Episode 4

3 0 0
                                    

"Liam!" seruku menatap anak itu menghilang dibalik cahaya.

Kalandra ikut masuk kedalam cahaya tersebut, begitu juga dengan Arzan.

"Apapun yang ingin kamu tanyakan, bisa kamu lihat dibalik cahaya ini." ucapku sebelum menarik tangan Aya kedalam cahaya putih tadi.

Kami berada ditempat yang benar benar berbeda dari sebelumnya, aku menatap sekitar. Portal cahaya putih tertutup, dibalik itu terdapat pemandangan yang luar biasa.

Langit berwarna ungu muda dengan bintang-bintang terang bersinar di siang hari. Pohon-pohon menjulang tinggi dengan daun-daun berwarna emas, dan bunga yang berkelip seperti lampu kecil.

"Seperti dunia peri, indah sekali. Aku merasa seperti menjadi tinker bell," ucap Aya tersenyum.

Wajahnya sama sekali tidak khawatir.

"Aya, maafkan aku jadi membawamu ke tempat ini, tempat yang bahkan aku sendiri tidak tahu dimana dan bagaimana kita akan kembali ke dunia kita nanti." aku menundukkan kepalaku.

Aya tersenyum padaku, "tenanglah, aku tidak apa. Aku senang bisa menemanimu berpetualang, untuk kembali... tenang saja, aku bisa melakukannya." aku menatap Aya dengan mulut terbuka, yang lain ikut menoleh.

Belum sempat aku menanyakan, sekelompok orang mendekat.

Kalandra dan Arzan maju menutupi kami, Liam? Tentu saja dia bersembunyi dibelakang kami.

Sekelompok orang berjumlah delapan orang dengan satu pemimpin, setidaknya ia terlihat seperti pemimpin karena berdiri ditengah dan mengenakan jubah yang berbeda dari jubah lainnya.

Pemimpin tersebut mengenakan jubah gradasi ungu muda dan biru, sementara lainnya mengenakan pakaian ala pengawal kerajaan berwarna emas, mereka memiliki sayap berkelap-kelip seperti peri musim dingin di salah satu kartun favoritku.

"Siapa kalian?" tanyanya dengan wajah yang tegas, para pengawal mengacungkan tombak ke arah kami.

"Dia bilang apa?" Kalandra dan Arzan tidak memahami bahasa mereka, tapi sepertinya aku tahu yang mereka katakan.

Aku muncul diantara Kalandra dan Arzan, "Kami tersesat, apakah tuan pemimpin dapat membantu kami?" ucapku.

Setidaknya aku pernah menonton drama time travel jadi aku punya skenario ala-ala drama haha.

"Baiklah ikuti kami, turunkan senjata kalian pasukan angkasa." setidaknya itu yang aku dengar dari pemimpin mereka yang merupakan seorang wanita dengan rambut terurai bergelombang.

Kami mengikuti langkah mereka sesuai ucapan pemimpin tadi.

"Bagaimana kamu bisa berbahasa mereka?" bisik Arzan tepat di sebelahku.

"Aku tidak tahu, mungkin karena aku lebih pintar darimu." ucapku mempermainkannya.

Tidak salah jika aku lebih pandai darinya bukan? Sebagian besar ide penelitian adalah milikku.

Kalandra terkekeh, "Itu karena Ileana adalah keturunan dunia ini," singkatnya.

Cukup masuk akal, tapi dari penjelasan itu aku berpikir apakah benar aku keturunan dunia ini? Lalu orang tuaku apakah juga keturunan dunia ini?.

"Keturunan dunia ini? Bagaimana kamu tahu? Bahkan aku yang lebih dulu mengenalnya tidak tahu tentang itu," protes Arzan seolah-olah aku menceritakan sesuatu pada Kalandra.

"Itu karena dia lebih pandai darimu, Arzan" aku tersenyum menjawab Arzan, Kalandra menatapku sekali lagi.

Kalian mungkin berpikir apa aku tidak terkejut mendengarnya, tentu saja aku terkejut.

Tapi, aku tidak ingin mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti benar karena itu akan membuatkan lemah.
Aku tidak suka menjadi orang yang lemah, jika tempat ini adalah tempat asalku maka akan ada jawaban kebenaran mengapa aku tidak disini sejak awal.

"Jadi, itu lah kenapa kamu bisa terbang?" Liam akhirnya mendapatkan jawabannya.

Aya dan Arzan menatapku terkejut. Kalian tahu kan Kalandra itu bukan hanya jenius tapi dia juga peka terhadap sekitar, belum juga aku menjawab ia sudah menemukan jawabannya sendiri.

"Mungkin," singkatku, aku tidak ingin banyak berbicara dengan anak itu.

Kami tiba disebuah rumah megah, bentuknya terlihat seperti tabung. Aku kebingungan mencari pintu rumah itu, untungnya sebuah lorong terbuka otomatis mempersilahkan kami masuk.

Rumah tabung berkilalu tersebut tidak kalah kilaunya dari dalam. Kursi ruang pertemuan yang terbuat dari lapisan kaca dengan bantalan sutra yang empuk.

Rumah dengan warna ungu muda berkilau itu menjadi rumah pertama yang kami kunjungi, rumah itu adalah milik pemimpin tadi.

Kami duduk melingkari meja pualam, "Aku Melina, pemimpin kota Luminis. Sebenarnya siapa kalian dan apa tujuan kalian di sini?" suaranya lembut namun berwibawa.

Aku memperkenalkan kami satu per satu, "Kami sedang mencari seseorang yang hilang, tidak disangka kami malah tersesat di sini. Bolehkah ku tahu dimana tempat ini?" aku memberanikan diri bertanya pada Melina.

"Ini adalah Dunia Luminara, ini adalah Kota Luminis, kota yang tertinggal akibat pembaruan sistem pertahanan negara. Di kota ini, kami hanya dapat mengandalkan sumber daya alam untuk bertahan hidup. Kota Luminis adalah kota yang sempat menjadi pusat kota karena keindahan kota kami, namun karena keindahannya juga lah kami menjadi saat ini. Ada banyak rahasia menarik dibalik kota ini, kami hanya ingin melindungi kota ini dari serangan apapun."

"Apa yang dia katakan?" bisik Aya.

"Nanti aku ceritakan,"

Ditengah pembahasan kami mengenai dunia ini, Melina menatapku lekat.

"Nona muda, bisakah aku menatapmu dari dekat? Ada yang ingin aku pastikan," aku mengangguk dan mendekati Melina, mereka yang tidak tahu tentu hanya diam takut-takut.

Melina menatap ujung mataku seolah-olah ada sesuatu, kemudian mengelus telapak tanganku seperti membaca sesuatu.

"Nona muda, maafkan aku. Aku tidak tahu bahwa kau adalah Putri Luminara. Maafkan aku," ia tertunduk memberi hormat padaku membuatku terkejut.

Aku mengangkat tubuhnya, "Tidak perlu, Melina. Aku baik-baik saja, namun ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan."

Aku sungguh terkejut mendengat bahwa ia menyebutku 'Puteri Luminara' yang artinya bahwa aku adalah Puteri dari dunia ini.

Entahlah maksudnya keturunan atau puteri kerajaan sungguhan.

Tapi aku bertekad memberitahu bahwa kami tidak berasal dari dunia ini, "Jadi begini," namun belum sempat aku menceritakannya, pengawal menerobos masuk untuk melaporkan kaeadaan darurat.

"Nyonya, keadaan bukit Luna sungguh tidak baik. Para penjelajah dunia lain mencoba mengambil paksa mahkota abadi milik Ratu Luminara, kita harus segera bertindak." ucapnya tergesa-gesa.

"Baik," singkatnya.

"Beristirahatlah anak-anak, setelah aku mengurus para biang kerok ini, aku akan kembali menemani kalian. Bersantailah," senyumnya sungguh menenangkan.

"Rachel, penuhi kebutuhan dan keinginan para tamu." perintahnya pada robot rumah.

"Baik, nyonya." robot kecil berbentuk tabung menghampiri kami.

Robot rumah ini sangat lucu dan menggemaskan, ia berukuran kecil tapi bisa menuruti kemauan kami semua.

Kami bertindak seperti rumah kami sendiri, melihat-lihat isi rumah, majalah, dan juga menyantap hidangan untuk tamu yang disediakan oleh Rachel.

Aku menceritakan kembali cerita Melina tadi, dan sama sepertiku mereka terkejut bahwa aku adalah puteri dunia ini.

***

The SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang