(Name) duduk di ruang tamu mansion Kurona, menatap keluar jendela besar yang menghadap taman yang luas. Sinar matahari sore menyaring melalui tirai, menciptakan pola-pola lembut di lantai marmer.
Mansion megah ini, meskipun indah dan elegan, terasa sepi dan kosong bagi (Name). Ia menyadari bahwa mansion ini hanya memiliki dinding-dinding yang mengurung kesepiannya.
(Name) mengambil secangkir teh dan meminumnya sambil memandangi tanaman hijau di sekitarnya.
Kurona Ranze—suaminya, lebih sering tidak ada di rumah. Meski menikah dengan Ranze, (Name) belum merasakan kehangatan yang diharapkannya. Lagipula (Name) tidak pernah benar-benar mencintai Ranze.
Pernikahan ini bukanlah hasil dari cinta, melainkan hanyalah sebuah perjodohan, layaknya transaksi yang diatur oleh Ranze demi mempertahankan kekuasaannya.
“Sekali lagi aku sendiri,” gumam (Name) pada dirinya sendiri, meletakkan cangkir teh di meja. Ia berdiri dan melangkah menuju rak buku di sudut ruangan. Menyusun buku-buku dengan rapi adalah salah satu kegiatannya untuk mengisi waktu. Kegiatan ini memberikan sedikit kenyamanan di tengah kehampaan emosional yang ia rasakan.
(Name) melangkah pelan di lorong mansion Kurona yang megah. Sisa-sisa sinar matahari sore menyelinap melalui tirai berat, memancarkan warna keemasan pada dinding marmer.
(Name) berhenti sejenak di depan jendela besar, menatap ke arah taman yang asri. Keheningan di sekitar mansion membuatnya merenung. Setiap langkahnya terasa berat, setiap hari berlalu lebih lambat. Meski dia dikelilingi oleh banyak pelayan, dia sering merasa sendirian.
Di sisi lain, Ranze hampir tidak pernah memedulikannya. Suaminya mungkin akan pulang dua atau tiga kali dalam sebulan.
Saat Ranze berada di mansion, kehadirannya lebih seperti bayangan—hanya sekedar lewat tanpa meninggalkan jejak. (Name) sudah terbiasa dengan kesendiriannya.
(Name) tidak pernah merasa marah atau kecewa secara eksplisit, meski Ranze jarang pulang atau bahkan tidak pernah pulang sama sekali. Baginya, itu sudah menjadi bagian dari kesepakatan dalam perjodohan mereka.
(Name) menghormati Ranze sebagai cucu dari mendiang kakek Kurona, satu-satunya orang yang pernah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Namun, rasa kesepian yang mendera membuatnya mencari cara untuk mengisi hari-harinya.
Hari ini, (Name) memutuskan untuk keluar dari mansion dan berjalan-jalan di sekitar kota. Udara segar dan pemandangan baru terasa menenangkan. Dia melewati toko-toko kecil dan kafe, meresapi keramaian yang kontras dengan kesunyian rumahnya.
Setelah beberapa jam, (Name) kembali ke mansion. Langit malam telah menggelap, bintang-bintang bersinar di atasnya. Dengan rasa letih, dia naik ke kamar tidur.
Di balik rutinitas sehari-hari yang (Name) ciptakan, ada sesuatu yang terus mengusiknya, membuat pikirannya tak tenang.
Setiap kali Ranze pulang, Name selalu mendengar nama wanita yang sama keluar dari mulutnya saat Ranze tertidur atau dalam keadaan setengah sadar.
"Kara." Suara lembut Ranze berbisik penuh kerinduan. Nama itu terngiang-ngiang di benak (Name), mengusik rasa penasarannya.
Ketika semua pelayan telah pergi ke kamar masing-masing, (Name) sering kali merenung dalam kesunyian. Suara malam dan gelegar angin di luar hanya menambah rasa kesepian yang mendalam.
Setelah memastikan seluruh penghuni mansion telah tertidur, (Name) memberanikan diri untuk memasuki ruang kerja Ranze.
Ruangan itu selalu terkunci, tetapi malam ini, pintu sedikit terbuka. (Name) berdiri di depan pintu ruang kerja Ranze, dengan hati berdebar. Tangannya terasa dingin saat ia memegangi gagang pintu dan memasuki ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
APOCALYPSE || Kurona Ranze
Fanfiction21+ (Name) [21 y.o], seorang gadis yatim piatu tak pernah menyangka akan bersanding dengan seorang pemilik perusahaan besar bernama Kurona Ranze [31 y.o] sang majikan atas paksaan mendiang Tuan Besar Kurona alias kakek dari Ranze sebagai syarat menj...