Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai jendela, menghangatkan kamar Elisa yang sepi. Suara burung berkicau riang di luar, seolah mengucapkan selamat datang kepada hari baru yang penuh harapan."Eli! Sarapanmu sudah ada di atas meja. Aku berangkat duluan, ya," panggil Selena, berdiri di ambang pintu kamar adik tirinya. Suaranya lembut namun terdengar sedikit terburu-buru. Meskipun selisih usia mereka lima tahun, hubungan mereka lebih dari sekadar kakak-adik tiri mereka adalah sahabat yang saling melengkapi.
"Terima kasih, Kak Na! Oh, mungkin nanti aku pulang agak malam, aku lembur." jawab Elisa sambil mencatok rambut panjangnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya di depan cermin.
"Oke. Jangan lupa makan dan kerjakan tugasmu ya." Selena mengangguk, lalu bergegas pergi meninggalkan aroma kehangatan dan kasih sayang di balik percakapannya.
Memikirkan hubungan mereka, selena teringat bagaimana semua ini bermula. Bagaimana mungkin Selena punya adik tiri?
Apakah dia sudah pernah bertemu lagi dengan Ayah Edward setelah bertahun-tahun?
Jawabannya: tidak.
Hari itu, Elisa muncul di depan pintu rumah Selena. air mata bercucuran dan hati dipenuhi ketakutan. Di usianya yang baru menginjak 15 tahun, ia membawa tas besar penuh harapan, mencari perlindungan di tempat yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Selena tak pernah membayangkan akan ada hari ketika pintu itu terbuka, dan hidup mereka berdua akan berubah selamanya.
Selena yang telah hidup sendiri sejak usia 17, setelah keluar dari rumah Bibi Yuri merasa tergerak melihat keadaan Elisa. Ibunya elisa ingin meninggalkannya di panti asuhan setelah menikah lagi dengan pria asing setelah bercerai dengan ayah edward. Tak ada tempat lain bagi Elisa, dan dia nekat mencari selena meski tak pernah mengenalnya.
kejadian 3 tahun lalu itu membuat selena dan elisa saling bergantung dalam suka dan duka.dan saat sejak saat itu juga, mereka berdua belajar hidup mandiri. Sekarang selena bekerja sebagai karyawan di JOANNELLY dan juga aktif sebagai mahasiswi jurusan bisnis di univ swasta.
Sementara Elisa, yang kini duduk di bangku SMA tingkat akhir, berusaha membantu biaya hidup mereka dengan pekerjaan paruh waktu. Di tengah kesulitan dan kebahagiaan, mereka saling menguatkan.
-
Di dalam bus yang mengantarnya ke tempat kerja, pikiran Selena berkecamuk. "Bagaimana aku bisa membayar semua hutang ayah lagi kali ini?" batinnya, menatap kosong ke luar jendela. Ketakutan menggelayuti hatinya. "Jika tidak kubayar, para penagih hutang itu bisa saja melakukan hal yang buruk padaku dan Elisa..."
Selena menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Dalam hatinya, ada pertanyaan yang terus menggantung. "Apa sebenarnya tujuan ayah? Mengapa dia melakukan ini padaku? Kenapa dia selalu tahu di mana aku berada, tapi tak pernah muncul?"
Sesampainya di tempat kerja, ia berusaha mengusir kekhawatiran yang menggelayuti pikirannya.
"Selamat pagi, semuanya!" sapanya ceria kepada rekan-rekannya."Pagi, Kak Selena! Hari ini cerah banget ya, Kak," sahut Alexa sambil tersenyum lebar.
"Iya, semoga omset kita juga secemerlang matahari hari ini," balas Selena, menggantungkan tasnya di loker.Tiba-tiba, Gerald, salah satu rekan kerja laki-laki, mendekat. "Selena, tadi sebelum kamu datang, ada pria yang nitip ini lagi buat kamu," katanya, menyodorkan seikat bunga mawar merah yang masih segar.
Alexa langsung tertawa. "Cieee Kak Sel, romantis banget sih pacarnya. Setiap hari kirim bunga, bikin iri deh!"
Selena tersenyum tipis. "Ini bukan dari pacar, Lexa. Ini dari sahabat kecilku. Kami sudah biasa saling memberi hadiah."
Alexa masih bercanda. "Mana ada sih kak cowok dan cewek bisa sahabatan murni? Pasti ada yang suka." Senyuman Selena menguap sejenak, dan kata-kata Alexa terngiang di benaknya. "Apa benar seperti itu?"
Ia segera mengalihkan perhatian, mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Steve.
"Steve! Terima kasih bunganya, cantik sekali. Aku jadi semangat kerja hari ini. Kamu juga semangat latihan, ya!"
Tak butuh lama, Steve membalas.
"Wah, bunga kali ini kalah cantik dengan dirimu, sayang. Oh iya, nanti setelah pulang kerja aku jemput di tempat biasa ya. kita kerumah pergi ke rumahku . Ibu terus-terusan menanyakan dirimu, aku lelah menanggapinya See you soon, honey."
Pipi Selena mendadak memanas membaca kata terakhir itu.
"Eh, kenapa aku jadi bereaksi begini?" pikirnya, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang mulai mengganggu hatinya.-
Selena menatap jam tangan kecil di pergelangannya. Masih ada satu jam sebelum ia bisa pulang.
"Satu jam lagi... Hmm, apa ya yang bisa kubelikan untuk Ibu?" gumamnya, berbisik pada dirinya sendiri.
YOU ARE READING
Shattered ties
Fanfiction" Steve.. aku tidak marah padamu. tapi, aku sangat kecewa padamu. aku mengerti sekarang apa itu persahabatan. aku pamit dari kehidupan mu. selamat tinggal." Selena