Bagi mereka yang dikesampingkan, arti kematian adalah sebuah akhir dari kesengsaraan dunia. Namun, bagi mereka yang di atas arti kematian adalah sebuah hal disayangkan, karena nikmat dunia malam yang tiada henti.
Hidup Beratus-ratus tahun, beribu-ribu tahun, bermiliar-miliar tahun, kalau hidup sendirian tanpa sebuah kasih ... apa gunanya?
***
Sen, 3 Maret 2124
📍-Butiran air mata menetes bagaikan sebuah kristal salju yang terperosok jatuh dalam sebuah jurang. Rasa duka yang mendalam kehilangan seseorang yang disayang begitu sakit di hati, menusuk sebuah jiwa yang hidup hingga hampir mati.
Mata yang memiliki iris mata hijau zamrud itu, terbuka lebar setelah menghabiskan setengah harinya di dalam mimpi yang terdiri dari sepotong kenangan indah di masa lampau nya. Tubuh itu bangkit dari tidurnya, mengusap air mata yang tersisa.
Jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa nyeri di dada, membuatnya mengiris kesakitan beberapa saat. Semakin lama penyakitnya semakin parah, ia merasa akan mati secara perlahan dan menyedihkan.
Kamar itu gelap dan dingin, seolah berada berada dalam sebuah bayangan yang kelam. Kamar itu juga begitu berantakan dengan barang-barang yang berada tak pada tempatnya. Hanya ada penerangan gemerlapnya kota malam di balik jendelanya, bersamaan dengan mobil-mobil yang berlalu-lalang berterbangan. Kakinya melangkah mendekati sebuah meja yang melayang di udara. Di sana dia mengambil sebuah potrait di dalam tablet transparan. Jari-jari tangan itu mengusap sebuah wajah seseorang yang ia mimpikan. Seseorang yang ia rindukan, dan ia kasihkan.
Dalam hatinya, sebuah rindu teramat dalam bergejolak meronta-ronta, ingin bertemu dengan wanita yang berada disampingnya difoto itu. Namun, apa daya ... wanita itu telah lama pergi, untuk selamanya. Walaupun wanita berambut unggu dan bergaya metal itu mewariskan sebuah penyakit padanya, di lubuk hatinya, dia sangat menyayangi orang itu. Sayang sebuah pesan kasih tak pernah tersampaikan.
Dia menghela nafas berat. Bersama langkah nya yang sudah berada di tengah-tengah kota yang padat dan sesak. Kepadatannya membuat orang-orang seolah merebutkan sebuah oksigen, tak jarang ada seseorang membawa sebuah tabung hanya untuk bernafas. Hidup di dalam kubah yang melingkar untuk melindungi mereka dari paparan dinginnya salju, yang dapat membekukan tubuh hingga menjadi sebuah bongkahan es cukup beberapa menit saja, tak membuat orang-orang kelas atas sadar seberapa berharganya hidup. Walaupun hidup di samping kematian, di balik kubah ini ada satu lingkaran yang hidup tanpa sebuah kubah. Hidup seadanya dan bertahan dengan rasa syukur atau mungkin rasa egois untuk terus hidup. Orang-orang di balik kubah ini, yang diberi nama Dehen. Rela melakukan apapun hanya untuk sebuah balas dendam dan mereka mampu melakukan apapun dengan amarah yang sudah membeku.
Musik-musik dan layar monitor 3d menampilkan seorang wanita yang menari-nari di depan sebuah gedung kaca yang menjulang tinggi hingga langit. Layar-layar yang menampilkan sebuah iklan setiap gedung di kanan dan di kiri. Asap-asap rokok yang berterbangan kesana dan kesini. Kekacauan terjadi dimana-mana. Dipinggiran kota tepatnya di gang sempit yang gelap dan lembab begitu banyak robot tua dan tak bertuan yang sudah mati ataupun menghabiskan masa aktifnya di sana. Menghabiskan masa hidup menyendiri hingga mati.
Ariey, gadis bermata zamrud itu sudah terbiasa dengan semua ini. Lengannya yang berada di saku jaket hitam dengan tudung jaket menutup kepalanya.
Langkah kaki itu berhenti di depan sebuah gang kecil, di pelosok kota yang basah dan lembab, dengan bangunannya yang kumuh dan tertinggal. Nahan lingkaran yang berada di bagian kedua diantara Purok dan Dehen, lingkaran ini mendapatkan sebuah kubah bersama Nahan, tapi juga tak memungkinkan setiap tempat-tempat semaju dan se-elit Nahan. Namun, tetap saja nasib Nahan lebih baik daripada Dehen. Ariey mulai melangkah memasukinya, meninggalkan gemerlapnya kota malam yang begitu terang.