15. Ziarah Ke Makam Arum

45 22 50
                                    

"Hati siapa yang tidak sakit tatkala ditinggal oleh orang yang kita sayangi. "

#Kania

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

#Kania

Rencana balas dendam kami sudah tersusun rapi, hanya tinggal dieksekusi. Syukurnya Lucas punya paman seorang pengacara yang cukup ternama dan mau membantu kasus Arum. Dia bernama Damar Surya Negara yang usianya masih terbilang muda, kepala tiga dan masih lajang. Kata Om Damar dia akan menyelediki beberapa kasus Axel untuk digunakan sebagai tuntutan juga. Aku pun juga sudah menyerahkan bukti visum serta kondisi mental yang diderita Arum dulu. Serta memberikan keterangan saksi. Aku berharap prosesnya berjalan lancar.

Sementara Om Danar menyusut tuntas kasus ini, aku pulang ke Lombok untuk menjalani libur semester. Sekalian aku juga akan berkunjung ke makamnya Arum. Meskipun terlambat dari acara seribu hariannya Arum, aku akan tetap datang menyapanya dan ingin mengatakan sebentar lagi dia akan mendapatkan keadilan.

Aku berangkat bersama Lucas dan Raga. Katanya mereka ingin sekalian berkunjung dan berdoa ke makamnya Arum. Aku juga sudah menghubungi Kak Umar. Katanya dia masih di Lombok dan akan kembali ke Bandung dua atau tiga hari lagi.

''Halo Kak Umar,'' sapaku ditelpon.

''Assalamu'alaikum Kania,'' balasnya dengan suara yang sopan, seperti biasa. Aku memutar bola mata dan menjawab salamnya dengan terpaksa.

''Kak Umar, aku sama temen-temenku udah sampai bandara. Kita langsung ke sana.''

''Baik. Apa mau dijemput? Kamu sama berapa orang?''

''Gak usah. Kita cuman bertiga kok. Ini kita udah pesen taksi.''

''Oh iya udah. Kalian hati-hati di jalan. Di sini mendung dan sepertinya akan turun hujan.''

''Hm, iya. Telponnya aku tutup iya.''

''Assalamu'alaikum,'' ucap Kak Umar saat aku hendak menutup telpon.

Aku menghela napas pelan.
''Wa'alaikumussalam.''

Aku, Raga dan Lucas sudah masuk ke dalam taksi. Lucas duduk di bangku paling depan di samping sopir. Sementara aku dan Raga duduk di belakang. Lucas tahu-tahu nyeletuk usai aku menutup telpon dengan Kak Umar.

''Kania, dia kakak kelas yang lu ceritain kakaknya si Arum itu ya?''

''Iya. Kita bakal mampir ke rumahnya dulu sebelum ke makamnya Arum. Udah lama gue gak silaturahmi ke sana.''

''Oooh. Tapi kok, lu gak pernah manggil kita kak sih? Gue sama Raga kan lebih tua dari lu?''

''Pengen banget ya lu dipanggil, KAK LUCAS?'' tekanku

''Gemes tahu dipanggil kayak gitu, berasa punya adek beneran. Iya gak, Ra?''

''Gue terserah Kania aja. Mana nyamannya dia.''

Aku langsung menjulurkan lidah pada Lucas, mengejeknya. Toh aku juga sudah biasa memanggil namanya saja tanpa embel-embel 'kak'. Lagian selama ini dia gak protes. Lalu kenapa tiba-tiba sekarang protes? Terserah deh. Aku kemudian menyandarkan kepala di bahu Raga. Lalu memejamkan mata.

Kemana Aku Harus Pulang? ✔️ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang