🕵️♀️👨💼
Panggilan semua penumpang pesawat yang akan membawa keduanya kembali ke Jakarta terdengar jelas. Klarisa beranjak, ia melirik sejenak karena melihat Darka kesusahan berdiri.
Sambil memutar bola mata jengah, ia membantu Darka berdiri lantas melingkarkan tangan pada pinggang pria itu.
"Maaf repotin kamu."
"Orang susah butuh dibantu." Klarisa menjawab dengan ketus.
"Aku pernah jadi pengawal kamu. Udah biasa direpotin."Darka terkekeh, Klarisa mendongak menatap lelaki itu. "Jadi ingat kamu pernah kentutin aku di mobil. Waktu kamu masuk angin." Darka menjelaskan maksud kekehannya.
"Wangi, kan!" balas Klarisa sinis. Keduanya berjalan perlahan. Sesekali Klarisa mendengar ringisan pelan dari Darka. Ia hanya diam tak mau menanyakan apa yang dirasa Darka.
Pramugari mengantarkan mereka sampai ke tempat duduk di kelas bisnis. Klarisa duduk di dekat jendela, ia langsung membuka berkas yang diberikan Abdi. Mempelajari lagi informasi yang di dapat. Sedangkan Darka, ia memilih memejamkan mata karena rasa sakitnya tak berangsur hilang. Justru semakin nyeri.
Di tengah mengudara, Darka mengeram dalam tidurnya. Klarisa menoleh, bulir keringat muncul lagi di sekitar wajah Darka.
"Maaf, Mbak. Boleh minta handuk kecil atau waslap?" bisiknya ke pramugari maskapai milik Indonesia.
"Boleh. Apa suami Ibu sakit?" bisik pramugari. Suami? Mimpi! Klarisa bisa meletakkan nama Darka dari kandidat calon suami idamannya diurutan seratus.
"Dia ..., lagi stres, banyak utang, jadi kebawa mimpi. Bisa tolong bawakan cepat, Mbak." Klarisa terpaksa tersenyum padahal dalam hatinya kesal dengan ucapan pramugari.
"Baik, sebentar, Bu." Pramugari berlalu. Klarisa manyun-manyun.
"Setua itu gue dipanggil Ibu? Tiga puluh aja masih jauh," cicitnya tanpa melepas pandangan dari pramugari.
Darka masih pulas, bagus sekali ia tak dengar, jika sadar kalimat Klarisa kemungkinannya dua. Antara sewot atau justru tertawa geli.
"Ini, Bu. Apa Ibu butuh yang lainnya?"
"Ah, nggak, Mbak. Makasih, ya." Klarisa menerima waslap kecil warna putih. Ia seka keringat Darka. Rasa sakit pada tubuhnya pasti begitu hebat, bibir Darka juga tampak pucat.
Klarisa memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangan Darka. Masih normal dan teratur.
Ia lanjut menyeka keringat yang membasahi leher. Dengan telaten melakukan itu hingga Darka membuka matanya. Keduanya beradu pandangan, Klarisa menjauhkan diri dari Darka.
"Kamu ngapain?" lirih Darka.
"Kamu keringetan. Jadi dikeringin pake ini." Tunjuknya pada waslap. "Mau minta kanebo nggak ada." Ia letakkan waslap ke atas pangkuan Darka lalu duduk santai membaca dokumen lagi.
"Berapa lama lagi mendarat?" Darka membenarkan posisi duduknya sambil meringis.
"Setengah jam lagi. KL Jakarta kan deket." Klarisa lanjut membaca, keduanya tak ada obrolan hingga pesawat mendarat.
Di depan terminal kedatangan, Darka melihat ada pria berdiri tersenyum menyapanya. Klarisa melepaskan rangkulan pada pinggang Darka seraya berdiri menjauh.
"Om Felix," sapa Darka. Ia memeluk sahabat papanya itu. Pria yang memakai setelan kemeja dan celana jeans, tampak awet muda.
"Anak nakal." Felix mengacak rambut Darka setelah pelukan mereka merenggang. "Kita ke rumah sakit? Papamu kasih tau kalau kamu nggak bawa obat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnetize ✔
RomancePlayboy yang tidak mau menuruti kemauan orang tuanya untuk berhenti bermain-main dengan hidupnya terutama wanita. Usianya masih 21 tahun namun karena latar belakang keluarga pebisnis ulung, ia berhasil lulus kuliah lebih cepat dan sudah punya bisni...