BAB 4

1K 131 36
                                    


"Kalian ingat dengan peramal di Turangi hari itu?" tanya Ayu. "Kurasa beberapa ramalannya benar."

Nala menggeleng. "Ramalan adalah seni paling konyol yang pernah ada, Ayu. Mungkin hanya kebetulan saja."

Bagaimanapun benarnya, Nala, Sanja dan Ayu berusaha untuk menepis ramalan yang mereka dengar waktu mereka ke Turangi, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa diantaranya sudah terjadi. Nampak penyesalan di wajah Ayu, dia adalah perempuan yang pernah berkata pada Bastian bahwa ramalan merupakan sesuatu yang penting di dunia sihir. Mungkin karena ucapannya lah Bastian meregang nyawa sekarang.

Helaan napas perempuan itu terdengar di kegelapan malam. Matanya memandang ke luar menyadari bahwa shir Nusantara kini tidak aman seperti dulu lagi. Banyak musuh yang berkeliaran dan ancaman-ancaman yang menanti.

"Karena kita para orang terpilih, kita harus percaya pada takdir," tegas Nala

"Setuju." Rabka membela. "Tenggelam pada ucapan peramal hanya akan menarik magnet intuisi untuk benar-benar terjadi. Salah satu hal yang bisa menghancurkannya adalah takdir. Di cerita apapun, para pejuang dalam kebaikan selalu menang."

Semuanya menoleh pada Rabka. Keberadaannya sudah diterima, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa hati mereka masih melihat Rabka seperti orang asing yang muncul tiba-tiba di pertengahan cerita dan dengan terpaksa harus diterima karena alasan takdir.

"Kau berkata seperti itu karena takdir berpihak padamu, kata itu menjadi tamengmu sekarang!" gerung Drio. "Kalau kau bukan anak terpilih kurasa ..."

"DRIO!" sergah Nala, memandang pria itu dengan sinis. "Kita sudah sepakat untuk menerimanya, kau juga yang mengatakannya sendiri sebelum kita ke Dawletoo, kan? Ada apa kau ini?"

Drio mendelik, menggelengkan kepalanya dan berjalan masuk ke dalam kamar, Sanja yang coba menenangkannya harus berdiri di depan pintu yang kini tertutup rapat.

Nala menyisiri anakan rambutnya dengan tangan seraya mendengus sebal, lalu berjalan mondar-mandir seperti orang kebingungan.

"Maaf." Rabka bersuara dalam hening. "Kurasa aku harusnya tak berada di sini."

"Tidak," sergah Nala. "Jangan tambah masalah Rabka, kalau kami sudah menyerah dan kau ikutan menyerah karena keberadaanmu, maka tamat sudah. Kita membutuhkan penyihir Dolok, orang terpilih adalah kesatuan yang utuh dan itulah takdir."

"Dan kita juga hanya butuh waktu," sambung Ayu. "Nala benar, kalau kami menyerah karena sulit melepaskan Bastian, dan kau juga menyerah karena keberadaanmu belum diterima, inilah akhir yang sesungguhnya.

"Perjalanan kita untuk mengalahkan Berong masih jauh. Kuatlah bertahan," ucap Tanra yang menutup bukunya.

Lexan yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan di teras kini menaruh kecapinya, mengusap tangan dan berdiri. "Aku yang akan bicara pada Drio."

Semua orang melihat pria itu melangkah, mengetuk kamar dan ajaibnya Drio membuka pintu kamarnya. Pria itu masuk ke dalam.

"Dia selalu bisa diandalkan disaat genting, Nal," ucap Ayu.

Nala mengangguk, senyum tipis tergurat di wajahnya.

Hanya dalam waktu kurang dari sejam saja, Drio keluar dari kamar, menyalami Rabka dan meminta maaf.

*

Hari penting telah tiba. Jalanan di Dawletoo yang dipenuhi rerumputan ungu nampak ramai oleh orang-orang yang melambaikan tangan mereka, tak sabar menyambut para pemimpin kerajaan di seluruh penjuru Nusantara.

Para Raja dan Ratu itu dibawa dengan kendaraan besar seperti kapsul yang mengudara.

Pemimpin pertama yang datang adalah Nyai Roro Salamba dengan sepatu kaca merah mudanya yang berkilat, memakai kebaya warna senada yang dijahit oleh 14 orang penjahit khusus Turangi. Dia dibawa ke sebuah kereta besar berwarna merah tua dengan arak-arakan pasukan kerajaan Turangi yang memakai pakaian kebaya dan batik Jawa, para petuah Turangi mengikutinya dari belakang sambil memakai baju abdi dalem.

ARCHIPELAGOS 4 (Wizarding School in Nusantara)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang