Bab 1

335 66 15
                                    


Bab 1 
Family night

Teras belakang rumah kedua orang tuanya selalu menjadi tempat mereka berkumpul selama ini. Bercanda, tertawa, bertengkar, bahkan menangis. Di sana, ia bisa mendapatkan kedamaian, yang tak pernah di dapatkannya di tempat lain. Di tempat yang selalu menawarkan kehangatan, Mara bisa menjadi dirinya sendiri.

Menghadap ke halaman yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman, menjadikan teras rumah mereka sebagai titik berkumpul. Selain dapur. Bale-bale berlapis kasur busa yang dipenuhi bantal menjadi saksi hidupnya, Anjas dan juga Rana. Sahabat, saudara sekaligus kakak iparnya semenjak tahun lalu.

Bagas dan Mitha—kedua orang tuanya—berhasil menciptakan suasana nyaman di setiap sudut rumah. Membuat siapapun betah untuk berlama-lama di sana. Bahkan sejak kepindahan mereka—tak lama setelah kedua orang tuanya menikah—makan malam keluarga yang tidak hanya untuk mereka berlima menjadi hal rutin. Tak jarang Mara merasa sesak tak bisa bernapas ketika banyak orang berkumpul di rumahnya.

Namun, malam ini terasa damai. Hanya ada mereka berlima. Mengelilingi meja rendah penuh dengan minum dan camilan yang Mitha siapkan setelah makan malam usai. Mereka berbagi cerita, tawa dan canda, meski Mara tak bisa berhenti cemberut setiap kali melihat kemesraan yang terjadi di sekelilingnya.

Kedua orang tuanya tak pernah malu menunjukkan kemesraan. Seolah keduanya tak bisa saling menjauh. Mereka selalu berbagi kecupan, pelukan bahkan ia pernah mendapati keduanya bercumbu saat penghuni rumah lainnya sudah terlelap. Namun, kini keduanya mendapat saingan. Anjas pun terlihat tak bisa jauh dari Rana—istrinya. Mara mendapati kakaknya memeluk dan sesekali mencium puncak kepala Rana tanpa merasa malu, membuatnya semakin cemberut.

"Ini kenapa pada deket-deketan sih duduknya!" protes Mara melihat semua orang. "Iya tahu kalau semua punya pasangan. Tapi, ya, enggak gitu juga, kan!" Mara semakin cemberut ketika Anjas semakin mengeratkan pelukan di sekeliling pundak istrinya. "Mbencekno!" kata Mara.

Anjas yang tak pernah lelah mengusili adiknya, justru semakin erat memeluk istrinya. Mengusap perut dan sesekali mencium pipi Rana. "Iri, bilang, Bos!" kata Anjas membuatnya meradang.

Sebelum Mara sempat melempar bantal di pangkuannya, Bagas berdiri dan duduk di sampingnya. "Sama Ayah aja," ucap Bagas meraih pundaknya. "Akhir-akhir ini kamu kan sibuk banget, jarang temenin Ayah ngopi lagi."

Kesibukan pria yang sudah menjadi bagian hidupnya jauh sebelum menikah dengan Mamanya tersebut semakin bertambah. Seiring semakin berkembangnya usaha yang dirintis oleh Bagas dan juga Saka—kakak kandung ayahnya. Namun, meski beban pekerjaan semakin bertambah, setiap malam Bagas selalu berusaha untuk makan makan di rumah, bersama mereka. Bahkan, selepas kuliah Mara pun memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan ayahnya.

"Ayah yang sibuk akhir-akhir ini. Aku masih ngopi, kok. Sama Mama," ucapnya terkekeh.

"Pantesan Mamamu kebangun berkali-kali kalau malam!" protes Bagas memandang Mitha yang terkekeh. "Jangan minum kopi malam ini, Yang!" perintah Bagas yang masih memanggil istrinya dengan panggilan Yang, seperti layaknya anak muda jaman sekarang.

Mara memundurkan kepala menjauhi pundak ayahnya. Menatap mata yang kini hanya tertuju pada mamanya. Cinta. Itu yang terlihat di sepasang mata teduh yang membuatnya belajar tentang cinta selama ini.

Benar apa kata orang, Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya. Walaupun Ayahnya bukan pria yang menyumbang separuh DNA padanya dan Anjas. Bagas, yang resmi menjadi Ayahnya semenjak ia duduk di bangku SMP mengajarkan banyak hal padanya dan Anjas. Kasih sayang, keihlasan, pengorbanan dan banyak hal yang hingga saat ini masih ia pegang teguh.

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang