Hari yang telah dinantikan namun penuh ketegangan akhirnya tiba—hari persidangan. Azizi berdiri di depan cermin pada pagi hari itu, menatap pantulan dirinya dengan perasaan campur aduk. Ia mengenakan setelan jas berwarna navy, di padukan dengan kemeja putih bersih dan dasi gelap yang memberikan sentuhan formalitas. Rambutnya yang hitam, sedikit berombak, disisir rapi ke belakang, menonjolkan garis wajahnya yang tegas serta tatapan mata yang masih sama tajamnya seperti dulu.
Azizi tiba di pengadilan bersama rekannya, seorang pengacara berpengalaman yang telah ia percayai untuk mendampinginya dalam kasus ini. Mereka berjalan melewati koridor panjang pengadilan, dengan langkah yang mantap meski ada kegelisahan yang tak dapat disembunyikan dari sorot mata Azizi.
Di ujung koridor, tepat sebelum mencapai ruang sidang 3, Azizi berdiri diam, meresapi setiap detik saat sosok itu mendekat dari kejauhan. Sebuah siluet yang tak asing baginya, tampak begitu anggun dengan setelan blazer berwarna krem yang terjahit rapi, di padukan dengan celana panjang senada yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Penampilan itu menambah kesan yang tak tergoyahkan, sebuah gambaran dari kekuatan dan ketegasan yang ia kenal dengan sangat baik.
Rambut hitamnya tergerai lembut di punggung, berayun dengan anggun setiap kali ia melangkah. Wajahnya yang menawan, dengan riasan yang tak berlebihan, memancarkan kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Namun, di balik segala kesempurnaan yang tampak, ada jejak kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Meski bibirnya terkatup rapat dan sorot matanya tegas, ada beban emosional yang membayang yang mungkin tak jauh berbeda dari yang Azizi rasakan.
Tatapan Azizi terpaku padanya, dari cara ia menggenggam tas tangannya hingga cara ia menghindari kontak mata terlalu lama. Semua itu begitu familiar, namun terasa begitu jauh. Perasaan tak menentu menguasai Azizi saat ia menyadari betapa banyak yang telah berubah dari setiap gerak dan senyum samar yang ia lihat di wajahnya.
Saat mereka akhirnya berpapasan, dunia seakan berhenti sejenak. Pandangan mereka bertemu, namun tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Dan dalam keheningan itu, keduanya seolah mencoba mengerti, mencoba membaca isi hati masing-masing. Namun, jarak di antara mereka terasa lebih luas dari sekedar koridor di pengadilan. Akhirnya, mereka melanjutkan langkah mereka masing-masing, seolah dua orang asing yang kebetulan melewati jalan yang sama.
Azizi akhirnya membiarkan kenyataan itu menyeruak dalam pikirannya-bahwa wanita itu adalah Anindya Marsha Lenathea, dan dua pria yang bersamanya adalah pengacara perceraiannya, siap untuk memperhatankan setiap keputusan yang dibuatnya.
Azizi duduk di kursi pengadilan dengan tenang, meski dadanya bergemuruh dengan berbagai emosi yang berbaur menjadi satu. Di seberangnya, Marsha duduk dengan kepala tegak, ekspresi wajahnya tetap tenang dan tak tergoyahkan. Ia adalah gambaran dari kekuatan yang tak tertandingi, seseorang yang tampaknya tidak pernah goyah, tidak pernah ragu, dan tidak pernah mengizinkan siapa pun untuk melihat sisi rapuhnya.
Hakim memulai sesi dengan nada formal dan serius, namun kata-katanya seolah tenggelam dalam suara gemuruh di telinga Azizi. Ia mencoba fokus, mencoba mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan, namun pandangannya terus kembali kepada sosok Marsha. Wanita yang dulu ia cintai dengan segenap hatinya.
Agenda sidang pertama ini adalah pembacaan gugatan cerai dan pemeriksaan awal terhadap dokumen-dokumen yang di ajukan oleh kedua belah pihak. Hakim juga memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk menyampaikan pendapat mereka secara singkat sebelum proses mediasi dimulai—upaya pengadilan untuk mendamaikan kedua pihak dan mencegah perceraian jika memungkinkan. Hakim menjelaskan bahwa jika mediasi gagal dan perceraian tetap diajukan, persidangan akan dilanjutkan ke tahap berikutnya, yang meliputi pembahasan hak asuh anak, pembagian harta, dan lain-lain.
Marsha tetap memandang lurus ke depan, seolah-olah Azizi hanyalah bayangan dari masa lalu yang sudah tidak berarti lagi. Namun, jika dilihat lebih dekat, ada kilatan singkat di matanya—sebuah kilatan yang menyiratkan rasa sakit yang dalam, sesuatu yang dengan keras ia sembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost And Found
Fanfictionbertahun-tahun ketidakpastian yang tidak pernah berlalu