🕵️♀️👨💼
Cahaya pagi menyilaukan kedua mata Darka. Ia tertidur di ruang tengah rumah besar itu. Tirai terbuka, Darka langsung sadar jika ia tak sendirian di sana.
"Pagi Mas Darka," sapa seorang pria. Darka mengerjap kedua mata, dikucek pelan lalu ia segera bangkit memeluk dua orang yang lama tak jumpa dengannya.
"Kalian ke sini," lirih Darka masih memeluk pasangan suami istri yang memang bekerja merapikan juga menjaga rumah itu.
"Iya, dong. Masa anak bontot pulang kita nggak temui. Apa kabar, Mas?" Siti mengusap wajah Darka. Tangan wanita itu sudah keriput, tapi dari raut wajahnya menunjukkan semangat mengabdi pada keluarga tersebut tanpa jenuh.
"Baik, Bi Siti, baik." Darka terharu, ia pikir benar-benar akan sendirian selama di sana. "Pak Yusuf, apa kabar." Darka menyalim tangan Yusuf yang mengurus kebun, halaman serta semua hal tentang pekerjaan berat di rumah itu.
"Baik, Mas. Semalam Mas Taka kasih tau kalau kamu pulang. Buru-buru saya sama Bi Siti berangkat dari Sukabumi semalam. Kangen kamu. Kamu kurus. Ada apa? Kemana bertahun-tahun ini, Mas?" Pak Yusuf menangis. Ia tak pernah menyangka Darka bukan seperti yang mereka kenali.
"Panjang ceritanya. Pak Yusuf dan Bi Siti, ke Sukabumi lagi kapan?" Darka meringis memegangi pinggangnya. Yusuf memapah Darka kembali duduk. Sementara Siti segera ke dapur membuat minuman serta makanan.
"Nggak akan pulang sebelum semua selesai. Pak Abdi dan Bu Bellona juga minta kami temani kamu."
Darka tersenyum tipis. "Anak dan cucu apa kabar, Pak?"
"Baik. Kami rencananya ke sini sabtu besok, karena biasanya seminggu sekali beresin rumah ini untuk cek hal penting. Kalau sehari-hari orang lain yang Mbak Ajeng suruh." Pak Yusuf memegang kening Darka. "Kok demam, obatnya nggak diminum, ya?"
"Belum, Pak." Darka bersandar lemah.
Bi Siti yang mendengar langsung buru-buru mengolah bahan masakan yang semalam Darka beli.
Sementara itu Pak Yusuf membuka semua tirai, bahkan pintu kaca berukuran besar supaya udara masuk.
"Mas Darka harus pulih. Makan yang banyak. Bi Siti nanti belanja kebutuhan Mas Darka. Mas Taka kasih tau kalau Mas Darka harus perbaikan gizi." Bi Siti meletakkan cangkir teh hangat. "Ayo di minum."
Darka hanya tertawa pelan. Dengan kedatangan dua orang itu saja rumah ramai. Lantai dua juga diurus Yusuf, semua jendela dan pintu dibuka. Tirai dirapikan supaya cahaya masuk sempurna.
"Mas Darka. Saya mau hubungi petugas pembersih kolam renang, ya, sekalian ganti airnya. Takut Mas Darka mau berenang." Pak Yusuf meraih ponselnya yang tergeletak di meja makan. Semua serba kilat jika ada mereka berdua.
Seraya menikmati teh juga nonton TV, wangi masakan mulai tercium. Darka memejamkan mata, inilah rumah yang ia mau. Setiap hari bisa mencium aroma masakan rumahan, suara berisik alat pemotong rumput, panci dan centong beradu di atas kompor juga teriakan bi Siti yang memintanya memakan masakan juga camilan yang disiapkan.
Selesai sarapan Darka ke kamarnya di atas, sudah rapi karena Pak Yusuf memasang sprei, sarung bantal dan guling baru bahkan menyalakan AC.
Kamar yang sama saat dulu ia kecil sering menginap di sana bersama sepupu-sepupu juga dua kakak kandungnya.
Darka melepaskan pakaiannya, ia letakkan di keranjang kotor di sudut lemari. Keran shower dinyalakan, air hangat turun membasahi tubuh setelah ia tadi melepaskan perban kain yang melingkar hampir separuh tubuh bagian atas.
Menahan erangan karena nyeri, ia tetap membersihkan diri dengan sabun juga shampoo. Terbayang rumah itu suatu hari akan ramai kembali. Mendadak senyumnya merekah, karena dipikirannya justru hal itu berkaitan dengan Klarisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnetize ✔
RomancePlayboy yang tidak mau menuruti kemauan orang tuanya untuk berhenti bermain-main dengan hidupnya terutama wanita. Usianya masih 21 tahun namun karena latar belakang keluarga pebisnis ulung, ia berhasil lulus kuliah lebih cepat dan sudah punya bisni...