"Huaaaa~"
Waktu menunjukan pukul 06:05 dini hari. Pagi ini terasa melelahkan setelah semalaman bermain game online bersama temanku hingga larut malam. Ah... rasanya tidurku belum cukup.
"Buk?"
Aku memanggil ibuku untuk memastikan apakah beliau telah beranjak dari rumah untuk pergi bekerja, ataukah masih ia sempatkan waktunya untuk membuatkan sarapan anak laki-lakinya ini sebelum berangkat ke sekolah.
"Ya le?"
Ahh, syukur... ibuku masih dirumah, jadi pagi ini perutku tidak akan pergi dalam keadaan penuh sarang laba-laba. Aku pun beranjak dari tempat tidurku dan langsung menuju ke pintu kamar mandi untuk mengambil handuk yang digantung diatas pintu kamar mandi tersebut. Yaah, sebenarnya aku tidak langsung mandi, karena perutku memang sejak dulu tidak bisa untuk diajak kompromi. Jadi, aku menyempatkan waktuku untuk membuang semua bongkahan emas yang ku timbun semalaman.
"Asnan, sarapannya ada di meja. Ibuk berangkat dulu ya!"
Aku mendengar suara ibuku berteriak dari luar, memberitahuku bahwa sarapan yang ia buat telah selesai dan siap disantap di atas meja. Aku selesai mandi, lalu memakai seragam, memakai sepatu, mengambil tas dan siap untuk menyantap sarapanku. Nasi dan ikan yang dimasak oleh ibuku memang selalu istimewa jika dimakan olehku. Yaa, paling tidak itu anggapan pribadiku, soal bagaimana di lidah orang lain, itu urusan mereka.
"Aduh... ni perut kenapa dah, tadi kan udah dibuang, kenapa ada lagi? akhhh..."
Yaa... untuk kedua kalinya, perut ini memang tidak pernah sejalan dengan diriku. Memaksaku untuk membuang isi bongkahan emasnya hingga bersih. Padahal, saat itu jam telah menunjukan pukul 06:35, tapi, daripada terus tersiksa oleh mulesnya perut ditengah perjalanan yang seharusnya dinikmati, malah cengar cengir karena menahan mules yang jika tidak terbendung, akan mengeluarkan suara aneh yang sering disebut sebagai 'kentut' bagi sebagian orang. Sampai ku sadari saat itu jam telah menunjukan pukul 07:00, kurang lebih selama setengah jam berjongkok di toilet rumah, rasa panik masih belum dapat menerjang isi kepalaku. Ku yakinkan pada diriku untuk terus tenang karena kurasa, tidak ada salahnya sesekali telat berangkat sekolah.
Matahari telah menunjukan sinar paginya yang tentunya telah mencapai suhu yang melebihi hangat pagi itu. Aku berangkat menggunakan motor milik kakak ku yang tidak dipakai. Terlihat keren kurasa ketika dinaiki olehku. Membuatku merasa seperti layaknya karakter utama film Galaksi yang saat itu diperankan oleh artis ternama, Bryan Domani.
Masih dengan perasaan yang santai, aku menyetir sembari merokok ditengah perjalanan dengan iringan pemandangan pohon yang berdiri di pinggir jalan. Perasaan santaiku diperkuat oleh keberadaan salah seorang murid SMA lain yang pagi itu juga baru berangkat sekolah, membuatku berfikir bahwa, ya... aku belum sepenuhnya telat. Namun, ketika aku telah memarkirkan motorku di tempat parkir siswa sekolahan, tidak terlihat satupun murid yang berlalu-lalang disana.
"Aneh, temen-temenku yang biasanya jam segini pada masih jajan, kok pada ngga ada... libur kali ya?"
Masih tetap santai seperti di awal. Aku berjalan menuju kelasku, namun sebelum aku menuju kelas, aku berjalan mengitari pinggiran sekolah hingga sampai pada sebuah kamar mandi di lantai dua. Ku lanjutkan berjalan hingga sampai ke kelasku, tetap tidak ku temukan siapapun disana kecuali meja dan kursi yang berbaris rapi. Pikiranku mulai khawatir, ketika terdengar suara keras dari seorang tentara yang menyiapkan barisan peletonnya. Suara tersebut berasal dari lapangan upacara sekolahku.
Aku yang khawatir, mencoba mencari teman untuk menemaniku duduk sendirian di kelas tersebut, sembari menunggu bubarnya acara baris-berbaris yang dilaksanakan oleh sekolah pagi itu. Aku menelfon Alsirasi, tidak ada jawaban. Lalu aku mencoba untuk menghubungi Faris, dan beruntungnya, ia menjawab. Tidak ku lanjutkan pembicaraan pagi itu, karena terdengar suara langkah kaki dari luar ruangan. Aku yang saat itu sedang duduk tepat diatas meja dekat pintu kelas, kaget bukan kepalang ketika kudapati seorang guru tengah membuka pintu ruangan yang sedang ku masuki. Beruntungnya, beliau tidak menyadari keberadaan ku yang sedang duduk tidak sopan diatas meja. Saat ia beranjak pergi dari pintu untuk lanjut memeriksa kelas lain, aku memberanikan diriku untuk jujur saja kepada beliau, bahwa pagi ini aku telat sampai di sekolah. Yaa, ku pikir jika aku jujur, mungkin hukumannya bisa dikurangi.
"Pak!"
"WEH.."
"Saya pak, bukan setan."
"Loh, kok kamu disini? Kenapa tidak ikut baris-berbaris di lapangan?"
"Anu pak... saya telat, makanya saya disini."
"Oalahh... yasudah, ikut saya ke lapangan sekarang!"
"Baik pak."
Singkat cerita, kami telah sampai di lapangan upacara. Dan betapa kagetnya diriku ketika kudapati seluruh siswa tengah melakukan baris-berbaris atas pimpinan pak tentara dan pak polisi.
"Wah, mati aku..."
"Asnan!" terdengar suara salah seorang guru memanggilku. Pak Mursalim, guru BK yang dikenal kejam di sekolahku. Akh, memang sial sekali pagi ini.
"Kamu kenapa baru datang?" ia menanyakan alasanku, mengapa datang terlambat pagi ini.
"Anu pak, saya tadi buang air besar berlebihan, sampai lupa waktu."
"Alahh, alasanmu kurang masuk akal. Sekarang, keliling lapangan 5 kali, kerjakan!"
"Baik pak!" dengan tegas namun pasrah ku menjawab.
Berlarian mengelilingi lapangan sembari diperhatikan oleh para siswi. Memalukan, tapi di sisi lain, aku merasa keren. Entah kenapa anggapan itu tiba-tiba muncul di benak ku. Dan setelah selesai berlari memutari lapangan hingga 5 kali, aku kembali dipanggil oleh Pak Mursalim.
"Sekarang, push up, sit up, dan jumping jet!"
"Baik, pak!"
Melelahkan. Aku telah selesai melaksanakan semua hukuman yang diberikan. Memang melelahkan, tapi semua ini sebanding dengan apa yang ku lakukan pagi ini. Menyepelekan waktu hingga lupa akan adanya peraturan sekolah yang melarang siswa dan siswinya untuk datang melebihi jam 7 pagi. Yaa, paling tidak kata guruku aku telah mendapatkan keringanan hukuman berupa dikuranginya jumlah lembar yang harus ku isi dengan tulisan arab Al-Fatihah. Yang dimana awalnya 5 lembar menjadi 3 lembar. Dari sini aku belajar bahwa jangan pernah menyepelekan waktu meskipun kita sudah tau resiko yang menunggu. Poin kejujuran juga tidak kalah penting disini. Dengan jujur, beberapa masalah mungkin dapat berkurang dalam kasus tertentu, seperti kasus ku misalnya. Setelah semua itu, aku ikut memasuki barisan dimana teman-temanku berdiri mengikuti instruksi pak tentara yang menjadi pemimpin acara pagi itu. Pengalaman yang memalukan, namun disisi lain, ini cukup menyenangkan.
(Haruskah ini jadi Novel?)
KAMU SEDANG MEMBACA
Asnan Sepupu Jujur
Short StorySeorang pelajar SMA yang tengah menduduki bangku kelas 2, hendak bertingkah layaknya main character film Galaksi.