- Satu -

19 7 9
                                    

- Selamat Membaca -
14 Februari 

Ada yang terasa sakit, tapi tak dapat menemukan di mana letak luka itu berada. Ada yang terasa luka tapi tak tahu cara mengobatinya bagaimana. Seakan ribuan jarum yang menancap pada diri seseorang itu tak ingin terhenti saat dia belum ada di fase menyerah. Hanya mampu terduduk di sebuah kursi panjang tak jauh dari sebuah gedung yang harusnya tempat acara untuknya berlangsung. 

Diam seorang diri bersama semilir angin menemani kesendiriannya. 

Namun, tidak untuk hati dan pikirannya yang melayang membayangkan kejadian yang seharusnya tidak benar-benar hadir dalam acara kebahagiaan miliknya. Ah, tidak. Bukan, bukan kebahagiaan miliknya, entah bagaimana menyebutnya saat ini. 

Hanya hati kecilnya berjanji untuk selamanya tak akan pernah lagi mau merayakan hari ulang tahun atau hari kasih sayang. 14 Februari, hari kasih sayang? Bukan, bukan hari kasih sayang. Tapi, hari paling menyakitkan seumur hidup dirinya saat dia yang tak tahu apa-apa dihadapkan dengan hal yang seharusnya umur sepuluh tahun pantasnya bermain, sekolah dan bermalas-malasan, melakukan sesuatu hal yang seperti layaknya bocah lain  pada umumnya. 

“Wah … Pa! Makasih, ya, Papa udah mau rayain ulang tahun Akhtar yang ke sepuluh ini, wih, kue-nya … bagus banget, Pa, i … ini gambar mainan yang Akhtar mau,” ungkap bocah yang memanggil nama dirinya dengan sebutan Akhtar. 

Bruk … 

Di tengah kemeriahan perayaan ulang tahun yang ke-sepuluh teruntuk putra semata wayang Nevandra Malik Zaigham. Seorang wanita yang sejak kedatangannya merangkul lengan Nevan seakan-akan dialah pemegang tahta tertinggi yang dimiliki oleh seorang Nevandra. Begitu mendengar bocah sepuluh tahun berkata demikian pun, dengan sengaja mendorong si bocah supaya menjauh dari jangkauan keduanya. 

Anehnya, Nevandra malah tak menegur wanita itu dan mencoba mengalihkan situasi yang pada kenyataannya Nevandra mengumumkan perayaan ulang tahun putranya ini untuk mengumumkan bahwa Nevandra telah resmi menyandang status suami lagi setelah lama menduda. 

Tepatnya, setelah mama si bocah bernama Akhtar itu meninggal dunia. 

“Saya dan Lestari Anggriani atau nama panggilannya Tari ini kami telah menikah tiga minggu yang lalu. Acara ulang tahun anak saya sebenarnya hanya selingan saja, resminya itu untuk kami berdua. Mari, Sayang! Sini … hadap ke tamu, perlihatkan bahwa kamu Nyonya Nevandra. Kamu istriku mulai sekarang dan selamanya,” ungkapnya sembari mengulurkan tangannya, kemudian diraih oleh wanita bernama Tari tersebut. 

“Iya, Mas.” 

“Pa!” 

Bocah kecil bernama Akhtar itu berdiri, lantas dia mencegah papanya untuk menyentuh atau bersentuhan dengan wanita yang sama sekali dia tidak ketahui. Selama yang dia ketahui pun papanya hanya terfokus kerja dan jarang sekali pulang. 

Lantas, apa ini? 

“Nanti dulu, ya, Tar. Ulang tahun kamu kapan-kapan saja, belakangan, setelah selesai Papa sama Mama Tari,” ujarnya, melepaskan cekalan putranya, “kalau bisa habis semua tamu pulang, ya? Kasihan Mama Tari.” 

Sementara, wanita yang menjadi penghancur kebahagiaannya ini hanya tersenyum miring menatap dirinya yang mencoba menahan matanya yang telah memanas. 

“Pa! Papa janji … dulu Papa mau rayain ulang tahun Akhtar, Pa?” 

Wanita itu melepaskan tangan Akhtar dengan sangat kasar. “Hei! Kamu tidak dengar apa yang dikatakan Papa kamu, hem?” 

“Menyingkirlah kamu! Kamu wanita luar, bukan mamaku. Mamaku hanyalah Mama Savira.” 

“Jaga bicara kamu, Akhtar! Sebaiknya kamu menjauh dulu, ya? Nanti kita tiup lilin bertiga saja. Tamu sudah banyak. Papa mau mulai dulu, ayok, Sayang!” 

Bulir bening yang sejak tadi mencoba untuk ditahan berharap tak menangisi sesuatu yang menurutnya sangat menyakitkan, namun faktanya yang Akhtar kecil alami memang sangat menyakitkan terlebih papanya. satu-satunya orang yang dia punya di dunia ini mengabaikannya. Dia menengadah. Menatap bintang yang terang menghiasi gelapnya malam, setetes air bening tak pernah terhenti untuk tidak tumpah. 

Terlebih ketika tiba-tiba seseorang hadir dan duduk di sampingnya. 

Tak ingin menoleh dan tetap asyik menatap bintang yang indah, tapi tak seindah harinya saat ini. Akhtar kecil—-si pemilik mata sipit itu hanya menutup bibirnya rapat-rapat dan enggan membuka suara meski pada akhirnya orang itu mengajaknya bicara lebih dulu.

Diam lebih baik untuknya yang tak dapat menahan emosinya saat ini. 

“Bintangnya cantik, ya? Bahkan saking cantiknya sampai kamu nggak mau lihat aku yang di samping kamu. Padahal, aku di sini, star us, Agham.” 

Deg … 

Degup jantung Akhtar bergetar hebat saat lantunan suara indah nan cempreng itu menyebut dirinya dengan sebutan, ‘Agham?’ Who is Agham? I’m Akhtar. Akhtar Malik Zaigham, pikirnya.

“Ya udah. Kalau kamu nggak mau kenalan dan ngobrol sama aku, aku pulang dulu, ya, mami aku udah nungguin. Jangan lupa lihat di samping kamu, sampai ketemu nanti saat dewasa, My Agham.” 

Terasa sudah tak ada suara lagi di sampingnya. Akhtar kecil menoleh ke arah samping, ternyata benar ada … seorang gadis yang menghampirinya dengan rambut panjangnya yang dikuncir kuda, mengenakan dress cantik berwarna soft pink ditambah bando yang warnanya menyerupai dress miliknya. 

Hanya bisa menatapnya ketika gadis kecil itu sudah semakin menjauh dan berlari menghampiri seorang wanita dan laki-laki yang tengah menunggunya di depan sebuah mobil. Lalu, pandangannya menoleh ke bawah ke tempat duduk bekas gadis kecil itu.

Kotak? Tali pita? Apa buka, jangan, ya? Isinya bukan, bom, kan? pikirnya.

Sebelum meraih kotak tersebut perlahan Akhtar menyeka sudut matanya dengan tangan kirinya. Setelah itu barulah mengambilnya, kemudian membuka isi di dalam kado yang dia temukan. 

Hah? 

Um … cantik, pikirnya.

Kertas?

Diraihnya secarik kertas berwarna merah muda bergambar kartun rapunzel—-tampaknya kertas itu diambil dari buku binder atau diary dan dia menuliskan kata perkatanya di dalam kertas tersebut. Meskipun terbilang masih kecil, tapi tulisan tangan gadis itu bisa dibilang cukup rapi di umurnya yang segitu. 

Akhtar saja jangan ditanya, persis seperti ceker ayam, hihi.

Buat My Agham.

Happy Birthday, buat kamu yang usianya udah nambah. Jangan jadi manusia terjutek dan tetap smile, ya. Yakinlah kalau kamu mampu melewati semuanya. 

Tertanda 

Dari aku yang tahu kalau kamu menyukai piano.

Dipakai jamnya, ya? 

Lantas, apa tanggapan yang Akhtar berikan setelah membaca serentetan tulisan itu? Jawabannya hanya melipat kembali kertas tersebut dan menyimpannya ke dalam kotak kecil tersebut bersama benda pemberian si gadis itu.

Dia hanya berpikir, dari mana gadis itu tahu kalau dirinya menyukai alat musik berupa piano tersebut? Pun mengapa sampai harus repot memberikannya hadiah seperti ini, meski pada akhirnya dia sendiri ingin memperoleh kado juga dari papanya.

“Ma! Sampai mati pun hanya Mama Savira yang ada di hati Akhtar. Nggak akan pernah bisa terganti,” ungkapnya meyakinkan diri.

- Bersambung -

Februari & kisahnya

See you next chapter 🤗

I Found You On Valentine Day [ Kisah Februari Universe ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang