Gelap dan dingin. Hanya itu yang bisa dilihat dan dirasakan oleh Fiona. Duduk bersimpuh di lantai dengan tangan melunglai hingga ujung jarinya menyentuh bekunya lantai, Fiona membuka mata dan menatap kekosongan. Entah sudah berapa lama ia terkungkung di pikirannya sendiri. Ini bukan pertama kali terjadi dan ia yakin tidak akan menjadi yang terakhir kalinya.
Dalam kepasrahan itu, Fiona mencoba bergerak beberapa kali. Namun, gagal, hanya jari-jemarinya yang bergerak satu inci. Seakan ada tali yang melilit erat tubuhnya.
Suara denging rendah menutup telinga dan mencegah otaknya untuk berpikir. Suara napas yang dengan berat diembuskannya pun terhalang. Aroma darah terhirup pekat. Bau yang familier di hidungnya.
Seperti tahu apa yang akan terjadi berikutnya, Fiona menutup mata dan menundukkan kepala. Tak lama suara teriak kesakitan memenuhi pendengarannya. Sesuatu memercik wajahnya. Sesuatu yang lengket. Darah.
"Pembunuh!" Suara berat menggema, mengolok Fiona.
"Berhenti!" Mulut Fiona akhirnya bergerak. "Berhenti!"
Suara teriak kesakitan itu terdengar semakin keras dan ramai. Suara itu tidak lagi berasal dari satu orang, tetapi banyak.
"Pembunuh!"
"Berhenti!" Fiona mengeluarkan sisa suara yang ada di tenggorokannya.
"Fiona." Sesorang memanggil.
Suara keresek bak sinyal rusak menginterupsi teriakan dan mengantarkan suara lembut itu ke telinganya.
"Fiona."
Si pemilik nama kembali mencoba bergerak, tetapi tidak bisa. Tulang-tulangnya justru bergemeretak bersamaan dengan gerak kasar yang berusaha dibentuknya. "Gama!"
"Dia tidak akan bisa menolongmu. Kamu selamanya bersama kami!" Seseorang berdesis tepat di telinganya.
"Tidak, tidak!"
"Fiona, bangun." teriak Gama.
Tiba-tiba kehangatan melingkupi tubuhnya, melancarkan aliran darahnya. Sendi-sendi yang sebelumnya kaku dan nyeri, perlahan melemas. Suara krek terdengar saat ia menggerakkan bahu, leher, dan punggungnya secara bersamaan.
"Aarrghh!" Fiona berteriak penuh kesakitan, berusaha melepas ikatan-ikatan tak kasat mata yang mengikat tubuhnya.
"Fiona!" Gama berteriak panik.
Mata Fiona terbuka lebar. Napasnya memburu untuk mengeluarkan rasa sesak di dada.
"Fiona, ada apa?" Gama mengguncang pelan tubuh perempuan itu demi mengembalikan kesadarannya.
Namun, percuma. Fiona terus mengerang kesakitan. Bola matanya terus berlarian tanpa tujuan di soketnya. Tubuhnya meringkuk di atas kasur, berguling ke kiri dan kanan.
"Fiona!" Pria yang mengenakan kaos putih dan celana training itu memeluk erat tubuhnya. Gama mencoba melindungi Fiona dari menyakiti tubuhnya sendiri. "Fiona, ini aku, Gama. Bangun!"
Setelah melempar tubuh dan kepalanya ke segala arah selama beberapa menit, Fiona akhirnya berhenti bergelut dengan tubuh besar Gama. Napas panjang ditariknya dalam. Detak jantungnya berdentam cepat di balik iganya dan perlahan melambat. Kesadarannya kembali ke ruangan kecil tempatnya beristirahat di kala malam tiba.
"Gama, lepas," pinta Fiona setelah berhasil menguasai dirinya dengan suara lemah.
"Kamu tidak apa-apa?" Gama melepas pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah pucat penuh keringat Fiona.
"Tidak apa-apa." Fiona mencoba bohong. Tubuh luluh lantaknya jelas tidak baik-baik saja.
"Mimpi lagi?" tanya Gama dengan wajah khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Final Run
AdventureBuku ketiga Genre : aksi, petualangan, thriller, gore, (minor) romance. Kembali ke Arkala, Ibukota negara Ely, di mana semua bermula. Ribuan zombi menempati setiap sudut kota, menyisakan sedikit manusia yang berkumpul di bangunan kepresidenan. Satu...