Aroma mie ayam tidak mampu mengembalikan mood Langit. Bahkan dinginnya es cincau dengan irisan kelapa muda yang tersaji di depan mata, tidak juga bisa mendinginkan kepalanya yang nyaris terbakar. Langit masih kesal dengan kelakuan Bumi karena sudah mengganggu acara tidurnya yang baru berjalan lima belas menit.
“Lima belas menit itu lama, Langita Putri Langit anaknya Bapak Sangga Langit.”
Ucapan Bumi membuat gadis lima belas tahun lewat enam bulan itu semakin meradang. Setelah pelajaran Pak Dion adalah istirahat. Yang mana seharusnya itu menjadi waktu emas bagi Langit untuk melanjutkan tidur. Akan tetapi, akibat ulah Bumi gadis itu sudah tidak lagi memiliki rasa kantuk di matanya.
Bagi Langit, waktu tidur yang tepat adalah ketika mentari masih bekerja. Karena di saat itulah, mimpi-mimpi aneh yang sering menghampiri tidurnya tidak akan muncul. Ini adalah salah satu hasil penelitian kecil yang Langit lakukan tentang mimpi-mimpi anehnya.“Tunggu! Yang tadi itu mimpi, ‘kan?” monolog Langit ketika mengingat apa yang terjadi saat dirinya tertidur di kelas.
“Kenapa gue bisa mimpi itu di siang bolong? Biasanya enggak,” lanjutnya sembari mengaduk mie ayam.
“Apa karena gue terlalu mikirin mimpi-mimpi itu, jadinya malah kebawa mimpi?”
“Ih, gue makin pusing! Tau, ah!”
Dengan semangat dan sedikit beringas, gadis yang baru duduk di kelas dua SMA itu melahap mie ayamnya yang sudah sedikit mengembang. Memikirkan mimpi-mimpinya yang aneh hanya membuat Langit semakin pusing dan lapar. Bayangkan, lima tahun dia tidak bisa tidur nyenyak di malam hari. Biasanya, segelas cokelat panas mampu membuat Langit bisa berpikir lebih tenang. Sayangnya, di kantin sekolah tidak ada yang jualan cokelat panas.
Setidaknya, sudah satu tahun ke belakang ini Langit memutuskan mencari tahu misteri di balik mimpi-mimpinya. Namun, sampai detik ini belum ada petunjuk yang bisa mencerahkan Langit tentang mimpi-mimpi anehnya.
“Cewek, makannya kok sendiri aja?” Tiba-tiba suara seseorang mengejutkan Langit dan membuatnya sedikit tersedak.
“Santai aja, Ngit. Gue nggak bakal rebut mie ayam lo yang udah melar kek kwetiaw itu, kok,” lanjut orang itu anteng sambil mendudukkan badannya di bangku, berseberangan dengan Langit.
“Oh, iya, di mana Bum ....“
“Diem nggak! Cerewet banget sih jadi orang. Satu lagi, jangan tanya soal Bumi ke gue karena gue bukan cenayang yang tahu di mana aja tuh anak!” tukas Langit memotong pembicaraan lawan bicaranya.
Yori, lelaki yang baru saja duduk, terkekeh mendengar seruan sepupunya itu. “Kan, biasanya tuh anak selalu ngekorin elu. Udah kek piyik ngintilin induk ayam. Haha.”
Langit tidak peduli. Moodnya sedang tidak baik sekarang, jadi dia akan menjadi anak kalem dan tidak melanjutkan perdebatan tidak berbobot yang sering kali mereka lakukan saat bertemu. Meskipun Langit juga sedikit penasaran karena tidak mendapati Bumi di sekitarnya.
Sejak kelas satu, entah magnet dari mana Bumi selalu berada dalam jarak pandang Langit. Meski tidak benar-benar mengekor seperti yang dibilang Yori. Biasanya jika tidak duduk bersama dirinya, Bumi akan duduk bersama teman-temannya di sekitar meja Langit. Namun, kali ini Bumi tidak terlihat di sekitar kafetaria.
“Apakah ada hal penting yang sedang dikerjakan bocah itu?” pikir Langit.
Tidak mau pusing memikirkan Bumi, hanya dalam hitungan detik, tepatnya 59 detik, mie ayam di mangkok Langit tandas tak tersisa. Segera setelah menyeruput es cincau kelapa mudanya, gadis itu bangkit. Meninggalkan Yori yang lagi-lagi takjub dengan kecepatan makan Langit. Sepupunya itu punya badan mungil dan Yori sering memanggilnya pendek kurus, tapi siapa sangka perutnya bisa muat banyak makanan.
“Dia laper apa doyan.” Pandangan Yori mengedar ke samping kanan, di sebelah mangkok yang sudah kosong ada beberapa bungkus plastik. Dilihat dari bekasnya itu terlihat seperti bekas bungkus batagor, bakso bakar, dan ada juga bungkus bekas ice cream.
Waktu istirahat masih ada kurang lebih sepuluh menit lagi. Sebelum kembali ke kelas, Langit menyempatkan diri pergi ke toilet. Kebiasaan yang sudah dia lakukan sejak sekolah dasar. Menurutnya sangat merepotkan kalau panggilan alam datang menjemput saat dirinya masih berada di kelas. Apalagi ada beberapa guru yang tidak suka muridnya keluar di jam pelajaran, bahkan untuk pergi ke toilet. Pak Dion contohnya.
“Langit!” Sebelum kakinya benar-benar masuk ke dalam toilet, terdengar Ginem memanggilnya.
“Ini punya lo, ‘kan?” Ginem mengulurkan tangan, “tadi gue nemu di depan pintu kantin.”
Langit mengambil kain yang disodorkan Ginem. Memperhatikannya sesaat, kemudian kembali mengulurkan pada Ginem. “Gue nggak punya sapu tangan.”
“Tapi di situ ada nama lo,” kekeh Ginem lalu pergi begitu saja.
Langit kembali melihat ke benda di tangannya. Sebuah sapu tangan merah muda yang terasa sangat lembut dalam genggamannya. Ketika kain kecil itu dibuka, terlihatlah ukiran rajut di salah satu pojoknya.
Langita Putri Langit
“Kenapa namanya sama kayak nama gue?”
Gadis itu mengurungkan niatnya saat akan melangkah kembali ke tempat yang disebut Ginem tadi. Suara bel yang nyaring mengingatkan kembali tujuannya. Bergegas Langit masuk ke dalam toilet, sembari tangannya memasukkan sapu tangan tadi ke dalam saku rok. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti.
Posisinya sekarang berada di samping cermin besar yang ada di dalam toilet. Saat melewati cermin, perasaan aneh itu muncul. Dengan ragu-ragu, Langit membalikkan tubuhnya menghadap ke arah cermin. Seketika itu juga kakinya melangkah mundur dan nyaris terjatuh. Bola matanya seakan ingin keluar dari peraduan saat netranya menatap pantulan diri di cermin.
“Itu milikku, tolong kembalikan.”
Gadis di dalam cermin, jelas bukan cerminan Langit. Di dalam sana, meski tubuh dan wajahnya sama seperti Langit, tetapi sosok di dalam sana terlihat sedang tersenyum. Tangan kanannya terulur, seolah meminta sesuatu.
“Tolong kembalikan milikku!”
Getaran di saku bajunya membuat Langit berjengkit kaget. Dengan tangan gemetar dia mencoba mengambil gawai yang masih terus bergetar. Sebuah nomor yang sudah Langit hapal di luar kepala terpampang di layar gawainya. Begitu jarinya menggeser ikon terima panggilan, sebuah suara langsung menyapa gendang telinga.
“Langit, keluar sekarang!”
“Bumi, gue ....” Belum selesai Langit mengucapkan kalimat, suara Bumi sudah lebih dulu memotong.
“Gue bilang keluar sekarang, Langit!”
Tanpa membuang waktu, gadis itu langsung berlari ke luar. Di depan pintu kamar mandi, Bumi sudah berdiri dengan gawai masih tertempel di telinga. Raut mukanya terlihat aneh, tidak seperti biasanya yang selalu jahil.
“Ayo, balik ke kelas. Udah bel dari tadi.” Setelah memasukkan telepon genggamnya ke saku celana, Bumi langsung menggandeng tangan Langit yang masih terlihat linglung.“Tidak apa-apa. Aku di sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Langit
FantasiLangit jengah. Sudah lima tahun ini tidurnya tidak pernah nyenyak. Ketika matanya terpejam, mimpi yang sama selalu menghampiri. Seolah-olah, gadis itu berada di dunia yang berbeda. Berbekal rasa penasaran, Langit memutuskan untuk memecahkan misteri...