Abdinegara on action

882 132 13
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

Klarisa takjub saat melihat kantor apalagi ruang kerja Abdinegara. Semua serba mewah dan canggih. Ia duduk perlahan di sofa mahal berbahan kulit. Nyama, empuk, tidur di sofa itu ia pasti pulas.

"Mau minum apa, Kla?" Abdi melepaskan setelan jasnya, meletakkan pada tiang gantungan dekat kursi kebanggaannya.

"Apa aja, Om," tukas Klarisa masih mengamati seisi ruangan.

"Oke. Sebentar, ya." Abdi menghubungi sekretarisnya, Klarisa pikir perempuan ternyata pria seumuran Abdi tebak wanita itu saat sekretarisnya masuk.

"George, pesankan minuman dingin. Soda tidak apa-apa dan beberapa set makanan jepang."

"Sushi?" ujar George.

"Boleh." Abdi menyalakan laptop.

"Ada lagi?" George menoleh ke Klarisa.

"Tidak ada, sir," jawab Klarisa seraya mengacungkan ibu jari. George keluar ruangan. Klarisa menoleh ke Abdi yang fokus menatap layar laptop. "Om, kirain sekretarisnya cewek. Biasanya bos besar, kan--"

"Kamu mau Om digebukin Tante Bellona?" lirik Abdi seraya menyunggingkan senyuman. Klarisa membalas dengan cengiran. "George dulunya kerja di Jakarta, diperusahaan mendingan Papa. Om bawa ke sini dan sampai sekarang kerja karena memang yang paham tentang kebutuhan Om di kantor juga urusan lain. He such a good person, cucunya udah dua tapi masih gagah juga cekatan kerja."

Klarisa manggut-manggut. Pintu terbuka lagi, empat orang masuk langsung menghadap Abdi. Mereka bicara menggunakan bahasa inggris, inti percakapan jika mereka sudah menemukan data yang diminta Abdi.

Pertemuan itu dimulai. Bagus Klarisa mahir bahasa inggris jadi tak kesulitan berkomunikasi.

Beberapa file yang ditemukan memang menjelaskan jika Hilman dijebak. Klarisa mulai berpikir cerdik, ia mau gugatan terhadap Hilman dicabut, konferensi pers juga demi mengembalikan nama baik bosnya.

"Om Abdi, berarti mereka semua di Jakarta?" tekan Klarisa.

"Iya." Abdi duduk bersandar dengan memangku satu kaki ke kaki lainnya. "Rencanamu apa?"

"Mmm, Klarisa nggak bisa berpikid taktis, Om, bisanya sadis. Mau ajak Ayah buat datangi mereka. Ayah bisa ... ya, Om tau pasti."

Abdi tergelak. "Jangan, Ayahmu sudah pensiun. Kalau ada apa-apa dan kena pasal penganiayaan, kamu juga yang menyesal."

"Terus, gimana, Om? Persidangan Pak Hilman minggu depan. Klarisa dan temen-temen nggak mau Pak Hilman ditahan lagi."

Salah satu orang suruhan Abdi menyerahkan dua lembar kertas. Setelah Abdi baca, ia serahkan ke Klarisa.

Deretan angka dan grafik menjelaskan jika nilai saham perusahaan kelapa sawit itu anjlok.

"Om Abdi, mau akuisisi atau merger maksudnya?" lirih Klarisa.

Abdi menggelengkan kepala. "Kita ambil alih. Total semuanya termasuk aset mereka, nggak sampai satu juta dollar. Om sudah tau, mereka juga korupsi uang perusahaan. Kamu baca empat nama di sana. Semuanya bodoh." Abdi menatap serius ke Klarisa yang kembali membaca tapi ia tak kenal.

"Kalau Om beli, Om harus ke Jakarta, dong. Urus ke bursa efek, melegalkan juga ketemu mereka?" Klarisa masih bingung.

Abdi tersenyum. "Mau Hilman selamat? Ini cara tercepat. Mereka butuhnya satu, Kla ...," jeda Abdi. "Uang. Demi perut mereka sendiri. Om sudah tau juga kalau gaji pekerja di perkebunan, pabrik, semua digaji rendah. Nggak ada yang bisa protes karena mereka dan keluarganya diancam."

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang