Kalian tahu? Dari dulu aku suka langit. Dia pernah bilang kalau dia menyayangiku seluas langit yang gak ada batasnya. Waktu itu aku belum percaya perkataannya. Karena selama ini setiap aku menyukai seseorang, aku yang menyayangi sendiri. Mereka tidak pernah menyukaiku karena kekuranganku. Akhirnya dia mengerti kenapa aku jadi seperti ini--tidak percaya diri.
"Aku suka jiwamu, bukan fisik!" Katanya waktu itu.
Aku tersenyum getir. Ingatan masa kecil saat teman-temanku mengejek disudut sekolah, membuatku enggan membuka diri dari dunia. Bagiku, dunia itu menyeramkan. Jadi saat itu, aku hanya tahu bahwa cinta itu tidak ada. Ralat, kecuali cinta yang diberikan ibu dan bapak.
"Haha gigi kelinci."
"Dasar aneh."
"Udah jelek bodoh pula."
Sakit. Perkaataan itu selalu terngiang di kepala. Apakah aku sejelek itu sampai-sampai orang bilang begitu? Setiap di sekolah, orang mengejekku tanpa rasa kasihan. Untung saja penderitaan itu hanya masa lalu. Aku sudah lulus SMA.
Setelah lulus SMA aku merasa tenang: tidak ada lagi tugas sekolah, teguran guru bk dan menunggu angkot di tepi jalan. Penderitaan itu berhenti. Tapi kuakui diam dirumah setiap hari malah makin membuatku bosan setengah mati. Aku cuma diam dirumah, sesekali bantu ibu. Aku tidak bekerja ataupun kuliah, tadinya aku ingin jadi penyiar radio yang hanya berbekal suara. Tapi aku tahu aku tidak pandai berkomunikasi dengan baik.
"Belum kerja?"
"Udah sekolah tinggi tapi gak kerja."
Ibu-ibu yang senang bergosip itu selalu menanyakan apakah aku sudah bekerja atau masih pengangguran. Kalian pasti tahu apa masalahnya. Iya, aku masih belum bekerja. Aku takut kalau bekerja--aku malah di marahi boss dan di bully habis-habisan di tempat kerja. Tapi kan itu resiko, aku belum bisa menanggung resiko itu. Aku tidak mau, luka ku belum sembuh, mentalku hancur sampai aku tidak ingin membuka diri pada dunia. Aku tidak ingin di permalukan atau diejek habis-habisan lagi karena fisikku. Apa aku egois? Orang-orang mungkin berpikiran setidaknya selama hidup aku harus bisa bantu ekonomi keluarga. Walaupun ibu tidak pernah menuntut apa-apa dariku.
***
Di teras depan, kulihat langit yang biru dan merayuku untuk melahirkan sebuah puisi. Tidak. Bukan puisi, aku tidak bisa membuat bait indah seperti pujangga. Aku cuma bisa mengkhayal dan mengarang. Seperti menulis cerita bodoh yang di khayalkan sendiri. Haha penulis gadungan. Nyatanya gelar penulis saja tidak cocok padaku. Buatku menulis itu adalah pelarian. Menulis bisa membuatku merasa lebih baik. Menulis bisa menghilangkan ingatanku akan perkataan tajam orang-orang.
Rasanya aku ingin pergi ke neverland, dimana anak-anak menolak dewasa. Dewasa memang menyebalkan, bukan seperti yang di khayalkan bocah ingusan saat dewasa ia bisa bahagia selamanya.
Aku kembali menatap langit. Langitnya indah. Lalu kuambil novel seven days karya rhein fathia dan duduk sambil meneguk teh hangat. Rasanya tenang dan menyenangkan.
"Aku suka jiwamu bukan fisik!" Kata-kata itu terngiang kembali. Tidak. Aku tidak ingin percaya dulu dengan omongannya. Siapa tahu dia seperti kebanyakan cowok diluar sana yang punya pacar selusin.
"Ji𝗐𝖺 𝖺ku 𝗍𝗎𝗁 𝗇𝗒𝖺𝗆𝖺𝗇 𝗍𝖾𝗇𝖺𝗇𝗀 sama kamu, 𝗃a𝖽𝗂 𝖺ku a𝗐𝖺𝗅𝗂 𝗄𝖾𝗍𝖾𝗇𝖺𝗇𝗀𝖺𝗇 𝗃𝗂𝗐𝖺, y𝖺 f𝗂𝗌𝗂𝗄 𝗆ah 𝗇𝗈𝗆𝖾𝗋 𝗍erakhir,"
"Fisik nomor terakhir?"
"Iya, kalau perlu aku hapus fisik dari daftarku, karena itu gak terlalu penting!"
Omongan buaya. Ingin sekali aku jelaskan padanya bahwa laki-laki bodoh mana yang mau denganku. Laki-laki mana yang tidak melihat fisiknya dulu, bukankah laki-laki itu makhluk visual? Buktinya semasa sekolah cowok yang sok ganteng saja enggan mendekat. Jangankan ketua osis, orang yang sering bolos dan masuk seminggu dua kali saja jika ditawarkan duduk denganku pasti mikir dua kali. Miris. Katanya tuhan ciptakan manusia dengan keindahan, lalu bagaimana denganku? Kenapa mereka selalu mengejek tanpa ampun. Kenapa tidak adil?
"Tapi tuhan punya rencana lain yang gak kamu tahu," katanya tempo hari.
Mungkin saja. Perlahan kucoba merubah sudut pandangku terhadap apapun, kucoba sedikit menerima diri sendiri. Tragis sekali rasanya kalau sampai mati aku masih begini-begini saja tidak mau membuka diri dari lingkungan. Sampai kapan aku harus menutup diri dan membenci diriku sendiri.
Meski aku tidak tahu apakah omongannya itu benar atau tidak. Apa benar ya tuhan punya rencana lain? Benar sih, bukannya tuhan itu maha baik? Kucoba untuk mulai menerima semua yang diberinya. Aku mulai menerima perasaan dia terhadapku. Meski aku tidak terlalu berharap padanya. Aku tidak mau menyayanginya berlebihan. Takut dia mendekatiku karena maksud lain, takut kalau suatu saat ditinggalkan.
"Aku kerja keras supaya aku bisa melamar kamu," katanya suatu hari.
Entahlah, setelah kenal lama--ia tidak mungkin meninggalkanku. Ia baik padaku, menyayangiku lebih dari dirinya sendiri. Kerja keras cari uang untuk bisa melamarku.
"Kamu harus percaya diri, aku sayang sama kamu tanpa pengecualian. Aku gak peduli fisik, lagian kamu berlebihan deh, kamu itu sebenarnya cantik. Aku seneng nida."
Aku cantik? Pasti dia bohong.
"Kamu cantik dimataku da," Katanya sambil tersenyum.
Kenapa ia mau menerimaku padahal diluar sana masih banyak perempuan yang lebih cantik dan sexy? Apakah matanya terhalang sesuatu? Padahal orang-orang mengejekku karena gigiku yang tidak rapih. Menyedihkan.
"Udah kamu gak usah mikir aneh-aneh, aku sayang kamu seluas langit yang gak ada batasnya."
Kalau dulu aku pernah dengar dongeng si cantik dan si buruk rupa, sekarang malah sebaliknya, si tampan dan si buruk rupa. Tentu saja aku si buruk rupa itu.
Apa mungkin tuhan kasihan padaku lalu mengirim dia untukku?
Dulu, kupikir tuhan tidak adil. Tapi aku tahu ia tidak mungkin mengabaikan. Aku ingin percaya diri, aku ingin jadi perempuan yang baik, aku ingin balas ejekan itu dengan menjadi diri yang lebih baik. Karena balas dendam terbaik itu adalah menjadi diri sendiri yang lebih baik bukan? Aku sudah tidak ingin bersedih lagi sampai mataku rabun akut. Apa yang mereka katakan padaku, biarlah itu jadi penyemangat.
***
Tring...
Ada notif di ponselku. Itu pesan dari dia. Ternyata foto-foto dirinya yang sedang bekerja shift malam. Tak terasa pipiku mulai basah karena air mata. Aku senang ia memperjuangkanku dengan setulus hati. Ia begitu serius padaku, saat laki-laki diluar sana mengejek fisikku dan enggan mendekat, ia justru menyayangiku tanpa pengecualian.
Perasaanku semakin bertambah padanya. Perasaan wajar yang ada di dalam diri manusia. Perasaan sayang yang tumbuh dengan subur di relung hati. Ia membuatku tidak takut lagi pada realita yang nyata dan menyeramkan. Ia selalu membuatku senang. Meski aku marah sekalipun karena masalah kangen--ia selalu membujuk sambil mengeluarkan gombalan mautnya. Haha ia memang romantis.
Disini, diruang kamarku yang tenang, aku katakan semua rasa sayangku padanya. Tersenyum dan menutup mata perlahan. Aku ingin mimpi indah dengannya.
Termasuk realitanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Takut Lupa (Kumcer)
Short StoryAku takut lupa. Tapi aku ingat kamu pernah bilang, "Tulis saja."