21. pergi lebih baik

0 0 0
                                        

“Masalah keluarga ini!!” Kata Zeya memperjelas.

“Mereka kalau bertemu cuma bertengkar kayak tadi. Mereka adik kakak.” Geo memutar bola matanya, kemudian barulah menjelaskan apa yang Zeya maksudkan.

“Untung saja mereka punya bisnis yang berbeda kalau nggak, mungkin udah saling bunuh-bunuhan.” Tambah Geo lagi sambil terkekeh, seolah baginya perkara membunuh itu hal biasa.

"Kayak kakek nenek?" Tanya Zeya, ingin tahu, apakah ini perkara yang sama.

"Kalau mereka juga sama, mati karena musuh keluarga." Kata Geo, biasa saja, tanpa bergidik saat mengatakan kata mati.

"Kalau mama aku?" Tanta Zeya lagi, saat ini hanya Geo yang bisa menjadi informan untuknya.

"Ibu kamu ceritanya panjang." Kata Geo sambil berdecak, seolah dia sudah khatam sejarah keluarga ini.

"Dia sampe ngira aku kakak kamu loh!" Kata Geo bangga sekali.

"Kenapa?" Zeya masih saja di rekam rasa penasaran.

"Nggak tahu, kata mami karna aku mirip sama kakak kamu." Jelas Geo akan alasannya.

"Kenapa dia bisa mati." Dia yang Zeya maksud adalah kakak laki-lakinya.

"Musuh menargetkan dia." Geo tahu, makanya dia menjawab.

"Asal lo tahu ya Zey,  dia itu cerdas banget, Itu jadi ancaman besar bagi musuh." Tambah Geo lagi, agar lebih Jelas.

"Lucu ya Zey, ternyata kita sepupu.
Padahal aku mau nembak kamu buat jadi pacarku!" Kata Geo, kemudian terkekeh, dia tidak menyangka masih punya seorang sepupu.

"Anggun lo apain hah!" Kata Zeya bombastic side eyes, tidak lupa dia menggeplak bahu Geo dengan tangannya.

"Dia Cuma alibi orang tuaku demi bisnis. Gue muak tahu nggak, dia pun sampai segitunya." Geo berkata tidak suka, mara sinisnya ke mana-mana.

"Tapi di beneran tulus sama lo." Kata Zeya, mencoba membuat Geo sadar.

"Gue nggak peduli zey, sejak awal gue emang nggak suka sama anggun." Geo benar-benar mengungkapkan ketidak sukaanya pada Anggun di depan Zeya, tanpa takut apapun.

"Bantuin aku ketemu mama!" Lirih Zeya karena itu adalah tujuannya, dan dua menganggap Geo adalah orang yang bisa membuatnya bertemu dengan sang mama.


"Nanti tengah malam." Geo paham apa yang Zeya inginkan, maka dua pun mencoba membantu sebisanya.

"Sekarang lo harus masuk kamar." Titah Geo, agar mereka bisa mengatur strategi melalui ponsel saja.

***


Di ujung lorong malam itu, lantai dua kediaman papa Zeya. Tak ada lampu yang hidup, kecuali lampu di luar yang menerangi melalui celah-celah ventilasi.

Zeya sambil memeluk dirinya, mencoba mengendap pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara, dia menuju ke ruang yang Geo katakan.

"Kamu harus hati-hati di sini banyak penjagaan." Begitu  pesan Geo melalui  ponsel beberapa jam yang lalu.

"Iya aku Cuma mau lihat mama."  Begitu balas Zeya.

Hingga tiba di kamar paling sudut. Lampunya sedikit lebih terang karena lampu tidur.

Sayup-sayup suara tangisan yang lirih terdengar, begitu menyayat hati, ketika Zeya semakin dekat dengan suara itu.

Sepertinya kamar itu memakai peredam suara, sehingga suara itu tidak terdengar begitu jelas dari jarak Zeya berada.

Dan dari celah kaca yang ada di pintu itu.

Zeya bisa melihat seorang perempuan kurus di peluk sang papa, seolah ingin menenangkannya.

Dari balik tubuh perempuan itu bisa Zeya lihat, betapa rapuhnya perempuan itu, apakah itu mamanya?

"Papa." Cicit Zeya reflek, kemudian menutup mulutnya dengan tangan.

Hingga mata perempuan itu perlahan menatap Zeya, papa juga demikian.

Perempuan itu secara konstan bergerak menuju Zeya, seolah sesuatu telah mengarahkannya.

Mengerikan satu kata yang Zeya sematkan ketika pertama kali dia melihat mamanya.

Rambut berantakan, muka tirus, dan mata cekung yang menghitam di bawahnya, yang masih basah dengan air mata.

Tidak Zeya temukan senyuman si wajah itu, seperti ibu ketika bertemu dengan sang buah hati.

"Siapa kamu?" Suara perempuan itu lemah, seolah suaranya telah habis di gunakan untuk menangis tadi.

"Kamu yang sudah membuatku hampir mati. Kamu juga harus merasakan hal yang sama dengan ku." Mata perempuan berputar, membuat Zeya merinding.


"Kamu.." Kata-kata perempuan tidak di lanjutkan, karena tangannya sudah mendarat di kepala Zeya.

Zeya di tarik rambutnya, Zeya mencoba melawan, tapi tarikan di rambutnya semakin mengencang.

"Awww." Histeris Zeya, kulit kepalanya seperti akan terlepas.

"Al jangan!" Kata papa mencoba melerai.

Ini Zeya!!" Papa mengatakan, berniat mengenalkan Zeya pada sang mama, tapi tak sesuai ekspektasi, mama semakin beringas.


"Nggak!!!"

"Dia juga harus merasakan jal yang sama." Perempuan itu seperti tak bisa di hentikan.

Zeya di cakar dengan kuku panjangnya, tepat di bahu Zeya, huh perih.

Hingga papa menghentikan perempuan itu, sambil menarik menjauh dari Zeya, perempuan itu terus berteriak, seolah belum puas dengan apa tang dilakukannya.

"ZEYA KELUAR, SIAPA SURUH KAMU KE SINI!" Kata papa keras sekali, sehingga Zeya lari dari sana menuju kamarnya cepat-cepat.

Geo sedari tadi bersembunyi di kegelapan itu, mengetahui apa yang terjadi.

"Ini yang aku takutkan!" Katanya pada diri sendiri.

Paginya, Zeya dan Geo di panggil ke ruang kerja papa.

Ayah ibu geo sedang bermain catur di luar di bawah pohon, di taman depan rumah, begitu damainya, berbanding balik dengan Keadaan Zeya dan Geo sekarang.

"Apa yang kalian lakukan semalam!!" Kata papa sambil mengitari keduanya.

"Kalian pikir itu sopan hah!!" Tangan papa bersedekap di dada kini turun, seolah sebentar lagi akan terangkat, dan mendarat di pipi Zeya dan Geo.

"Maaf om." Geo mencoba meminta maaf.

Pistol itu di todong, tidak tentu arahnya, namun sudah terangkat.

"Kalian mau merasakan ini!!" Kata papa marah sekali sepertinya.

"Papa emang nggak punya hati!!" Teriak Zeya, setelah sedari tadi hanya diam saja.

DIAM KAMU ZEYA!!!" Bentak papa, sambil menatap bengis pada Zeya.

Di bentak papa sendiri begini rasanya sakit sekali, oma tidak pernah melakukannya.

Zeya tak dapat lagi menahan air matanya dan dia memilih keluar dari ruang itu tanpa aba-aba.

"Panggil dia kembali!!" Perintah papa pada Geo.

"Om pikir dia pantas di perlakukan begitu, om emang nggak seharusnya bertemu Zeya!!" Bukannya menjalankan perintah sang om, Geo malah membalas omnya balik.

"Emosi om nggak stabil!!"

"Om nggak bisa menggunakan cara seperti itu untuk bicara dengan Zeya!!"
Kata Geo sambil menatap tajam pada papa Zeya, tak ada lagi ketakutan pada dirinya seperti sebelumnya.

Geo pun mencoba menyusul Zeya, yang dia yakini tidak baik-baik saja.

ZEYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang