Chapter 51:Aku Indah, bukan Rana! I

599 46 19
                                    

Sebuah keluarga adalah hal yang tentu semua orang mempunyainya. Hal itu tentu adalah hal yang wajar bagi para mahluk hidup di bumi.

Hewan dan manusia juga mampu mempunyai sebuah keluarga di masa lalu maupun di masa depan nantinya. Keluarga bisa terdiri dari 3 atau lebih dari itu.

Tapi ... Pernah tidak? Kalian merasakan memliki keluarga,, namun tidak mendapatkan peran atau rasa sebuah keluarga. Seolah-olah diriku ini adalah personil tambahan yang tidak ada gunanya.

Aku Indah Cahya Rana, yang biasa dipanggil Rana oleh orang-orang. Mengapa tidak Indah saja? Aku jarang mendapatkan kata itu dalam hidupku. Tidak ada keindahan di dalamnya, mungkin itu yang membuatku tidak dipanggil Indah. Karena namaku tidak menjamin keindahan di dalamnya.

Paling, yang menyebut namaku Indah, hanya sebagian. Dan tidak terlalu banyak.

Aku hidup dalam keluarga sederhana yang tidak terlalu besar. Aku adalah anak tengah dari tiga bersaudari. Ya, keluarga kami tidak memiliki anak lelaki satu pun.

Tentunya ini begitu sulit. Anak lelaki juga penting dalam sebuah keluarga, sebagai pelindung keluarga, menempatkan warisan, dan lain sebagainya.

Saudari pertamaku ialah "Nabilla Cahya Arana". Gadis egois yang mampu mengendalikan pikiran kedua orang tuaku, mungkin aja karena dirinya adalah anak pertama, ia bisa mendapat kepercayaan lebih dari kedua orang tuaku.

Dan si bungsu keluarga " Cahaya Bintang Arina". Namanya indah bukan? Tapi tidak dengan sifatnya yang bertolak belakang dengan namanya.

Sifat kedua saudariku begitu jahat. Aku mencatat mereka sebagai peran antagonis dalam hidupku. Kedua orang tuaku, bagaimana?

Cih, tidak usah lagi soal watak kedunya orang itu. Mereka sama halnya dengan dayang-dayangnya itu.

Aku membenci keluargaku sendiri!

"Kamu ngapain belajar sih, Ran?" tanya Cahaya dengan nadanya yang berusaha merendahkan diriku yang terus menerus belajar menuntut ilmu.

"Aku ingin menjadi pintar, apa itu salah?" jawabku dengan nada cetus akan pertanyaan konyol yang dilontarkan Cahaya.

Anak itu berdecak kesal akan balasanku yang tidak sopan terhadapnya. "Cih, percuma kali, Ran. Kamu cuman babu di rumah ini."

Panas? Tentunya! Aku ingin sekali memukul si bungsu kesayangan keluargaku ini. Aku selalu dibuat naik pitam olehnya. Apa ia tidak mempunyai hal lain untuk ia lakukan?

"Setidaknya aku lakukan ini buat masa depan aku, Cahya," balasku acuh, aku sudah mulai lelah dengan hinaan Cahaya terhadapku.

"Emang kamu punya masa depan, Ran?"

Apa-apan ini?! Tidak baru saja menghinaku, bukan?!

Ia hanya mendelik remeh diriku dengan senyumannya yang khas akan tertera pada wajahnya itu. Tanpa salam atau apa, ia berjalan menutup pintu kamarku begitu keras. Sehingga menimbulkan suara yang nyaring di telingaku.

Memang sudah betul, otaknya berada di dengkul kirinya, cih!

Apakah ia tidak puas mengolok-olokku saat aku berada di titik terendah? Mentang-mentang dirinya selalu bisa membanggakan tua bangka itu dengan prestasi non akademiknya itu. Yang seolah-olah yakin akan membuat kehidupannya sukses. Masa depan tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya.

Aku tidak mendoakannya macam-macam. Tapi, aku mendoakannya dengan "Semoga saja, ajak segera menjemputnya secepat mungkin"

Aku membencinya karena, ia bagikan sebuah tanah yang merasa bahwa dirinya adalah langit. Yang artinya, manusia yang terbuat dari tanah, selalu merasa dirinya lebih dari Tuhan yang Maha Esa di atas sana.

Love & Secrets[FreFio]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang