BAGIAN 3 - TABIR GAIB

6 1 0
                                    


Malam itu hujan deras disertai badai mengguyur ibukota. Di rumah sakit itu Claire terperanjat mendapatkan kenyataan dari perkataan Dara Tirta tadi siang di kelas. Mamanya sudah tertidur pulas di sampingnya, di ruangan VIP. Claire memang berasal dari keluarga kaya.

"Deras banget hujannya." Gumam Claire pada dirinya sendiri. Terdengar suara guntur bergemuruh disertai angin deras menerpa. Diliriknya jam dinding yang tergantung di ruangan perawatan itu. Pukul tujuh lewat dua puluh dua menit.

"Darimana Dara bisa tahu kalau jam tujuh hujan akan turun sederas ini?" Claire tampak termenung masih memikirkan ucapan Dara. "Kalau saja aku tidak mempercayainya, sudah pasti aku terjebak di rumah dan mama akan kesepian disini."

Claire sangat dekat dengan mamanya. Saat dirawat, sanak keluarga silih berganti datang menjenguknya. Namun tidak pada malam itu dimana hujan badai seperti ingin menunjukkan kuasanya. Ditatapnya mamanya yang beristirahat dengan tenang itu. Infus masih tergantung di atas kepalanya.

"Kata Dara besok sore mama akan pulang ke rumah. Kalau memang benar ucapannya itu..." Claire menatap infus yang masih terpasang di badan mamanya itu. "Aku ingin banget bisa mempercayainya, tapi mama masih begini. Apa mungkin?"

"Tapi prediksinya tentang hujan malam ini sih terbukti. Aku tak habis pikir darimana Dara bisa tahu ya? Tentang mamaku yang sakit, hujan deras malam ini dan tentang besok."

"Dua dari perkataannya terbukti benar. Tinggal satu lagi nih. Cuma ya itu, Dara bisa tahu dari mana?"

Bola api menyambar disertai bunyi geledek yang menggelegar. Ruangan yang memang terang itu sekilas menjadi lebih terang saat kilat menyambar. Claire masih menutupi kedua telinganya dengan tangannya saat guntur berbunyi lantang selama beberapa detik lamanya. Barulah saat kilat tak lagi menyambar dan bunyi guntur tak lagi menggelegar, Claire bisa melanjutkan perkataannya.

"Ah, besok akan aku cari tahu darimana Dara bisa mengetahuinya. Ucapannya lebih tepat dibandingkan ramalan cuaca."

Di saat bersamaan...

"Gilaaa... Ini sih gila..." Melati menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu. "Jam tujuh dan hujan badai pun terjadi."

"Gue yakin banget kalau Dara pasti punya kelebihan." Kata Melati. "Ini kalau bukan indigo, lantas apaan coba?"

"Gini-gini kan gue juga bisa tau kalau lu sebenarnya ada kemampuan. Cuman kenapa lu nggak mau ngaku sih, Ra?"

Disambarnya ponselnya yang tergeletak di samping ranjangnya dan menekan beberapa kali di layarnya. Menunggu nada sambung diangkat, Melati pun bersuara.

"Ra, gila bener. Sekali ini lu udah nggak bisa menyangkal sama gue." Melati langsung memberondong Dara yang diteleponnya itu. "Apa yang lu bilang beneran terjadi. Jam tujuh dan hujan badai."

Dara mengibaskan rambut panjangnya. Gadis itu mengenakan pakaian tidur dan sedang menikmati istirahat malamnya. Walau begitu, dia masih tetap tersenyum kecil mendengar perkataan sahabatnya itu.

"Yah, Mel, anggap aja sekali ini ucapanku benar ya."

"Masih mengelak ya kau, Ra... Bener-bener deh..." Suara Melati dari saluran seberang terdengar.

Dara tertawa pelan. Matanya melirik sekilas ke sosok berbaju putih yang berdiri di pojok kamarnya, tampak meringkuk dan menatapnya dengan pandangan ketakutan.

"Besok nih pertanggungjawabkan perkataan lu ya di sekolah." Sambung Melati. "Gue tagih lu."

"Apaan sih, Mel, kayak hutang aja deh ditagih gitu." Dara tertawa. Melati menutup pembicaraan di ponselnya sesaat kemudian.

"Keluarlah. Aku takkan menyakitimu." Ujar Dara pada sosok putih yang terpojok di sudut kamarnya.

Sosok wanita berambut panjang dan berwajah pucat itu menggeleng. Sepasang tangannya terlipat di depan dada dan tubuhnya tampak bergetar.

"Ayo, Rima, jangan takut." Dara tersenyum menatap sosok itu. Dijulurkannya lengannya lurus ke arah sosok yang bukan lain adalah kuntilanak itu.

"Kau... Ke... Kenapa bisa tau namaku?" Terdengar suara parau kuntilanak itu.

Senyum Dara masih menghiasi bibir indahnya. "Anggap saja aku tau. Kau meninggal karena dibunuh pacarmu kan?"

Kuntilanak bernama Rima terperangah. "Ya. Tapi maaf, aku tak kuat menatapmu lama-lama. Matamu sangat tajam seperti mengirisku. Hawa badanmu hawa membunuh. Aku tak bisa mendekat."

"Hmmm..." Hanya suara gumaman yang terdengar dari Dara menanggapi ucapan Rima.

"Tolong turunkan tanganmu. Energimu mengalir saat tanganmu diangkat. Aku masih ingin hidup. Jangan bunuh aku...."

Rima adalah kuntilanak penghuni salah satu kamar kosong di rumah Cokro Prakoso, adik kandung mendiang ayah Dara. Sejak kedatangan Dara di rumah itu, dia masih belum sanggup beradaptasi dengan kekuatan aura di badan sang gadis.

"Maafkan aku, Rima." Dara menghela nafas. "Ini bukan mauku. Sejak aku kecil, energi ini sudah ada."

"Aku tahu. Gurumu itu, aku sangat takut padanya. Kami semua sangat takut padanya."

Dara tertawa pelan. "Tak perlu takut. Aku takkan menyakitimu, percayalah."

"Tapi aku tak bisa mendekatimu." Rima berkata. "Energimu terlalu kuat."

"Yah, mungkin suatu saat kau akan jadi terbiasa, Rima." Dara melipat kakinya dan menarik selimut menutupi tubuhnya. "Malam hujan deras begini, biasanya teman-temanmu semakin banyak muncul berkeliaran. Benar kan?"

"Sebenarnya aku ingin berteman denganmu. Tapi apa boleh buat, mungkin waktunya memang belum tiba." Lanjut Dara. "Maaf kalau kehadiranku ini sudah mengganggu ketenanganmu."

WUSSHHH!!! JDUGGG!!

"Aaakkkhhh..."

Dara melirik ke arah jendela kamarnya, tempat suara mendadak itu berasal. Dengan mata bathinnya dia melihat sesosok tubuh terbanting ke tanah di antara guyuran hujan deras saat badannya tertabrak sesuatu di depannya.

"Ngghhhhhh..." Sosok itu mengeluh dan mencoba bangkit. Gerakan berdirinya bukan seperti layaknya manusia biasa, namun dia berdiri dengan sekujur badan terangkat dan sepasang kaki yang tidak bergerak sama sekali. Di atas kepalanya tampak sejumput kain putih terikat. Wajahnya hitam gosong dengan bola mata lebar hitam di antara rongga merah. Tampak wajah itu mengernyit kesakitan saat bangkit berdiri, memperlihatkan deretan gigi yang juga hitam.

Rima terkikik melihat kejadian itu. Di luar kamar tidur itu, tepatnya di taman bunga, sesosok pocong terbanting jatuh menghantam tanah saat menabrak tabir gaib di sekeliling kamar.

"Lihat, bahkan dia tak sanggup menembus tabir gaibmu." Kata Rima dalam suara cekikikannya. "Beruntung tubuhnya tidak terbakar."

Sosok berupa pocong itu tampak kebingungan dengan apa yang barusan terjadi. Tubuhnya yang terikat kain kafan itu kini sudah basah oleh hujan. Matanya mencoba menembus tabir gaib di depannya, namun baru beberapa detik tubuhnya seketika membalik dan melesat meninggalkan tempat itu.

"Hanya numpang lewat kok," Dara tersenyum. "Biarlah, selama dia tidak terluka saja. Karena aku tak ada niat untuk melukainya."

Dara menghempaskan badannya ke ranjangnya yang empuk. Ditariknya selimutnya lebih tinggi menutupi tubuhnya bersamaan dengan mulutnya yang terbuka menguap.

"Hujan deras begini, sejuk, enak banget buat tidur lebih awal. Istirahat yang cukup deh. Besok aku pasti dicecar pertanyaan oleh mereka berdua dan teman-teman lainnya." Gadis itu bergumam sambil menutup matanya. Sementara di luar, hujan semakin deras disertai suara gemuruh guntur saling bersahut-sahutan.

Titisan Sang RatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang