10. PERANGKAP YANG TERPASANG

113 4 0
                                    

Sebelum mulai baca, jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar ya. Kalau ada typo atau kesalahan, jangan ragu kasih tahu, terima kasih sebelumnya!

Buat kalian yang baru pertama kali mampir di Wattpad-ku, jangan lupa follow agar tidak ketinggalan update cerita seru berikutnya!

Setelah penemuan mengejutkan di ruang bawah tanah, Alya dan Maya merasa mereka sudah terlalu dalam dalam misteri ini. Meski hati mereka diliputi rasa takut, keduanya sepakat untuk tidak mundur. Mereka harus melanjutkan penyelidikan, tidak hanya demi mereka berdua, tetapi demi teman-teman mereka yang masih menjadi subjek eksperimen tanpa mereka sadari.

Alya dan Maya sepakat untuk merahasiakan semua ini. Mereka tahu, semakin banyak orang yang tahu, semakin besar risiko yang mereka hadapi. Tapi mereka tidak bisa bergerak sendiri, mereka butuh bantuan dari orang lain yang bisa dipercaya. Namun, siapa?

"Kita perlu orang lain," kata Maya saat mereka duduk di taman sekolah keesokan harinya, tatapannya melayang ke arah sekelompok siswa yang berjalan melewati mereka. "Tapi, kita juga harus sangat hati-hati. Tidak semua orang bisa dipercaya."

Alya mengangguk setuju. "Aku tahu. Kita tidak bisa sembarangan memberitahu orang. Tapi kita butuh seseorang yang punya akses lebih banyak ke tempat-tempat yang tidak bisa kita datangi. Dan, kita juga butuh seseorang yang cerdas, yang bisa membantu kita memahami apa yang kita temukan di laboratorium kemarin."

Maya berpikir sejenak. "Bagaimana dengan Dika? Dia pintar dalam hal sains. Dan aku pernah dengar dia sering membantu di laboratorium biologi sekolah."

Alya terdiam, mempertimbangkan saran Maya. Dika memang terkenal cerdas, dan dia juga sosok yang cukup tertutup, jadi kemungkinan dia bisa menjaga rahasia. Tapi ada sesuatu tentang Dika yang membuat Alya sedikit ragu. Namun, di tengah situasi mendesak seperti ini, mereka tidak punya banyak pilihan.

"Kita bisa mencoba mengajak Dika," jawab Alya akhirnya. "Tapi kita harus memastikan dia bisa kita percayai sebelum memberitahunya terlalu banyak."

Di jam istirahat berikutnya, Alya dan Maya mendekati Dika yang sedang duduk sendirian di meja perpustakaan, tenggelam dalam buku tebal biologi. Saat mereka mendekat, Dika menatap mereka dengan ekspresi penuh tanya.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, nada suaranya tenang.

Alya dan Maya saling berpandangan sebelum Alya berbicara lebih dulu. "Kami butuh bantuanmu. Tapi, apa yang akan kami katakan sangat rahasia, dan kami butuh seseorang yang bisa kami percayai."

Dika menyipitkan mata, jelas tertarik tetapi juga curiga. "Rahasia? Apa yang kalian sembunyikan?"

"Kami tidak bisa menjelaskan semuanya di sini," jawab Alya sambil melirik ke sekeliling perpustakaan yang mulai ramai oleh siswa lain. "Temui kami di taman belakang setelah sekolah, dan kami akan jelaskan."

Dika menatap mereka dengan tatapan serius, lalu mengangguk. "Baik, aku akan ke sana."

Ketika jam sekolah berakhir, mereka bertiga bertemu di taman belakang sekolah yang sepi. Suasana di sekitar mereka terasa tegang, seakan angin sore yang bertiup membawa firasat buruk. Alya dan Maya menceritakan apa yang mereka temukan di laboratorium bawah tanah dan bagaimana eksperimen rahasia itu dilakukan terhadap para siswa.

Dika mendengarkan dengan seksama, wajahnya berubah tegang ketika mereka berbicara. Setelah mendengar semuanya, dia menarik napas dalam-dalam. "Jadi kalian bilang, ada semacam eksperimen medis rahasia yang dilakukan di sekolah ini? Dan para siswa dijadikan subjek?"

Alya mengangguk. "Ya, dan kami yakin Pak Ridwan terlibat. Kami melihatnya di laboratorium bawah tanah saat dia memeriksa tempat itu."

Dika terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. "Ini sangat serius. Tapi jika apa yang kalian katakan benar, kita tidak bisa melakukannya sendirian. Kita butuh lebih banyak bukti—dan mungkin, kita butuh lebih banyak orang untuk membantu."

"Apa kau bisa membantu kami?" tanya Maya, penuh harap.

Dika terdiam sesaat sebelum menjawab. "Aku bisa. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Kita tidak tahu seberapa jauh eksperimen ini, atau siapa lagi yang terlibat. Kita perlu bergerak dalam bayangan."

Alya merasa lega mendengar jawaban itu. Meskipun rasa takut masih menghantui, setidaknya sekarang mereka punya seseorang yang bisa membantu mereka dengan pengetahuannya. Tapi Dika benar, mereka harus sangat hati-hati. Bahaya semakin mendekat.

Beberapa hari kemudian, Alya, Maya, dan Dika menyusun rencana. Mereka berencana kembali ke laboratorium bawah tanah malam itu, mencari bukti tambahan yang bisa mereka gunakan. Dika menyarankan agar mereka membawa kamera dan mengambil foto-foto dokumen yang mereka temukan. Alya setuju, itu akan lebih aman daripada membawa dokumen asli yang mungkin bisa dilacak kembali kepada mereka.

Malam itu, mereka kembali menyelinap ke sekolah. Dengan hati-hati, mereka menyelinap ke ruang kesehatan, dan menuju pintu kecil yang membawa mereka ke laboratorium bawah tanah. Begitu tiba di sana, mereka mulai mencari bukti-bukti tambahan. Dika, dengan pengetahuannya, langsung tertarik pada beberapa peralatan medis dan dokumen di sudut ruangan.

"Aku pernah melihat peralatan ini," bisik Dika sambil memeriksa salah satu alat. "Ini biasanya digunakan dalam penelitian neurobiologi. Sepertinya mereka mempelajari efek penyakit ini pada otak para siswa."

Alya menggigit bibirnya, menahan rasa ngeri yang mulai merayap dalam hatinya. "Maksudmu, penyakit ini tidak hanya mempengaruhi tubuh mereka?"

Dika mengangguk pelan. "Jika apa yang kupikirkan benar, penyakit ini bisa mempengaruhi fungsi otak, mungkin menyebabkan halusinasi atau gangguan perilaku. Itu bisa menjelaskan beberapa perubahan yang kalian lihat pada para siswa."

Saat mereka melanjutkan pencarian, Dika menemukan sebuah map yang tertulis "Data Subjek" di depannya. "Ini bisa jadi kunci," katanya sambil membuka map tersebut. Di dalamnya terdapat daftar nama-nama siswa yang telah menjadi subjek eksperimen, lengkap dengan catatan medis mereka.

Alya terdiam saat dia melihat nama-nama itu. Beberapa di antaranya adalah teman-teman mereka sendiri, yang sekarang terlihat aneh dan berbeda setelah menjalani "pemeriksaan rutin." Rasa takut semakin nyata. Mereka tidak bisa mundur sekarang.

Namun, sebelum mereka bisa menyelesaikan pencarian mereka, suara langkah kaki terdengar mendekat. Jantung Alya berdegup kencang. Seseorang datang.

"Kita harus pergi," bisik Dika cepat.

Tanpa membuang waktu, mereka menyelinap keluar dari laboratorium dan naik kembali ke ruang kesehatan. Namun, kali ini, mereka tidak seberuntung sebelumnya. Saat mereka hendak keluar dari ruang kesehatan, pintu tiba-tiba terbuka, dan di sana berdiri Pak Ridwan dengan tatapan curiga.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan nada tajam.

Alya dan teman-temannya terdiam, jantung mereka berdegup kencang. Mereka tahu, satu langkah salah bisa membuat semuanya berantakan.


To be continued...

THE SILENT PLAGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang