Lo bantuin gue piket!”
“Masa cuma kita berdua doang?”
“Eh, upil badak! Terus empat orang di kelas tuh siapa? Kuda?”
Zafran menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Males gue.”
“Gak ada males-malesan! Ini tanggung jawab Lo! Sekarang piket atau gue laporin wali kelas? Mau gak orang tua Lo di panggil?”
“Atuh Alona ngancemnya ngeri, ih!”
“Makannya!”
“Jangan galak-galak, dong, sayang. Nanti cantiknya ilang gimana?”
“Jijik gue! Udah! Masuk sana!”
Akhirnya Zafran pasrah saat Alona menggiringnya ke kelas dengan sangat amat tidak sopan. Pasalnya gadis itu masih menarik kerah bajunya hingga dirinya tampak seperti tikus yang ingin di buang. Padahal kalo kata Zafran mukanya ganteng Pake banget. Gak ada mirip-miripnya sama tikus.
Melihat kedatangan Zafran, dua orang dari mereka langsung bergegas mengangkat kursi agar bisa segera lepas dari tanggungjawab mereka. Juga teriakan Alona. Sedangkan Alona dan dua teman piketnya yang berjenis kelamin perempuan memilih menunggu dan akan melaksanakan tugas mereka setelah ketiga pria tadi menyelesaikan tugasnya.
Merasa bangku di kelas telah terangkat semua, Alona segera menyapu kelasnya bersama dua gadis tadi. Dua pria yang membantu Zafran mengangkat bangku sudah pergi entah kemana. Menyisakan Zafran sendiri. Entah apa yang dia lakukan. Namun lelaki itu lebih terlihat seperti memperhatikan tiga teman piketnya. Atau lebih tepatnya Alona.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALONA ( AL SERIES 2)
Diversos"Mengharapkan orang yang tidak pernah menginginkan kehadiran kita terkadang memang melelahkan." - Alona Zealinne Artharendra