💜💜💜
"Pagi-pagi itu mbok ya cari kerja to mas, mas. Bukannya malah duduk pakai sarung, kaki dilipat. Gimana bisa dapat uang, kalau begitu terus kerjaanmu tiap hari,"teriakan Midah menggema ke seluruh ruangan rumahnya.
Mungkin juga terdengar berisik untuk tetangga yang rumahnya berdekatan dengan mereka. Tapi, karena sudah sering terdengar, jadi tetangga-tetangga sepasang suami istri itu, menjadi biasa.
Wanto menaikkan ujung sarungnya. Mengubah posisi dari duduk menjadi meringkuk. Bukannya dia tidak mau cari kerja, tapi semenjak di PHK dari tempat kerjanya, dia sulit mendapat pekerjaan. Melamar kerja sudah, mencoba meminta pekerjaan langsung sudah, tapi tak ada yang mau memberinya pekerjaan. Mereka menolak dengan alasan umur lah, pendidikan kurang tinggi lah.
Jadilah, selama beberapa waktu ini, Wanto hanya berdiam diri di rumah. Mengandalkan sisa pesangon yang entah tinggal berapa rupiah di tangan istrinya, untuk menunjang kehidupan mereka.
Midah mendatangi Wanto sambil mengusapkan tangannya yang basah dengan daster yang dipakainya.
"Heh, mas. Uang kita itu tinggal 300 ribu. Mikir dong, buat cari kerja, biar dapat duit. Bisa tambah keriting rambutku kalau kamu nggak ada usaha apapun buat cari nafkah begitu,""Dah, mas bukannya nggak mau cari kerja. Tapi kan kamu tahu sendiri, mereka menolak, dengan banyak alasan,"
Perdebatan terus saja terdengar pagi itu. Hingga ujungnya, Wanto tampak keluar rumah menuju jalanan ke arah pasar. Dia berpikir, mungkin saja bisa jadi tukang panggul barang di pasar.
Kakinya melangkah ke kios Koh Hun, seorang pedagang cina yang punya beberapa toko di pasar itu. Setelah bertemu Koh Hun, Wanto pun menceritakan maksud kedatangannya. Mungkin memang nasib baik sedang memihak padanya. Koh Hun memintanya untuk membantu seorang pekerjanya, mengantar barang ke sebuah alamat.
Wanto membantu Eko menaikkan barang ke mobil pick up, lalu mereka mengantar ke alamat pemesan.
Sebuah rumah yang amat megah. Dan ketika menurunkan barang, Wanto diminta langsung mengantarkannya ke dalam rumah, lewat pintu samping.Semula Eko membantu membawakan barang ke dalam. Tapi, setelah satu kali masuk, dan ternyata jaraknya cukup jauh, Eko mempunyai pikiran licik.
"Eh, Wan, kamu yang antar ke dalam ya, aku jagain mobil sama memilah-milah mana barang yang diturunkan,""Iya Ko. Tak masalah. Biar aku yang bawa ke dalam,"
Beberapa kali Wanto melintasi bagian samping rumah mewah itu, tapi tak melihat seorang pun pemiliknya. Yang menunjukkan arah adalah seorang pembantu rumah tangga saja. Tapi, tanpa ditahu Wanto, rupanya ada yang memperhatikan gerak geriknya.
Dia Lana. Pemilik rumah itu. Rumah yang dihuninya seorang diri, karena orang tuanya sudah lama meninggalkannya. Dia hidup sendiri. Hanya ditemani beberapa pembantu, sopir dan satpam saja. Almarhum orangtuanya meninggalkan banyak aset kekayaan berupa rumah, tanah, serta beberapa bidang usaha, yang kini ia sendiri yang mengelola dengan dibantu beberapa orang kepercayaannya.
Lana mempunyai kehidupan yang terjamin. Hanya satu yang tidak ia miliki, pendamping hidup. Di usianya yang sekarang, pada umumnya, teman-temannya sudah mempunyai dua orang anak. Bukannya Lana tak mau berumah tangga, tapi ia mempunyai trauma pada laki-laki.
Kebanyakan lelaki yang mendekatinya hanya mengincar hartanya saja. Dulu bahkan ada yang hampir mencelakainya, hanya karena ingin memiliki hartanya. Untunglah, orang-orangnya dengan sigap bisa menyelamatkannya, dan menyingkirkan laki-laki itu dari hidupnya.