Bisa profesional?

886 131 9
                                    

🕵️‍♀️👨‍💼

"Passpor kamu mana?" Darka membuka telapak tangan ke arah Klarisa.

"Nih!" Walau kesal ia berikan buku kecil itu ke tangan Darka. Mereka berada di bandara, bersiap pulang ke Jakarta hari itu juga. Dua pengawal yang diutus Abdi akan berangkat belakangan karena mempersiapkan beberapa hal atas arahan Abdi.

Suasana bandara ramai sore itu. Klarisa berdiri berjarak di belakang Darka mengantri membeli tiket pesawat.

"Malam jam berapa?" Darka berkomunikasi dengan petugas karena memakai maskapai milik Indonesia.

"Jam delapan, Pak."

"Boleh. Dua tiket kelas bisnis. Seat bebas, di mana aja." Ia berikan kartu kredit Abdi. Sebenarnya, bisa saja ia beli di mesin otomatis, tapi lebih suka langsung di counter maskapai.

"Baik." Petugas menerima passpor lalu memroses pembelian tiket pesawat.

Klarisa menunggu dengan santai, memperhatikan sekeliling suasana bandara tanpa bosan.

"Kita tunggu di mana? Masih empat jam lagi." Darka memberikan passpor milik Klarisa.

"Terserah." Klarisa berjalan melenggang sementara Darka berjalan pelan sambil memegangi perutnya karena rasa nyeri pada rusuk.

Klarisa berjalan-jalan mengelilingi area dalam bandara, sempat jajan camilan tanpa menawari Darka.

"Kla," lirih Darka. Ia mengerutkan kening menahan sakit. Klarisa menoleh ke belakang. Darka duduk perlahan di kursi tunggu, keringat dingin terlihat di wajah pria itu.

Klarisa duduk namun tetap berjarak. Darka mengatur napasnya menahan rasa sakit. Ia lupa membawa obat pereda nyeri, semua ia tinggal di rumah orang tuanya. Hanya bawa diri saat diperintah Abdi ke kantor.

"Kamu tega lihat aku kesakitan?" Kedua mata Darka terbuka, ia melirik saat bicara ke arah Klarisa.

"Resiko kamu. Kamu berharap apa emangnya? Aku ladenin kamu? Cih! Sorry." Klarisa duduk santai menikmati camilan kentang keju yang ia beli, bahkan Darka belum minum apa-apa sejak tadi.

Keduanya sama-sama terdiam. Darka malas beranjak karena masih mengontrol rasa sakitnya. Klarisa membalas pesan singkat dari timnya, semua berkas ada di tas, ia tak mau membuka di bandara.

Kemudian, Audrina mengirim pesan yang membuat putrinya mendesah kesal.

'Ibu tau kamu lagi sama Darka, kan? Ayah nggak akan tau dan Ibu nggak mau kasih tau. Bersikaplah manusiawi. Walau masa lalu kamu pahit dan sakit karena dia. Kamu harus tetap memanusiakan manusia, Kak.'

"Ibu ngutus demit mana lagi sampe tau kondisi di sini, males banget," dumalnya. Darka tak mendengar karena jarak duduk keduanya berjauhan.

Klarisa hanya membalas satu kata saja. 'Iya'. Setelahnya, ia menoleh ke Darka yang sesekali terbatuk. Klarisa mendongak, menguasai diri dari rasa ego yang tinggi.

"Fine," gumamnya lagi. Ia berdiri, berjalan ke hadapan Darka. "Mau makan apa?"

Darka membuka kedua matanya, menatap Klarisa dengan kepala terangkat.

"Kesambet apa kamu? Udah sadar ada orang sakit tapi kamu cuekin?" judes Darka.

Klarisa bersedekap, "anggap aja sikap aku karena ada manusia lemah dan butuh bantuan!" ketusnya dengan mata melotot.

Darka melayangkan pandangan dingin, Klarisa masih santai saja berdiri dengan ponggah di depan Darka.

"Cepetan," cicit Klarisa dengan gigi rapat. Ia tak mau menjadi tontonan banyak orang.

Magnetize ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang