Pelajaran hari itu berlangsung normal, tak ada yang istimewa. Hingga saat istirahat pertama, Melati mengajak Dara bersantap di kantin sekolah.
"Ra, udah sarapan belum?" Dari kelas sebelah, Melati memasuki ruang kelas 11 IPA untuk menemui Dara.
"Aku belum lapar sih." Ujar Dara. "Tapi kalau mau barengan, boleh aja kok."
"Nah gitu dong." Melati tertawa lepas. "You're my best friend."
Dara merespon tertawaan Melati dengan senyuman khasnya. "Kantin yang mana nih?"
"Yang di atas aja deh." Jawab Melati. Kantin sekolah mereka memang ada di dua lokasi, di lantai paling dasar dengan lantai paling atas. Tingkat SMA menempati lantai kedua teratas dari gedung tersebut, sehingga para siswa merasa lebih leluasa untuk makan di kantin di lantai atas. Dara mengambil dompetnya dari dalam tas dan berjalan bersama Melati menuju ke lantai atas.
"Mel, mengenai hal tadi," Sambil melangkah, Dara bersuara. "Usahakan teman atau guru yang lainnya nggak tau ya."
"Yang mana?" Melati bertanya. "Oh yang indigo itu."
Dara mengangguk. "Matamu memang tak bisa dibohongi. Tapi aku minta ini tetap jadi rahasia ya."
"Woles lah. You can count on me." Kata Melati. "Mungkin Claire tuh yang harus dipesan hal yang sama."
"Aku sudah bilang padanya juga tadi." Langkah Dara menjadi pelan. "Kalian berdua bisa aku percaya kok. Mau makan apa, Mel? Aku sih ikutan aja."
Melati tampak celingak-celinguk melihat kantin yang dipenuhi oleh para siswa yang sebagian adalah angkatannya, selain kakak dan adik-adik kelasnya.
"Itu aja deh. Aku lagi pengen makan bakso ikan." Melati menunjuk ke kantin kedua dari tempat mereka berdiri. "Sekalian aja yuk, aku traktir."
"Aku masih kenyang, Mel." Dara mengusap perutnya yang ramping itu. "Kamu duluan aja."
"Gue traktir nih, yakin mau nolak?" Melati menatap wajah Dara yang tersenyum mendengar celotehannya.
"Yakin kok." Dara menggamit lengan Melati. "Yuk, sisa dua mangkok lho. Nanti kamu bisa nggak kebagian."
Melati tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Bener-bener deh. Nggak ada ya yang bisa lewat dari instingmu itu."
Keduanya berjalan menuju kantin kedua. Di depannya tampak berdiri seorang gadis ramping berkulit putih dengan rambut hitam terawat sepunggung.
"Ven, gue bayarin ya." Terdengar suara seorang lelaki yang pandangannya tertuju pada gadis ramping itu.
"Jangan, Don. Aku bisa bayar sendiri kok." Suara gadis itu terdengar feminin. Dikibaskannya rambutnya yang menutupi pundaknya itu.
"Untuk cewek cantik..." Siswa itu langsung menyodorkan sejumlah uang kepada penjual di kantin itu. "Bu, makanan Veni aku yang bayar ya."
"Apaan sih, Don." Gadis yang dipanggil Veni itu menepis tangan siswa itu. "Bu, jangan diambil. Aku nggak minta dibayarin dia juga."
Ibu penjual kantin tersenyum melihat kelakukan mereka berdua.
"Siapa dia, Mel? Cantik sekali." Dara menunjuk gadis di depannya itu.
"Namanya Venezia. Gadis keturunan." Melati berbisik pelan, sekedar menghindari ucapannya terdengar karena jarak mereka yang cukup dekat. "Saking cantiknya, banyak cowok yang naksir dia."
"Ooo, nggak heran sih." Sepasang mata Dara tampak tak berkedip menatap badan Venezia yang berdiri di dekatnya itu.
"Lu juga cantik, Ra." Melati menepuk pundak Dara, hanya untuk mendapatkan dirinya terkesiap melihat Dara tak berkedip menatap sosok tubuh Venezia di depan mereka itu. "Ra..."
"Ra... Kenapa, kok bengong?"
"Ooo... Nggak..." Seperti tersadar dari lamunannya, Dara tersenyum. Dia segera menyelinap di antara Venezia dan cowok yang sedang merayunya itu.
"Maaf." Ujar Dara. Suaranya yang lembut membuat Venezia dan cowok itu menengok, untuk selanjutnya menepikan badan untuk memberikan ruang sehingga Dara bisa melangkah maju.
"Bu, sisakan semangkok bakso ikan untuk temanku." Terdengar kembali suara Dara yang lembut. Si ibu kantin yang semula menunduk, mengangkat wajahnya dan melihat sumber suara itu.
"Baik, Dara." Ibu itu mengangguk dan mengambil mangkok yang tersisa seporsi bakso ikan. "Mau pakai apa?"
"Mel, sini." Dara menengok ke belakang dan melambaikan tangannya. Melati mendekat mengikuti lambaiannya, dengan wajah terbengong.
"Kok bengong gitu? Ini sudah aku pesanin." Ujar Dara. "Mau pakai apa aja tuh kata Ibu."
"Ini, Bu." Terdengar Venezia berkata sambil menjulurkan lengannya. "Uangnya pas ya, nggak perlu kembali lagi."
Sepasang mata Venezia dan Dara saling bertatapan. Tatapan keduanya seperti terkena magnet yang saling menarik.
'Jadi ini murid baru pindahan dari luar kota itu. Matanya...Tajam sekali tatapannya.' Venezia berkata dalam hatinya. Sesaat kemudian, dia menyadari sesuatu. 'Bola mata hijau. Dia...'
'Ini...' Di satu pihak, Dara tak urung tertegun juga saat bertatapan mata dengan Venezia. Tak perlu waktu lama baginya, Dara kemudian menyunggingkan senyumnya. 'Seperti dugaanku...'
"Ra... bisa ngatain gue bengong, sekarang lu sendiri yang bengong." Suara Melati menyadarkan keduanya.
"Ven... Kan gue bilang tadi gue yang traktir..." Terdengar suara cowok tadi lagi.
"Brandon, lu itu." Melati menatap tajam ke cowok yang ternyata bernama Brandon itu. "Veni udah bayar sendiri. Mending lu bayarin bakso gue dah kalo gitu."
"Cisshh... Sori ya..." Brandon menggerutu dan membalikkan badannya. Berjalan ke arah beberapa temannya yang berdiri tak jauh darinya dan Brandon melihat mereka sedang terkekeh mentertawainya.
"Gagal maning, Don..." Salah seorang dari mereka berkata.
"Napa lu nggak traktir Dara aja, Don?" Celetuk teman lainnya. "Nggak ada Veni, Dara pun jadi."
Dara yang mendengar kelakar mereka terdiam dan melihat mereka dengan ujung matanya. Tanpa dinyana, beberapa siswa itu spontan beranjak dari tempat mereka berdiri. "Kita cari kantin yang lain aja yuk. Rame banget disini."
"Hai, anak baru ya?" Venezia berkata dan menjulurkan tangannya. "Aku Venezia, tapi biasa aku dipanggil Veni."
"Dara Tirta." Dara menerima salaman Venezia. "Panggil saja Dara."
"Aahhhh..." Venezia menarik lengannya saat kedua gadis itu bersalaman. Di saat bersamaan, Dara pun terkesiap dan menarik lengannya.
"Kenapa, Ra?" Melati yang mendengar jerit kaget Venezia menoleh. Padahal saat itu dia sedang meminta campuran bumbu untuk bakso pesanannya.
"Nggak apa-apa, Mel." Tatapan mata Dara tak lepas dari mata Venezia yang menggoyangkan lengannya bagaikan kesemutan itu.
"Senang berkenalan denganmu." Venezia berkata lagi sambil mengambil pesanannya dan berbalik badan meninggalkan keduanya. Melati sampai terbengong melihat tingkahnya.
"Dia kenapa, Ra?" Tanpa berkedip, Melati melihat langkah Venezia hingga menghilang dari pandangan mereka.
Dara tersenyum. "Nggak ada apa-apa, Mel. Mungkin dia sudah lapar, jadi buru-buru."
"Oooo..." Melangkah ke arah meja kantin dan duduk, Melati sama sekali tak menyadari pikiran yang ada di kepala Dara.
'Venezia ya...' Gumam gadis itu. 'Kenapa sekolah ini penuh dengan orang begituan ya?'
KAMU SEDANG MEMBACA
Titisan Sang Ratu
Teen FictionDara Tirta, siswi pindahan kelas 11 ke sekolah Pratama Mulya, ternyata seorang indigo. Melati, salah satu siswi, mengetahui hal itu karena pamannya adalah seorang dukun spiritual. Sifat dan perilaku Dara tak luput dari matanya yang sudah terlatih it...