Apa yang kamu benci?

13 2 2
                                    

Ada tiga hal yang Langit benci dari hidupnya. Pertama, jam masuk sekolahnya yang kelewat pagi. Kedua, jarak rumah dan sekolah yang terlampau jauh. Ketiga, mimpi yang selalu mencekik di setiap lelapnya.

Dua dari tiga hal itu, tentu akan berakhir jika dirinya lulus. Meski harus menunggu dua tahun lagi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah membujuk ayah dan ibu untuk membiarkan dirinya membawa Jack, motor tua kesayangan sang kepala keluarga.

Lalu bagaimana dengan yang ketiga?

Gadis yang enam bulan lagi akan menginjak usia enam belas tahun itu bingung. Entah bagaimana dirinya harus menjelaskan perihal mimpi yang bertandang hampir di setiap tidurnya. Entah itu mimpi indah atau termasuk mimpi buruk. Sulit bagi Langit untuk mengatakannya. Ada satu waktu dia merasa berbahagia di dalam mimpi. Ada satu waktu pula, dirinya akan terbangun dengan mata sembab dan perasaan gelisah.

Jika diingat lagi, mimpi-mimpi itu mulai hadir ketika Langit masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Masih terlalu dini untuk pikiran Langit mengartikan bunga tidur kala itu. Namun, seiring bertambah usia, perasaan ganjil mulai mengusik. Ketika mimpi yang dialami terasa aneh jika dilihat dari segi kehidupan normal pada umumnya. Terlebih, beberapa kali mimpinya seperti terhubung satu sama lain. Seakan benang merah telah mengikat erat mimpi-mimpi itu.

Di dalam mimpi, seakan ada kehidupan lain yang sedang berjalan. Kerap kali Langit merasa dirinya hidup di dua dunia. Di dalam mimpinya, dia mempunyai kehidupan sendiri. Dia mengenal seseorang yang beberapa kali muncul di dalam mimpi. Dia tahu beberapa tempat di dalam mimpinya. Bahkan, Langit bisa mengingat kejadian dari mimpi-mimpi sebelumnya. Sayangnya, mimpi-mimpi yang bertandang tidak pernah berurutan. Semua mimpi yang dimiliki Langit mempunyai episode acak dan tidak teratur.

“Langita Putri Langit!”

Pluk!

“Aw!” jerit kesakitan terdengar cukup nyaring. Langit mengedarkan pandangan menatap seisi kelas yang kini sedang terkikik tertahan, melihat kepalanya menjadi sasaran empuk kapur tulis. “Sakit, Pak!”

“Berapa kali Bapak bilang, jangan tidur di kelas!” tegas Pak Dion, guru matematika di kelas Langit. “Dan lepas earphone-nya, Langit! Bapak masih mengajar di sini.”

“Baik, Pak. Maaf.” Ketika earphone yang sejak pagi menyumpal telinganya terlepas, semakin terdengar jelaslah suara-suara menyebalkan dari teman-temannya. Langit mendengkus sebal.

Suara tawa tertahan terdengar semakin keras dari arah depan. Dilihatnya punggung seseorang yang duduk tepat di depan Langit berguncang pelan. Dengan cukup keras Langit menendang kaki kursi temannya itu. “Awas aja, lo!”

Dengan perasaan setengah suntuk dan setengah mengantuk, Langit terpaksa mendengarkan penjelasan Pak Dion tentang trigonometri. Meski kenyataannya tidak ada satu pun yang berhasil menetap di otaknya. Suara Pak Dion seperti lulabi, mengantarkan setiap untaian katanya menyeberangi gendang telinga dari kiri ke kanan.

“Kenapa ada pelajaran yang namanya matematika, sih?” gerutu Langit ketika Pak Dion mengubah posisi menjadi membelakangi para murid.

“Kalau nggak ada matematika, logika lo nggak bisa berkembang,” celetuk Ginem, teman sebangku Langit yang terkenal pendiam.
“Emangnya hidup cuma butuh logika apa?” sewot Langit tidak terima.

Ginem hanya melirik sekilas, sebelum kembali fokus ke penjelasan Pak Dion. Mengabaikan Langit yang perlahan meluruhkan kembali kepalanya ke atas meja. Rasa kantuk benar-benar menguasai atmanya, tidak peduli lagi jika Pak Dion akan kembali memergoki dirinya. Untuk kali ini, Langit berharap Bumi dapat bekerja sama dengan baik. Setidaknya sampai jam pelajaran Pak Dion selesai, lima belas menit lagi.

Ketika kedua mata itu telah tertutup sempurna, dunia seakan berputar. Membentuk pusaran gelombang hitam dan putih, memutar balikkan isi perut. Langit tidak kuat ketika pening mulai menjalar ke ubun-ubun. Namun, sekuat dia berusaha, kedua matanya tidak bisa terbuka seakan aksanya telah terkunci.

“Langit!”

“Langit, ayo cepat bangun!”

Perlukah Langit menambahkan satu hal ke dalam daftar kebencian hidupnya?
Sungguh, Langit tidak menyukai suara keras terlebih jika suara itu bertujuan untuk membangunkan dirinya dari tidur. Tidak tahukah mereka, kalau Langit kekurangan banyak jam tidur gara-gara mimpi yang terus menghantui lelapnya?

“Pada suatu senja, Putri Langit pergi ke dalam hutan terlarang. Dalam kebimbangannya, Putri ingin bertemu Sang Banyu. Konon Sang Banyu ini adalah satu-satunya penyihir yang tersisa di dunia. Dia ....”

“Tuan, apakah Putri Langit itu benar-benar ada?”

“Leonard, jangan memotong pembicaraan orang yang lebih dewasa. Itu tidak sopan!”
Suara-suara itu semakin keras memenuhi indra pendengaran. Pusaran hitam dan putih yang Langit rasakan perlahan mulai menghilang. Ketika kedua matanya berhasil dibuka, hal pertama yang dilihat adalah hamparan rumput hijau yang terbentang luas sejauh mata memandang.

“Langit! Akhirnya kamu bangun juga.” Seorang anak kecil berseru senang takkala melihat Langit sudah membuka matanya. “Sayang sekali, kamu sudah ketinggalan hampir dari separuh cerita. Apa semalam kamu tidak tidur lagi?”

“Leo?” panggil Langit pelan.

“Iya.” Anak kecil dengan mata bulatnya yang jernih itu sangat menggemaskan di mata Langit. Apalagi pipinya yang temben dan kulitnya yang benar-benar putih.

“Ih, nggemesin banget!” Tak tinggal diam, kedua tangannya meraih masing-masing sisi pipi Leo. Menyubit ringan sambil diputar-putar. “Pingin punya yang kayak gini satu!”

“Langit, kamu bisa membuat Leo menangis,” tegur seseorang yang sejak tadi menatap ngeri perlakuan Langit. Bagaimana tidak, gadis itu menguyel pipi adiknya begitu saja.

Ketika sadar akan perlakuannya, segera Langit menyingkirkan kedua tangannya. Oh, tidak! Lihatlah sekarang, kedua mata bocah laki-laki di sampingnya itu memerah dengan bibirnya yang merengut. Oh, sungguh menggemaskan!

“Langit, kenapa cubit pipi Leo? Ini sakit,” sedu Leo sebelum berbalik, “Kakak, sakit!”

Seketika itu juga, padang rumput yang semula tenang kini terisi tangisan Leo. Apakah sesakit itu, padahal Langit tidak merasa menyentuhnya terlalu keras. Kenapa tangisan bocah cilik itu seperti sehabis dianiaya saja?

Satu-satunya orang dewasa yang ada di sana hanya diam memperhatikan. Menutup buku bersampul kulit batang mahoni dan kemudian bangkit berdiri. Tubuhnya besar juga tinggi, dengan rambut ikalnya yang panjang tak terurus.

“Hari sudah hampir sore, lebih baik kalian bergegas pulang.” Setelah mengatakan hal itu, sosok itu mulai berjalan ke dalam hutan meninggalkan dua remaja yang masih berusaha menenangkan Leo. Dalam usahanya membujuk rayu Leo untuk diam, Langit melirik sekilas ke arah Bara melangkah. Di setiap mimpinya, hutan adalah tempat yang tidak pernah sekalipun Langit kunjungi. Bara bilang, tempat itu berbahaya. Jika berbahaya, kenapa Bara selalu pulang ke dalam hutan?

“Langita Putri Langit!”

Bruk ... bruk

Langit melotot takkala jantungnya berdegup kencang mendengar gebrakan di mejanya. Sedangkan pelakunya hanya nyengir lima jari dengan raut tanpa rasa bersalah.

“Udah istirahat, jangan tidur terus.”

Mulai sekarang, Langit akan menetapkan hal terakhir yang dia benci dari hidupnya.

“Bumi! Rese banget, sih, lo!”

Putri LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang