Bab 12

233 68 13
                                    


Bab 12 Menantu idaman


"Jadi, kapan aku bisa kenalan sama Ayahmu?" Mara terbatuk hingga matanya memerah. Ia masih menundukkan kepala berusaha meredakan batuk ketika merasakan tepukan lembut di punggungnya. "Sorry, aku enggak tahu kalau kamu bakalan batuk gini, Yang."

Menegakkan kepala, Mara melempar pandangan membunuh ke arah Aga yang tak terlihat menyesal sudah membuatnya batuk. "Berhenti manggil aku Yang!" perintahnya di antara batuk yang semakin mereda. "Orang bakalan mikir yang enggak-enggak!"

Selama ini Mara tak pernah memikirkan pendapat orang tentang dirinya. Namun, jika berhubungan dengan pasangan, Ia berubah. Ia tak ingin menimbulkan spekulasi yang membuat semua orang kembali memperhatikan dirinya. Hingga saat ini, ia tahu orang masih membicarakannya dan Dipa. Terlebih lagi ketika pesta pertunangan, ia menjadi pusat perhatian beberapa saudara Dipa yang mengenalnya.

Kedekatannya dan Aga menimbulkan banyak pertanyaan. Sesuatu yang tidak ia inginkan saat ini. Ketika ia masih menelaah hati, Mara tak ingin siapapun datang padanya. Namun, sekuat apapun usahanya untuk menahan diri, Aga datang dengan kekuatan penuh. Dengan senyum yang membuatnya tak bisa berpaling. Perhatian yang membuatnya merasa istimewa. Kisah hidup yang membuat Mara kagum. Kesetiaan pada Caca yang membuatnya iri. Aga merusak semuanya. Seperti saat ini.

"Jadi, kapan aku bisa kenalan sama Ayah kamu?" tanya Aga dengan pelan, menjeda setiap kata. Mata yang tajam tapi terasa lembut itu menatapnya. Membuat jantungnya berhenti sesaat. "Enggak mungkin sebelum akad nikah baru kenalan, kan!"

Mara meletakkan tangan di atas meja, memandang Aga. Mencari sesuatu, meski tak tahu apa yang dicarinya. Rambut yang terlihat acak-acakkan, membuatnya ingin melarikan jarinya di sana. Kerling jahil di mata dan senyum di bibir membuatnya tak bisa berpaling. Semua hal tentang Aga terlihat menarik di matanya saat ini. Menghilangkan semua jengkel yang bercokol di hatinya beberapa saat lalu. "Apa yang bikin kamu pengen akad nikah sama aku?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling. "Kita baru kenal. Beberapa saat lalu, calon suami mantan pacarmu adalah pria yang selalu menamaniku kemana pun." Aga diam. "Apa, Mas?"

Aga mengikuti gerakannya. Menopang dagu dengan tangan kanan. Matanya bergerak perlahan menyusuri setiap inchi wajahnya. Membuat Mara gelisah tak bisa duduk dengan tenang ketika pandnagan Aga berhenti di bibirnya. "Aku pernah tanya Caca, kenapa memintamu untuk terlibat dalam pernikahan. Seolah memberimu kesempatan untuk menghancurkan rencana pernikahannya."

Mara menegakkan punggung. "Heh, Mas kira kita hidup di film Hollywood. Mas kira aku bakalan sabotase rencana pernikahan mereka? Ngerusak baju pengantin atau batalin pesenan kue. Gitu?" Aga mengedikkan pundak malas. "Malesin banget, sih!"

Masih dengan mata saling memandang. Keduanya seolah saling mengukur kekuatan. Entah apa yang akan mereka dapatkan dari perlombaan itu. Namun, setelah beberapa saat, Mara memalingkan wajah. Tepat ketika ia mulai merasakan wajah Dipa menghilang dari kepalanya.

"Aku enggak akan sabotase rencana pernikahan mereka. Jujur, aku agak tergoda untuk melakukannya, tapi ...." Mara terdiam sesaat.

"Tapi kenapa?"

Mara kembali menatap Aga. "Tapi aku enggak bisa melakukannya. Mungkin sulit untuk dipercaya, tapi aku enggak yakin Mas Dipa sebanding dengan semua rencana buruk yang bisa kupikirkan untuk gagalin pernikahan itu."

Aga terlihat terkejut tapi juga tertarik. Terlihat dari saat ini memajukan kepala dengan mata memicing. "Bukannya kamu cinta sama Dipa?"

Helaan napas panjangnya membuat Aga semakin terlihat tertarik. "Mungkin ... mungkin juga enggak," jawab Mara. "Mungkin aku hanya menyukai ide adanya kemungkinan hubungan antara kami berdua. Mungkin aku hanya penasaran. Yang pasti rasa penasaran itu enggak cukup besar sampai bikin aku berbuat bodoh!"

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang