Bab 7

246 62 15
                                    


Bab 7 

Pertemuan tak terduga


Mara melihat satu persatu sepatu yang diletakkan berjajar di depannya. Tiga model yang berbeda dengan warna sama membuatnya bingung. Hari ini, ia kembali ke mall tempatnya bertemu Dipa beberapa hari lalu dengan niat untuk membeli sepatu. Namun, seperti orang bodoh, Mara menatap ketika model yang membuatnya galau.

Kedua orang tuanya, bahkan Anjas dan Rana pun menjawab semua bagus ketika ia mengirim foto ketiganya ke group keluarga. Jawaban yang tidak membantunya tersebut membuat Mara semakin lama menatap sepatu yang menggoda untuk dibawa pulang.

"Ya, Mas," jawab Mara ketika ponsel di tangannya bergetar dan nama Dipa muncul di sana. "Bagus mana?" tanyanya. Beberapa saat lalu, ia sengaja mengirim foto pada Dipa karena ia semakin bingung menentukan pilihan.

"Bagus semua, Non." Mara mengerang frustasi menadapati jawaban Dipa tak jauh berbeda dengan semua orang. "Ya wis, beli semuanya aja." Mara kembali mengerang karena tahu Dipa akan mengatakan hal itu. "Aku salah apa lagi, sih, non?" Meski saat ini, Mara bisa mendengar kekehan Dipa, rasa jengkel yang muncul tak bisa ditahannya.

"Harusnya Mas Dipa bantu aku milih, kan!"

"Kan udah aku pilihin, sih, Non. Beli semuanya aja. Beres, kan!"

Mara menggelengkan kepala, meski saat ini Dipa tak bisa melihatnya. "Enggak, ah. Budgetku hanya cukup untuk satu sepatu. Lagian Mas kan tahu, Mama pasti marah kalau lihat aku beli sepatu langsung tiga."

"Ya sudah, bilang Mama kalau kamu beli satu, yang dua itu hadiah dariku." Sebelum ia sempat melayangkan protes, notifikasi terdengar di telinganya. "Udah tuh, beli semuanya. Setelah itu, aku tunggu di tempat biasa. Jangan lama-lama, aku udah laper."

Semenjak kedekatan mereka berdua, Dipa selalu melakukan sesuatu tanpa menunggu persetujuannya. Seperti saat ini. Tanpa menunggu jawaban darinya, Dipa mengirim uang dan memintanya untuk membeli sepatu. Meski ia tak memintanya.

Pradipa
Udah jadi beli ketiganya, kan?
Ceetan ke sini, aku laper (baca:aku kangen)

Mara tertawa terbahak-bahak membaca pesan Dipa sebelum mengirim foto seperti kebiasaan mereka selama ini.

Aku balikin uangnya, ya, Mas

Pradipa
kalau kamu balikin, aku transfer ulang dengan jumlah dua kali lipat. Mau?

Paksaan Dipa masih membuatnya merasa tidak nyaman. Meskipun ini bukan pertama kali Dipa mengirim uang, memintanya untuk membeli sesuatu. Namun, semua berubah semenjak pertunangan Caca, ia merasa semakin tak berhak untuk menerima pemberian itu.

Iya iya. Aku kesana
Pesenin seperti biasanya, ya.

Setelah menyelesaikan pembayaran untuk ketiga sepatunya, Mara menuju lantai enam tempat mereka berdua bertemu beberapa hari lalu. Dengan senyum di bibir, Mara menuju area outdoor, tempat yang selalu Dipa tuju setiap kali mereka makan di sana.

Namun, ketika Mara melihat siapa yang duduk tak jauh dari Dipa, jantungnya berhenti. Perempuan cantik dengan rambut panjang berwarna kecoklatan terlihat sibuk menunduk membaca buku menu bersama seseorang.

"Mas Dipa enggak bilang kalau ada Caca," bisiknya ketika Dipa memeluknya. Saat itulah Caca mengangkat kepala dan tersenyum manis padanya.

"Eh, Mara udah datang. Sorry, kita berdua ganggu, ini tadi enggak sengaja ketemu di depan." Mara tersenyum kikuk ketika Caca menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya. Satu hal yang membuatnya terkejut pertama kali berkenalan dengan Caca tepat sebelum acara pertunangan adalah kebiasaannya memeluk. Untuk orang asing yang belum pernah ia kenal, Caca dengan santai menariknya masuk dalam pelukan. Meski hanya sesaat, tapi itu cukup membuat Mara terkejut. Seperti saat ini.

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang