2 | Alexander

6 1 0
                                    

Catherine Tsamah Ludmila merasa dunia di sekelilingnya semakin menekan sejak kematian ayahnya. Hari-harinya terasa seperti sebuah mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Kemewahan yang dulu menjadi lambang kejayaan keluarganya kini berubah menjadi rantai yang mengikatnya lebih erat setiap kali ia mencoba untuk melarikan diri. Dan di dalam rumah suaminya, ia menemukan bahwa musuh paling berbahaya bukanlah orang-orang di luar, melainkan orang yang kini tidur di sebelahnya.

Pria yang menjadi suaminya, Alexander, adalah sosok yang ditakuti banyak orang di luar sana. Kekayaannya tak terbatas, dan kekuasaan yang ia miliki melampaui apa yang bisa dibayangkan oleh orang biasa. Namun, di balik semua itu, Aleksander adalah sosok yang rusak—jiwa yang dipenuhi kemarahan dan ambisi yang tak pernah mengenal batas.

Pada awalnya, Catherine berusaha menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani hidup ini untuk melindungi keluarganya. Ia berharap bahwa seiring berjalannya waktu, ia akan menemukan cara untuk bertahan, mungkin bahkan menemukan sedikit kebahagiaan. Namun, hari demi hari berlalu, dan yang ia temukan hanyalah kegelapan yang semakin pekat. Alexander bukanlah suami yang lembut dan penuh kasih seperti yang diharapkannya. Sebaliknya, ia adalah seseorang yang memperlakukan Catherine sebagai miliknya—sebuah harta yang harus tunduk padanya, atau hancur.

Ketika malam pertama mereka, Catherine menyadari bahwa hidup yang selama ini ia kenal telah benar-benar berubah. Alexander, dalam keadaan mabuk, memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan perasaan atau keinginan Catherine. Itu bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali, seolah Alexander menikmati penderitaan yang dialami Catherine. Ia memperlakukan Catherine bukan sebagai pasangan hidup, melainkan sebagai objek yang harus tunduk pada setiap perintahnya. Tidak ada cinta, tidak ada kelembutan, hanya kekerasan yang perlahan menghancurkan jiwa Catherine.

Di luar kamar mereka, rumah besar yang megah itu dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk melayani kebutuhan Alexander, tetapi tidak ada seorang pun yang peduli dengan Catherine. Para pelayan hanya menunduk setiap kali Catherine lewat, menghindari tatapannya, seolah mereka tahu apa yang terjadi tetapi memilih untuk diam. Catherine merasa semakin terisolasi, seolah-olah ia hidup di dalam sebuah penjara yang dikelilingi oleh tembok emas.

Pada hari-hari tertentu, Alexander membawa Catherine ke pesta-pesta mewah di mana mereka harus tampil sebagai pasangan sempurna di depan mata dunia. Di acara-acara ini, Catherine harus mengenakan gaun indah dan perhiasan yang mahal, dengan senyum palsu yang terpampang di wajahnya. Alexander selalu berada di sisinya, berbicara dengan para tamu dengan percaya diri, sementara tangannya mencengkeram lengan Catherine dengan keras, seolah memperingatkan bahwa ia tidak boleh membuat kesalahan.

Di balik senyum itu, Catherine menyembunyikan rasa takut dan keputusasaan yang semakin mendalam. Ia merasa tercekik oleh ekspektasi dan tuntutan yang tak mungkin ia penuhi. Setiap kali Alexander berbicara tentang masa depan mereka, tentang bagaimana mereka akan membangun dinasti yang lebih kuat lagi, Catherine hanya bisa mendengar kata-kata itu sebagai ancaman terselubung—bahwa ia akan terus menjadi tawanan di dalam hidup yang bukan miliknya.

Namun, ketakutan terbesar Catherine bukanlah Alexander semata, melainkan apa yang mungkin terjadi jika ia mencoba melarikan diri. Catherine tahu bahwa suaminya memiliki mata-mata di mana-mana. Ia tidak akan bisa pergi jauh tanpa diketahui, dan konsekuensinya akan lebih buruk daripada yang bisa ia bayangkan. Alexander pernah memberitahunya, dengan nada penuh ancaman, bahwa jika Catherine berani meninggalkannya, maka keluarganya yang tersisa akan menanggung akibatnya. Itu adalah peringatan yang Catherine tidak bisa abaikan, tidak peduli seberapa besar ia ingin bebas dari jerat ini.

Di balik semua itu, ada pula masalah lain yang tak kalah membebani Catherine—ibunya. Sejak kematian ayahnya, ibunya, Lady Ludmila, jatuh dalam keputusasaan yang mendalam. Ia hampir tidak pernah meninggalkan kamarnya, terperangkap dalam dunia kecilnya yang penuh dengan kesedihan dan ketakutan. Catherine sering mengunjunginya, berusaha menghibur, tetapi tidak pernah berhasil mengangkat semangat ibunya yang hancur. Lady Ludmila tidak hanya kehilangan suaminya; ia juga kehilangan harapan, meninggalkan Catherine tanpa bimbingan atau dukungan di saat ia paling membutuhkannya.

Dalam satu kunjungan ke rumah keluarganya, Catherine menemukan ibunya duduk di tepi ranjang, memegang potret lama ayahnya dengan tangan gemetar. Mata Lady Ludmila yang dulu penuh kehidupan kini kosong, seperti telah kehilangan seluruh maknanya. “Catherine,” suara ibunya terdengar lemah, “aku sudah tidak bisa lagi. Dunia ini terlalu kejam… kita sudah kalah.”

Kata-kata itu mengguncang Catherine. Ia ingin membantah, ingin berkata bahwa mereka masih bisa melawan, tetapi kebenaran itu terlalu nyata di hadapannya. Mereka memang kalah, setidaknya di mata dunia yang dikuasai oleh pria seperti Alexander. Namun, di dalam hati Catherine, sebuah tekad baru mulai tumbuh—tekad untuk melindungi apa yang tersisa dari keluarganya, meskipun itu berarti harus melawan monster yang kini menjadi suaminya.

Malam itu, setelah kembali dari rumah keluarganya, Catherine duduk di depan cermin besar di kamar tidurnya. Ia menatap bayangannya sendiri dengan mata yang penuh dengan kelelahan, mencoba menemukan sosok yang dulu pernah ia kenal. Tetapi yang ia lihat hanyalah seorang wanita yang terluka, seorang wanita yang terjebak dalam situasi yang tak pernah ia minta.

Namun, Catherine tahu bahwa ia tidak bisa menyerah. Ia tidak bisa membiarkan Alexander menang, tidak bisa membiarkan keluarganya jatuh lebih dalam ke dalam kegelapan. Ia harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan dirinya sendiri.

Di dalam kegelapan malam, Catherine berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan bertahan. Ia akan mencari celah, mencari kekuatan di dalam dirinya yang tersisa, dan pada saat yang tepat, ia akan membuat keputusan yang benar—keputusan yang akan menentukan masa depannya dan masa depan orang-orang yang ia cintai. Tetapi untuk saat ini, ia harus bersabar, menunggu, dan merencanakan setiap langkahnya dengan hati-hati. Karena Catherine tahu, bahwa dalam dunia di mana cinta dan kebencian berbaur, kesalahan sekecil apa pun bisa berujung pada kehancuran

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

How Are You, Tsamah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang