Perasaan Yang Tenggelam Seperti Matahari

28 9 0
                                    

Tepat di halaman sekolah, terlihat banyak murid berseragam putih abu-abu sedang lalu lalang. Entah sehabis dari toilet, dari kantin atau dari UKS. Tapi yang pasti sekolah sudah ramai pagi ini.

Saat akan memasuki kelas, bel berbunyi. Pukul setengah delapan. Didalam kelas sudah ramai, kecuali si geng beng-beng yang konsisten bolos setiap hari--mereka tiga siswa yang sering kena marah guru bk yang dikenal killer oleh siswa yang nakal. Anehnya, geng beng-beng tak pernah kapok membolos.

Aku duduk di bangku paling belakang sendiri. Sebenarnya aku duduk bersama anjani. Ia tidak masuk hari ini karena sakit. Anjani salah satu teman baikku, dari kelas sepuluh sampai sekarang--kelas dua belas, ia masih tetap duduk denganku. Orangnya baik dan gemuk. Pasti kalian sudah menebak apa yang paling ia sukai kan? Benar, ia suka sekali makan.

Pelajaran pertama dimulai. Pelajaran bahasa indonesia. Kali ini ada tugas membuat surat undangan. Bu nira--guru bahasa indonesia tidak bisa mengajar hari ini karena ada kepentingan pribadi. Aku mulai mengerjakannya sendiri. Dari samping, kulihat ada seseorang yang melewati dengan tak acuh. Baju putihnya sengaja dikeluarkan. Karena memang begitu yang selalu ia lakukan. Ia kemudian duduk di bangku yang cukup dekat dengan barisanku.

Kembali aku fokus pada tugasku, namun tidak bisa. Dari samping aku bisa menangkap bayangan seseorang. Ia berdiri kemudian mendekatiku dan berbicara, "Bro minjem penghapus ya."

Aku mendongak, kulihat matanya yang sipit dan tubuhnya yang tinggi masih berdiri sambil memegang penghapus di atas meja. Ia berbicara lagi, "ko diem, minjem penghapus ya."

Aku mengangguk. Tidak apa untuk tahu bahwa dia malah memanggilku dengan sebutan bro bukan april. Ia memang aneh. Apa ke semua orang ia memanggil bro? Tapi yang kutahu ia panggil begitu hanya untuk seseorang yang tidak dikenalnya saja. Iya. Mungkin aku termasuk perempuan malang yang tidak dikenalnya. Meski satu kelas dan hampir tiga tahun kami belajar di tempat yang sama, dia masih tidak mengenalku. Miris.

Tiba-tiba temannya berbicara, "yaelah manggilnya bro."

Ia hanya tersenyum manis. Senyuman yang mengembang diantara bibirnya yang buat aku merasa punya perasaan indah. Ini terlalu berlebihan, tapi memang nyata adanya. Aku menyukainya saat pertama masuk kelas sepuluh dan sampai sekarang perasaan itu masih sama.

"Makasih ya bro," ucapnya tersenyum sambil mengembalikan penghapus itu di mejaku.

Andai waktu bisa berhenti, aku pasti akan melakukannya. Aku senang melihatnya tersenyum, melihatnya bercanda dan melihatnya semangat saat ada pertanyaan yang sering di ajukan guru. Ia anak yang cerdas dan populer. Namanya selalu di ingat oleh siswi sekelasku. Tak jarang ia menjadi perbincangan murid lain karena kepintarannya dan sikapnya yang so cool namun perhatian pada teman-temannya. Aku senang punya perasaan indah terhadapnya.

Tiba-tiba wali kelasku datang. Ia menyampaikan pesan dari bu nira kalau ada tugas tambahan untuk minggu depan. Tugas perkelompok.

Pasti dijadiin kelompok sisaan lagi. Batinku.

"Kelompoknya sudah dipilih sama bu nira, perkelompoknya diisi empat anggota. Tugasnya harus buat drama, " ucap pak suwandi wali kelasku.

Akhirnya, kelompoknya sudah diatur. Aku bernafas lega.

"Drama tema apa pak?" Tanya mia si ketua kelas.

"Bebas."

Kemudian pak suwandi mulai menulis nama perkelompok di papan tulis.

Aku mencari namaku. Ah itu dia--aku menemukannya. Saat kulihat, aku masuk kelompok enam. Di bawah namaku ada nama yang tidak asing ku kenal.

Kinan Samudera.

Aku Takut Lupa (Kumcer) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang