BAB II

95 16 0
                                    

2009, Arcadia.

Tahun 2009, desa Arcadia yang terpencil dan miskin menjadi sorotan tak terduga. Ratu Taeyong, bersama kedua putranya, Pangeran Minor III dan Pangeran Minor V, memutuskan untuk mengunjungi langsung desa tersebut. Kedatangan mereka dirahasiakan ketat oleh kerajaan. Tidak ada kereta kencana mewah ataupun rombongan pengawal besar-besaran. Mereka memilih berpakaian sederhana dan menaiki kereta kuda biasa untuk menyamar.

Your Majesty, kita telah tiba di perbatasan desa Arcadia,” lapor Jenderal Taehyung, yang lebih akrab disapa V.

Kedua kereta kuda berhenti. Satu kereta berisi perbekalan, sementara kereta lainnya mengangkut keluarga kerajaan yang menyamar.

Taeyong mengangguk, “Baiklah Jendral V. Kuharap selama di desa kamu tak memanggilku dengan embel-embel Your Majesty.” Suaranya lembut, namun tegas.

“Baik, My Lord.” Taehyung kembali menunggangi kudanya.

Kereta kuda mereka perlahan memasuki desa Arcadia. Taehyung terkesiap. Desa ini jauh dari bayangannya. Rumah-rumah penduduk terlihat sederhana, bahkan cenderung kumuh. Dinding kayu yang sudah mulai lapuk dan atap ilalang yang tampak tak terawat menjadi pemandangan umum. Kekeringan terasa mencekik, tanah merekah membentuk garis-garis retak yang dalam, seakan menangis karena haus. Tanaman layu, daun-daun menguning, dan udara terasa panas membakar kulit.

“Ini jauh lebih buruk dari laporan yang kudapat,” gumam Taehyung, suaranya tertegun. Ia merasa hatinya tersayat melihat kondisi desa ini.

Taeyong mengamati sekelilingnya dengan tatapan prihatin. Anak-anak berlarian dengan kaki kotor, mata mereka berkilau namun sorotnya hampa. Perempuan-perempuan mencuci pakaian di sungai kecil yang airnya keruh, wajah mereka terlihat lelah namun tetap tegar. Para pria terlihat sibuk mencari sisa-sisa air untuk mengairi ladang yang mengering.

Kereta kencana berhenti dengan bunyi gemeretak roda yang mengakhiri perjalanan panjang. Debu berhamburan saat pintu kereta dibuka lebar. Beomgyu, bocah berumur 11 tahun penuh semangat, langsung melompat keluar, kakinya menginjak tanah dengan riang.

“Gyu, pelan-pelan, Nak!” seru Taeyong, matanya menyipit khawatir melihat kelincahan putranya.

Beomgyu hanya terkekeh, rambutnya yang hitam berkilau tergerai terkena angin. Taeyong, sang ibunda, turun dengan langkah tenang, diikuti Sion, adik Beomgyu yang berusia 10 tahun. Keduanya mengamati sekeliling penginapan baru mereka. Mata Beomgyu berbinar, tak sabar menjelajahi tempat yang asing ini. Sion, dengan ekspresi penasaran, menggenggam erat tangan Taeyong.

Seorang gadis muda dengan poni yang menutupi sebagian wajahnya mendekat. Wajahnya berseri-seri saat menyampaikan laporan, “My Lord,” suaranya merdu, “barang-barang milik Anda dan Minor Prince sudah siap di dalam.” Lisa, sang pelayan pribadi Taeyong, membungkuk hormat.

Taeyong mengangguk puas. “Baiklah, Lisa,” ujarnya, “ikutlah denganku.” Matanya kemudian teralih pada kedua putranya, Sungchan dan Beomgyu. “Bagaimana dengan kalian? Mau ikut berkeliling?” tanyanya dengan senyum hangat.

Kedua bocah itu mengangguk antusias, mata mereka berbinar penuh semangat.

....


Keringat mulai menetes membasahi kening Taeyong saat mereka menyusuri jalanan desa yang sepi. Sinar matahari terik menyengat kulit, membuat mereka ingin segera berteduh. Namun, rasa penasaran mendorong mereka untuk terus berjalan. Di kejauhan, terlihat kerumunan orang dan deretan tenda berwarna-warni. Pasar tradisional!

Beomgyu dan Sion, dua bocah penuh semangat, langsung menarik-narik tangan Taeyong. “
“Mom, lihat! Ada banyak mainan!” seru Beomgyu, matanya berbinar melihat aneka mainan yang tergantung di salah satu tenda. Sion hanya mengangguk setuju, tak kalah antusias dengan adiknya.
Taeyong tersenyum geli melihat tingkah kedua putranya. Ia mengacak-acak rambut Beomgyu gemas. “Sabar, sabar,” ujarnya sambil menarik mereka menuju pasar.

Symphony of Magic and LegendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang