Bayangan yang berdiri didepan

55 1 0
                                    

Musim gugur berpamitan, daun dipelataran sudah selesai digiring sapu ke tempat pembuangan daur ulang untuk jadi pupuk sehat, salah satu pencegahan bumi tua agar tak cepat membungkuk kelelahan, hanya tinggal menunggu angin musim dingin menyapa. Dikabarkan dari majalah remaja yang beredar diawal tahun, dibagian ramalan, terletak ditengah majalah dengan lembar berwarna paling menarik karna ramalan adalah andalan dari majalah itu sendiri, di situ tertulis tahun ini musim dingin akan lebih dingin dari tahun lalu, bahkan bisa membekukan kubangan kolong tikus dibawah selokan. Bumbu yang dilebihkan memang wajar dalam hal pemasaran, pembeli suka dan kantung meledak minta dibelanjakan, cukup menguntungkan.

Aruko menghembuskan napas, uap putih keluar dari mulutnya, menabrak jendela besar dihadapan yang beradu dengan dahinya. Kai menyernyit mendapati kelakuan rekan kerjanya yang selalu aneh. "Kuperingatkan, jangan tempelkan dahimu di jendela seperti itu! kau membuat toko ini tak laku."

Aruko membalikan tubuhnya, melepas kemesraan dahinya dari jendela yang entah menjadi pejantan atau betina, matanya menatap lelaki jangkung merambut aneh naik memuntir keatas. "Apa hubungannya?"

"Pengunjung hilang selera untuk membaca saat melihat wajah bodohmu." Aruko tahu, laki-laki ini memang bermulut tajam, ingin balik mengatai tapi takut karma karna umur yang terpaut terlalu tinggi, gadis ini hanya bisa menyabarkan diri, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa orang tua memang terbiasa menceramahi. Ya, dasar orang tua. "Berhenti mengataiku dalam hati! memangnya aku tidak tahu? wajahmu itu mengejekku."

Aruko tersentak, orang tua memang kadang berpotensi jadi cenayang. "Aku hanya remaja yang butuh berkeluh kesah, tak ada yang akan mendengarkanku sebaik jendela yang sejak tadi mendengarkanku."

"Kau sudah bodoh, gilamu tak ketulungan, aku dan kau hanya selisih tujuh tahun, tapi ketika bersamamu aku serasa menjadi kakek tua yang punya cucu idiot." Kai melangkah pergi dengan masih bergumam kesal.

"Harusnya aku yang kesal karna dikatai, kenapa dia yang marah-marah?"

"Berhenti mencari gara-gara dengannya Ruu."

Aruko menoleh ke asal suara. "Maeda-san, bukan aku yang memulai." Wajah gadis itu terlihat kesal.

Maeda si pemilik toko buku tersenyum kecil. "Ya, tapi kau tetap harus mengalah kan?"

"Bukankah seharusnya yang lebih tua mengalah, lagipula benar bukan aku yang memulai."

"Oke, bukan kau yang memulai, senang sekarang?"

Aruko tersenyum cerah. "Ya." Maeda ikut tertawa kecil melihat karyawannya.

Aruko masih tersenyum kecil disamping pemilik dari toko tempat kerja sambilannya, kadang matanya tak fokus karna memikirkan sesuatu, sesuatu yang terjadi juga diakhir musim gugur, disaat kelulusan sekolah menengah atasnya tiga tahun yang lalu.

. . .

Jaket dieratkan dan topi musim dingin penghangat telinga juga semakin dilesakan membungkus rambut hitam sebahu. Aruko mendesah panjang-panjang, dia mahasiswa psikologi tapi tak bisa mengatur berkas-berkas yang berceceran diotaknya, terlalu banyak melamun dan menghela nafas, itu sebabnya kebahagiaan menjauhinya.

Dalam sebuah drama berseri favorite yang ditayangkan setiap akhir pekan ditelevisi, seorang gadis biasa-biasa saja selalu ditakdirkan hidup dikelilingi lelaki muda kaya raya yang tampan. Dirinya berkehidupan biasa, ayahnya karyawan diperusahaan kecil, sedangkan sang ibu hanya ibu rumah tangga, dia juga memiliki seorang adik lelaki yang akan melaksanakan ujian akhir sekolahnya tahun depan, dia sendiri seorang mahasiswa di universitas yang biasa saja, yang kerja sambilan mulai enam bulan yang lalu ditoko buku, hidup yang sangat biasa, tapi kenapa dirinya tak dikelilingi lelaki tampan kaya raya?

Kepalanya tertunduk, merutuki pikiran bodoh yang baru saja bersarang sekelibat didalam pikirannya, tentu saja dia tahu penyebabnya, yang membedakan dirinya dengan gadis tokoh utama dalam drama romantis itu adalah sifat tsunderenya, biasanya gadis dalam film itu pemberani, tapi dirinya penakut. Sifat sialan yang bahkan disaat-saat akhir kelulusan sekolah tak bisa dia hancurkan hanya untuk mengungkapkan perasaannya pada seseorang yang selama setahun penuh dia kagumi.

Kepala menengadah keatas langit yang menunjukan kemewahan berbutir kristal kerlap kerlip, malam ini hanya sedikit karna sisanya tertutupi awan dingin. Berkas dalam otaknya yang disimpan dalam satu folder bergambar bunga dengan hati sebagai temannya terbuka, membuatnya terbuai dalam lamunan sejenak.

. . .

Hari itu hari ketiga dalam minggu bulan ke enam, hari dimana Aruko merasa ada seseorang yang mengambil hatinya hanya dengan sekali pandang bertemu, momen nya sangat mirip dengan drama, pintu terbuka dan kedua mata bertemu lalu saling bertatapan, hanya sekejap tapi sungguh dapat merubah rutinitasnya.

Pagi curi-curi pandang kedepan kelas si kakak kelas yang menjadi pujaan hati, tapi lari saat orangnya berdiri disisi, memang dasar tak tahu diri.

Begitu terus sampai matahari pun lelah melihat hal yang sama setiap hari, "Hahahaha, tentu saja tidak." Tapi iya didalam, wajahmu itu hanya dingin diluar, Aruko mengatai dirinya sendiri dengan jengkel, suka hanya tinggal bilang suka, kenapa mengelak. Diri sendiri bahkan sampai marah pada dirinya sendiri. Jujur itu susah, apalagi mengenai perasaan terdalam.

Bahkan sampai berhari-hari tak ada dialog yang terucap, tak ada perkembangan yang bisa diharapkan. Puncaknya adalah saat ujian akhir kenaikan kelas, dia berada sangat dekat, hanya terpisah jarak satu meter di samping, tapi bahkan sekedar salam pun tak terucap.

Hari yang datang semakin membentangkan jarak, rasanya dada ingin meledak saat itu juga karna tak kuat menyimpan perasaan mendalam, bahkan sampai akhirnya pun tak terucap, benar-benar berlalu begitu saja.

Aruko menghela nafas untuk yang kesekian kali, batu kecil dibawah kakinya menggelinding karna tertendang sepatu coklat, ingatan masa remajanya entah kenapa kembali terngiang, itu adalah saat dirinya belum bisa mengatur segala emosinya, tapi waktu yang berlalu membuatnya banyak memikirkan sesuatu dan langkah yang dilaluinya membuatnya banyak bertemu orang-orang yang berbeda, sekarang emosi adalah temannya, yang tergambar bukanlah yang tertera dalam hati, memakai topeng untuk melindungi diri sendiri dan menjaga perasaan orang lain. Emosi adalah hal yang berbahaya jika tidak hati-hati dalam menunjukannya.

Aruko tau dirinya lemah, tapi dia tak berusaha menunjukan kelemahannya itu, dia berusaha menjadi orang yang tak perlu rasa kasihan, dia akan berjuang untuk dirinya sendiri, karna saat dirinya berhasil, itu berarti orang-orang yang selama ini berada di sisinya juga berhasil, terutama orang tuanya.

Sampai saat ini memang hanya rasa suka saat masa remaja itulah yang pernah dia rasakan, hanya sekali untuk itu, bukan karna tak berani jika berakhir sama, rasa takut memang ada, tapi yang terutama adalah sikap hati-hati, "Lagipula jika hidupku dikelilingi pria tampan dalam drama, itu akan terlihat rumit, dan sangat meyedihkan." Aruko terkekeh, gadis itu merasa pelajaran kejiwaan hari ini membuat dirinya malah ikut sakit jiwa. Biarlah, cerita Tuhan tertulis dalam lembaran langit terakhir, siapa yang tahu hidup seseorang. Gadis itu tersenyum lebar, mengenyahkan pikiran rancu dan berjalan cepat menuju rumah.

Selesai.

‎Semarang, 23 ‎Mei ‎2015, ‏‎0:15:18

Sayonara MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang