Bab 3

238 60 11
                                    


Bab 3 Asmara Putri Aldyansyah


Mara tersenyum melihat satu persatu foto produk yang baru saja di unggahnya. Ia masih tak menyangka kerja kerasnya selama beberapa bulan mencari pengrajin, kini terbayar sudah. Detail kayu dan rotan yang tampak di makan usia berlatar belakang persawahan membuat senyumnya semakin terkembang. Seperti yang diinginkan, kursi yang sudah di makan usia itu terlihat seperti baru tanpa meninggalkan karakter aslinya.

Sambil menopang dagu, jarinya tak berhenti menggulir layar dan mengagumi hasil kerjanya. Dari semua pengrajin yang ia temui. Mara berhasil menemukan pengrajin yang bersedia untuk memulihkan kembali semua barang tua persediaan Ayah dan Pakdhenya. Setiap kali melihat barang tua yang kembali hidup, Mara merasa ada kepuasan tersendiri. Terlebih lagi ketika ia mengikuti proses sejak penemuan hingga selesai.

Senyum puas terkembang di bibirnya, meski karir pilihannya berbeda dengan rencana yang ia buat semenjak lulus SMA. Ia tak menyesalinya. Walaupun hingga saat ini terkadang ia masih merasa keberatan Mamanya. Namun, setiap kali melihat hasil kerjanya—seperti saat ini—semuanya terbayar. Keberatan dan protes yang pernah dilayangkan Mamanya seolah hanya angin lalu. Semua tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk pekerjaan selama ini, membuat pengorbanan itu tak sia-sia.

"Dek, kamu bisa dapat pekerjaan kantoran kalau mau," kata Mamanya. "Enggak harus kerja sama Ayah, kan?"

Mara memandang Mamanya yang sibuk menyelesaikan persiapan makan malam mereka. Berbeda dengan Rana yang selalu membantu Mamanya, ia menikmati menjadi pengamat. Ia hanya duduk melihat kesibukan yang terjadi di depannya, tanpa ada niat untuk membantu. "Tapi Mama tahu kalau aku nikmati kerja sama Ayah, kan?!"

Berbeda dengan Anjas yang sudah tahu ingin menjadi apa semenjak kelas satu SMA, ia masih harus berjuang untuk memilih jurusan. Mara tak memiliki kepandaian seperti Anjas, dan ia menyadari itu. Ia ingin berkerja untuk diri sendiri seperti kedua orang tuanya.

"Sayang," kata Mamanya menarik lembut tangannya. "Mama tahu kamu suka kerja sama Ayah dan Pakdhe. Tapi Mama enggak mau kamu nyesel."

Semenjak memutuskan untuk sepenuhnya terjun dan bergabung dengan perusahaan keluarga, Mara mendapatkan tentangan dari berbagai sisi. Satu-satunya yang mendukungnya, hanya Anjas. Walaupun semua orang tak mengatakan ketidaksetujuannya dengan gamblang, tapi ia bisa merasakan hal itu.

"Aku pengen bisa atur pekerjaanku. Atur jam kerjaku sendiri, Ma." Mara mengenggam erat tangan Mamanya. "Lagian, ini semua salah Mama dan Ayah!"

Mitha membelalakkan mata. Tanda tanya terlihat jelas di wajah wanita yang saat ini berkacak pinggang di depannya. "Maksudnya apa salah Mama dan Ayah?!"

Mara tertawa mendapati wajah kesal Mamanya. "Mama pernah bilang kalau kuliah untuk mencari ilmu. Iya, kan?" Mitha mengangguk. "Aku dapat banyak ilmu yang bermanfaat sekarang. Meski enggak bekerja di kantor pengacara."

"Dek, yang Pakdhe kasih tadi pagi, udah kelar?" Suara Saka—kakak Ayahnya—membuyarkan ingatan tentang Mamanya. Pria yang tidak terlihat menua meski usianya terpaut beberapa tahun lebih tua dibanding Ayahnya tersebut memilihi aura yang menenangkan. Berbeda dengan Ayahnya yang terkadang menjengkelkan dan usil. "Orangnya tanya lagi." Mara bisa menangkap sedikit jengkel di Suara Saka.

"Pancet ae, padahal udah aku email, lho, Pakdhe," jawabnya. Mara menegakkan punggungnya kaku yang sejak beberapa saat lalu menganggunya kini semakin terasa. "Bilangin, kalau enggak ada, cek spam, lah!" Mara bukan tipe perempuan yang sabaran dalam menghadapi sesuatu. Terlebih lagi ketika mendapati klien yang menjengkelkan, seperti saat ini.

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang