Pernahkah kamu bertemu dengan seseorang yang selalu merasa paling benar? Tentu pernah. Mereka ada di mana-mana. Di kantor, di sekolah, bahkan mungkin di dalam keluargamu sendiri. Orang-orang ini adalah mereka yang yakin bahwa pendapat mereka adalah yang paling sahih, paling valid, dan tentunya, paling penting. Mereka tidak hanya berpendapat—mereka mendeklarasikan kebenaran. Dalam setiap diskusi, mereka akan berbicara seolah-olah mereka adalah satu-satunya yang telah dianugerahi kemampuan untuk melihat segala sesuatu dengan jelas dan sempurna. Dalam pikiran mereka, tidak ada ruang untuk keraguan atau kesalahan. Jika mereka mengatakan dua tambah dua adalah lima, maka dunia seharusnya segera menyesuaikan diri.
Si Paling Benar ini tidak pernah gentar untuk menyampaikan pendapatnya, meskipun situasinya tidak memintanya. Mereka berbicara dengan keyakinan yang luar biasa, seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulut mereka adalah emas murni yang patut disembah. Entah itu dalam rapat kerja atau obrolan ringan, mereka akan selalu mendominasi percakapan. Semua orang di ruangan tersebut mungkin memiliki pendapat, tetapi bagi mereka, pendapat orang lain hanyalah bising yang harus ditenangkan. Dalam benak mereka, mereka tidak sedang berdebat; mereka hanya sedang "mengoreksi" orang lain.
Cobalah berdebat dengan Si Paling Benar. Bukan hanya sulit, tapi juga melelahkan. Logika dan fakta seolah tidak mempan terhadap mereka. Jika kamu mengungkapkan data yang bertentangan dengan pendapat mereka, maka datamu pasti salah, atau lebih buruk lagi, tidak relevan. Bagi mereka, kebenaran bukanlah sesuatu yang objektif, tetapi sesuatu yang bisa diatur sesuai keinginan mereka. Dan ketika mereka tersudut, mereka punya senjata pamungkas: menyerang pribadimu. "Kamu terlalu muda untuk mengerti," atau "Kamu tidak cukup berpengalaman untuk memahami." Seolah-olah, pengalaman dan usia otomatis memberikan mereka hak untuk memonopoli kebenaran.
Tapi mengapa orang seperti ini ada? Apakah mereka benar-benar percaya bahwa mereka tidak pernah salah, atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik sikap arogan itu? Mungkin jawabannya terletak pada rasa tidak aman yang mereka coba sembunyikan. Orang yang selalu merasa harus benar biasanya adalah mereka yang takut terlihat lemah. Mereka telah membangun identitas mereka di atas dasar "kebenaran" yang tidak boleh dipertanyakan. Mengakui kesalahan atau kebodohan, meski hanya sekali, akan meruntuhkan fondasi yang mereka buat untuk melindungi ego mereka.
Sayangnya, sikap ini tidak hanya membuat mereka sulit diajak bekerja sama, tetapi juga membuat mereka kehilangan banyak kesempatan untuk belajar dan berkembang. Ketika seseorang menutup diri terhadap kritik atau pandangan yang berbeda, mereka juga menutup diri dari kemungkinan perbaikan. Dunia berubah, pengetahuan berkembang, tetapi Si Paling Benar tetap di tempat yang sama, terjebak dalam keyakinan yang mereka anggap mutlak.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan ketika berhadapan dengan Si Paling Benar? Mengubah mereka mungkin bukan pilihan yang realistis. Namun, kita bisa memilih untuk tidak terperangkap dalam permainan mereka. Jangan biarkan keyakinan mutlak mereka menghentikanmu untuk mengejar kebenaranmu sendiri. Kadang, cara terbaik untuk menghadapi mereka adalah dengan diam—bukan karena kita kalah, tetapi karena kita tahu, dalam diam kita, ada kebebasan untuk berpikir dan mempertanyakan. Kebenaran sejati tidak memerlukan pengakuan dari mereka yang terlalu buta untuk melihatnya.
Pada akhirnya, Si Paling Benar mungkin merasa mereka telah menang setiap kali mereka berhasil mendominasi percakapan. Tapi kemenangan semacam itu hanya ilusi. Kebenaran yang dipaksakan bukanlah kebenaran yang sesungguhnya, dan lambat laun, mereka akan menemukan bahwa dunia tidak akan berhenti untuk menunggu mereka mengoreksi semua orang.
Dan ketika hari itu tiba, mungkin mereka harus bertanya pada diri sendiri: "Memangnya kamu siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
memangnya Kamu Siapa?
Non-FictionAda banyak jenis manusia yang menjadi beban di dunia, mungkin kamu pernah bertemu salah satunya.