20. Batu Sandungan

77 12 0
                                    

"Kadang kita tak pernah menduga jika badai yang datang dari orang yang tak pernah kita pertimbangkan kehadirannya."

Bagaimana pun masa lalu memang tak dapat dirubah, sering kali memang menyesalkan hal itu sekarang. Begitu juga dengan yang dirasakan Praba. Makin ke sini banyak hal yang dulunya terasa biasa saja, kini menjadi hal yang disesalkan. Kenapa baru terpikirkan sekarang, namun semuanya sudah terlambat untuk disesali. Kini hanya bisa melakukan sebaik yang dia bisa agar tak ada lagi penyesalan-penyesalan berikutnya.

"Masalah apa yang kau maksud tadi?" todong Praba begitu sampai di ruangannya.

"Pak Sura itu bapaknya Kala kan Prab?"

"Iya dia bapaknya Kala, emang ada apa?" tanya Praba heran.

"Tadi ada cewe dateng ke ruanganku, bilang kalau anaknya Pak Sura," terang Hardi.

Raut muka Praba makin tak enak, firasatnya berkata jika akan ada hal yang tak mengenakkan, "ngapain dia?"

"Dia bilang kalau ada cewe yang nanya-nanya tentang kau, rupane mantanmu gak sih Pra."

"Ini bukan akal-akalan e dia kan, kau lak yo tahu sendiri hubungan e Kala sama orang tua e iku gak bagus."

"Lek feelingku seh enggak, toh dia yo buat opo ngomong nang aku, gak ono untunge. Tapi dia ngomong nang aku lek kau harus hati-hati."

"Hati-hati gawe opo coba," sangkal Praba.

"Kayak gak eruh ae lek mantanmu iku akeh seng titisan e setan yo, jelas ojo sampai kejadian kayak seng kemarin. Lek dirimu aku gak ngurus, tapi sakno Kala mbek anakmu," tutur Hardi lugas.

Kini Praba sadar menjadi laki-laki yang punya banyak wanita itu menyusahkan. Dulu mungkin dirinya merasa senang-senang saja mendapatkan hiburan gratis dari wanita yang suka rela menyenangkannya. Namun, jika dipikirkan sekarang membuatnya pusing. Sangking banyaknya mungkin dirinya sudah lupa dengan wanita-wanita yang pernah singgah dihidupnya. Kini mau mencurigai siapa juga tidak tahu.

Sedangkan Hardi hanya bisa menggerutu, padahal dulu sudah diingatkan kalau bisa kelakuan bajingannya dikurang-kurangin masih gak mau dengerin. Kalau sudah gini tentunya gak ada yang bisa bantu. Untung aja dulu Praba selalu bermain aman, setidaknya kini tidak akan ada yang ngaku-ngaku dihamilin Praba. Kalau iya bisa makin runyam yang ada.

Meskipun kelakuannya sebelas dua belas, tapi dia sudah benar-benar berhenti ketika memutuskan berkomitmen dengan satu orang. Begitu juga Praba, dia melakukan hal yang sama. Ketika memutuskan menjalin hubungan yang serius maka disitu juga mereka memutuskan untuk tak lagi bermain-main. Setia pada satu orang bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Bagi mereka setia itu adalah sebuah keharusan saat menjalani hubungan. Maka jangan tanya tentang perempuan lain, karena jawabannya tidak ada dan tidak pernah ada.

"Usahain jangan sampai Kala tahu, kasian dia bisa kepikiran," peringat Hardi.

"Tentunya begitu. Belum kelar masalah bapaknya sekarang ada aja masalah baru."

"Ada apa sama bapak mertua mu?" tanya Hardi penasaran.

Helaan nafas Praba yang nampak dalam tentunya membuat Hardi bisa menerka jika masalah ini cukup serius, "kenapa banget tiba-tiba gak ada angin gak ada hujan balik ke sini. Pas periksa kehamilan kemarin Kala gak sengaja lihat. Tak tanyain mau disamperin apa enggak, jawabnya enggak. Rupanya masih ada yang belum beres aja."

"Udah tak duga, siapa sih yang bakal baik-baik saja kalau selama ini ditinggal tanpa kabar sama orang tuanya. Mana pada lupa kalau punya anak. Eh tiba-tiba balik, jelas syok lah istrimu."

"Mangkanya, kalau hal ini sampai dia tahu makin bikin Kala kepikiran yang enggak-enggak."

"Pokoknya kalau bisa antisipasi, segala kemungkinan bisa aja jadi kenyataan. Meskipun kita gak tahu motifnya, setidaknya kita terbantu akan informasi  yang dia kasih."

Ruang BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang