Flashback

3 1 0
                                    

**Flashback**

Selena masih duduk di kelas satu SD saat ia mulai menyadari perubahan drastis pada ayahnya, Edward. Dahulu, ia adalah sosok pria yang penuh kasih sayang, selalu membawa tawa dan kebahagiaan ke dalam rumah. Namun, perubahan itu terjadi begitu cepat dan menghancurkan segalanya. Selena sering melihat ibunya, Nyonya Lily, menangis dalam diam di dapur, atau mendengar suara bentakan dan teriakan dari kamar ketika kedua orang tuanya bertengkar.

Suatu hari, Selena mendengar dari ibunya bahwa ayahnya telah ketahuan berselingkuh dan bermain judi. Sejak itu, rumah mereka yang dulunya penuh canda dan tawa berubah menjadi tempat yang sunyi dan menakutkan. Ayahnya jarang pulang, dan ketika ia berada di rumah, suasana menjadi tegang. Nyonya Lily pun mulai bekerja di sebuah penatu untuk menafkahi keluarganya, setelah Edward menjual sebagian besar aset rumah untuk berjudi.

Setiap kali Selena bertanya pada ibunya tentang mengapa ayah mereka berubah, Nyonya Lily selalu menjawab, "Ini karena keadaan ekonomi yang memburuk, sayang. Kita harus kuat, jangan terlalu dipikirkan." Meskipun ibunya berusaha menyembunyikan kenyataan, Selena masih bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah keuangan.

**Pertemuan dengan Steve**

Saat Selena duduk di kelas empat SD, ia bertemu dengan Steve, seorang anak laki-laki pendiam dan pemalu. Mereka duduk sebangku, tapi Steve hampir tidak pernah bicara. Selena pun tidak terlalu mempermasalahkannya, hingga suatu hari di kantin sekolah, Steve terlihat memohon pada penjaga kantin karena uang yang ia bawa kurang untuk membeli makanan. Anak-anak lain di belakang antrian mulai merasa kesal karena Steve menghambat mereka. Melihat situasi itu, Selena akhirnya menggunakan uang tabungannya untuk membayarkan makanan Steve.

Namun, Steve kecil yang canggung langsung mengambil makanannya tanpa mengucapkan terima kasih, membuat Selena merasa kesal. "Anak sombong," pikirnya saat itu. Tapi setelah kembali ke kelas, Selena menemukan selembar surat kecil diselipkan di antara bukunya. Tulisan di surat itu berbunyi:

"Maaf aku tidak bilang terima kasih tadi. Aku malu. Terima kasih banyak untuk makanannya. Aku tidak bisa mengganti uangmu, tapi kamu bisa jadi temanku, kalau kamu mau. Oh iya, kalau bisa, traktir aku lagi ya! Haha."

- Steve

Selena tersenyum membaca surat itu, dan sejak saat itu, mereka mulai berteman dekat.
Dan ternyata penatu tempat nyonya lily bekerja itu adalah milik keluarga steve, dan tidak di sangka atasan ibu selena itu adalah ibu nya steve bibi yuri.

**Hari yang Mengubah Segalanya**

Hidup Selena yang sudah sulit semakin hancur beberapa bulan kemudian. Suatu hari yang dingin di awal musim dingin, Selena baru pulang dari sekolah. Saat ia mendekati rumah, jantungnya berdebar kencang melihat sepasang sepatu yang sangat dikenalnya di depan pintu. Itu milik ayahnya, Edward. Perasaan takut langsung merayap di tubuhnya. Ia mendengar suara teriakan dari dalam rumah, membuatnya gemetar. Ingatan tentang pesan ibunya berputar di kepalanya:

"Jika ayahmu ada di rumah dan kami sedang berbicara, kamu jangan ikut campur. Kamu tidak perlu khawatir, sayang. Ibu akan baik-baik saja."

Dengan napas tertahan, Selena mengendap-endap mendekati ruang tamu. Dari balik tembok, ia bisa melihat ibunya sedang bertengkar hebat dengan ayahnya. Mata Nyonya Lily dipenuhi amarah dan kesedihan.

"Edward! Jangan berani-beraninya kau mengambil sertifikat rumah itu! Itu warisan dari ayahku! Rumah ini milik kita, milik Selena dan aku!" teriak Nyonya Lily sambil mencoba merebut sertifikat dari tangan Edward.

"Aku butuh uang, Lily! Kau istriku, rumah ini juga milikku. Aku hanya meminjam sertifikat itu, akan aku tebus nanti!" balas Edward, suaranya penuh kekesalan. Matanya liar, seolah-olah pria itu tidak lagi memiliki hati nurani.

"Kau mau gadaikan atau jual, aku tidak peduli! Sertifikat itu tidak akan keluar dari rumah ini! Ini adalah rumahku, rumah Selena! Kau tidak pernah peduli pada kami, kau hanya peduli pada dirimu sendiri!"

Selena menyaksikan ibunya berusaha mempertahankan haknya. Tangan Lily gemetar saat mencoba merebut sertifikat dari genggaman Edward, namun Edward mendorongnya dengan keras, membuatnya hampir terjatuh.

"Lily, jangan paksa aku untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Lepaskan!" bentak Edward.

"Aku tidak takut padamu, Edward. Kau bisa memukulku sepuasnya, tapi kau tidak akan pernah mendapatkan sertifikat ini!"

Selena yang bersembunyi di balik tembok melihat amarah yang berkecamuk di antara orang tuanya. Suara pecahan gelas terdengar saat Edward, dengan penuh kemarahan, meraih gelas dan memecahkannya. Wajah Selena memucat saat melihat ayahnya berbalik dan menatap ibunya dengan kebencian di matanya.

"Sudah cukup, Lily! Kau selalu menghalangi jalanku!" teriak Edward, lalu tiba-tiba ia menerjang Nyonya Lily dengan pecahan gelas di tangannya. Dalam sekejap, ia menusukkan pecahan gelas itu ke tubuh istrinya berkali-kali.

"TIDAK!!!" Selena ingin berteriak, tapi suara itu tertahan di tenggorokannya. Tubuhnya lemas, tak mampu bergerak melihat ibunya jatuh ke lantai, tubuhnya berlumuran darah.

Edward berdiri di atas tubuh istrinya, menghela napas kasar. Tanpa sedikitpun menoleh ke arah Selena, dia mengambil sertifikat rumah yang sekarang penuh darah dan pergi meninggalkan rumah.

Selena merangkak mendekati tubuh ibunya yang tak lagi bergerak. Ia menangis histeris, memeluk tubuh ibunya yang sudah dingin, darahnya menodai seragam sekolah Selena.

"Ibu, jangan tinggalkan aku..." bisik Selena di antara isak tangisnya. Namun, Nyonya Lily tidak lagi menjawab.

Di hari itu, dunia Selena runtuh. Sang ibu yang selalu menjadi pelindung dan sumber kekuatannya telah tiada. Selena kecil terpaksa menyaksikan akhir dari kehidupan ibunya dengan cara yang paling mengerikan.

Selena berlari keluar rumah dengan tubuh gemetar penuh darah dan wajah basah oleh air mata. Ia tidak tahu harus ke mana, kecuali satu tempat: rumah Steve. Kaki kecilnya melangkah secepat mungkin, berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa ibunya baru saja meninggal di tangannya.

Selena mengetuk pintu rumah Steve dengan tangan yang gemetar. Pintu itu terbuka dan seorang wanita berusia paruh baya, yang dikenal sebagai bibi yuri ibu steve, melihat Selena dengan wajah penuh darah dan ketakutan.

"Ya Tuhan, Selena! Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya bibi yuri panik, dengan segera memeluk Selena yang tak bisa berkata-kata.

Selena tidak mampu menjawab. Ia hanya menangis dalam pelukan bibi yuri. Steve yang sedang di kamar keluar dengan cepat begitu mendengar keributan. Ketika melihat kondisi Selena, ia berlari mendekat.

"Selena, kamu kenapa? Apa yang terjadi?!"tanya Steve dengan wajah bingung dan khawatir. Melihat temannya dalam keadaan hancur seperti itu membuat hatinya sakit.

"Ibu... ibuku... dia..." Selena tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Isaknya semakin keras.

Bibi yuri segera menyuruh Steve mengambil handuk dan membersihkan wajah Selena yang penuh darah. Bibi yuri kemudian membawa Selena masuk ke dalam rumah, memberikan air hangat untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, Selena mampu bercerita dengan tersendat-sendat.

"Ayah... dia... dia membunuh ibuku bi hiks..," kata Selena di antara tangisannya, membuat Steve dan bibinya tertegun. Mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

Bibi yuri segera menelepon polisi, sementara Steve duduk di samping Selena, memegang tangannya erat-erat. Steve tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia ingin Selena tahu bahwa ia tidak sendirian.

Namun, situasi semakin rumit. Ketika polisi tiba di lokasi kejadian dan melakukan penyelidikan, ayah Selena bersikeras bahwa ia sedang berada di luar kota saat kematian Nyonya Lily. Ia memberikan bukti palsu berupa catatan perjalanan dan saksi-saksi yang telah disuap untuk mendukung alibinya. Lebih dari itu, ayahnya dengan cerdik menghilangkan semua bukti yang dapat mengaitkannya dengan kematian Nyonya Lily.

"Aku tidak ada di sana ketika Lily meninggal. Ini semua pasti salah paham. aku suaminya dan aku juga terpukul atas kepergian mendiang istriku."katanya dengan nada dingin kepada pihak berwenang.

Selena merasa hancur dan bingung, karena ia yakin melihat ayahnya di rumah malam itu. Namun, setiap bukti yang bisa membuktikan kesaksiannya telah lenyap. Dalam tekanan yang kuat dari pengacara ayahnya, polisi akhirnya menutup kasus tersebut dengan kesimpulan tragis bahwa Nyonya Lily meninggal karena bunuh diri.

"Ini adalah tragedi yang menyedihkan, tapi tidak ada bukti yang mendukung klaim bahwa ini pembunuhan," kata penyidik kepada Selena saat mereka menutup penyelidikan. "Kami terpaksa menutup kasus ini."

Selena tidak bisa berkata-kata. Dunia terasa hancur di sekelilingnya. Ia tahu ayahnya terlibat, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan.

Setelah pemakaman ibunya, Selena sementara tinggal di rumah neneknya yang terletak di pinggiran kota. Neneknya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa bagi Selena. Wanita tua itu mencoba memberikan kenyamanan kepada cucunya yang terluka secara emosional, meskipun dirinya sendiri juga hancur atas kehilangan putrinya.

Selena tidur di kamar yang dulunya merupakan kamar ibunya ketika masih kecil. Setiap malam, ia menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang penuh kesedihan dan kebingungan. Kenangan tentang malam itu terus menghantuinya, setiap detilnya terpatri di benaknya, membuatnya sulit untuk tidur.

"Kamu harus kuat, sayang,"sering kali neneknya berkata sambil memeluknya erat. "Ibumu ingin kamu bahagia dan tetap tegar."

Namun, kehidupan Selena tidak menjadi lebih baik. Hanya tiga minggu setelah kematian ibunya, sang nenek juga jatuh sakit. Dalam waktu yang sangat singkat, kondisi neneknya memburuk, dan Selena harus menghadapi kehilangan lagi. Neneknya meninggal dunia karena serangan jantung, membuat Selena sekali lagi harus mengubur orang yang ia cintai.

Hari itu, Selena merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Ia berdiri di pemakaman neneknya, tubuhnya kaku, matanya kosong. Tidak ada lagi air mata yang bisa keluar. Rasa sakitnya sudah terlalu dalam hingga ia tidak bisa lagi merasakan apapun. Hanya kehampaan yang tersisa.

Selena kembali tinggal di rumah ibunya yang kini kosong. Tanpa kehadiran nenek dan ibunya, rumah itu terasa seperti gua yang dingin dan sunyi. Ayahnya telah menghilang, meninggalkan Selena seorang diri di dunia ini.

Setelah pemakaman neneknya, Selena tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Rumahnya yang sepi terasa begitu menakutkan. Akhirnya, ia kembali ke rumah Steve, tempat yang paling akrab baginya selain rumahnya sendiri. Bibi yuri menyambutnya dengan hangat dan segera menawarkan agar Selena tinggal di sana untuk sementara waktu.

"Selena, kamu tidak perlu khawatir. Kami akan selalu ada untukmu," kata bibi penatu sambil mengelus kepala Selena dengan lembut.

Selama beberapa minggu, Selena tinggal bersama keluarga steve. Mereka merawatnya seolah ia bagian dari keluarga mereka sendiri. Steve selalu berusaha menghiburnya dengan candaannya, meskipun Selena masih tenggelam dalam kesedihannya. Namun, kehadiran mereka membuatnya merasa sedikit lebih tenang, setidaknya untuk sesaat.

Shattered tiesWhere stories live. Discover now