Sebelum mulai baca, jangan lupa untuk vote dan tinggalkan komentar ya. Kalau ada typo atau kesalahan, jangan ragu kasih tahu, terima kasih sebelumnya!
Buat kalian yang baru pertama kali mampir di Wattpad-ku, jangan lupa follow agar tidak ketinggalan update cerita seru berikutnya!✧
Setelah kejadian di ruang kesehatan, Alya, Maya, dan Dika tahu bahwa mereka kini berjalan di garis tipis. Pak Ridwan, meskipun tidak menyebutkan apa-apa saat itu, pasti mencurigai mereka. Mereka harus lebih berhati-hati sekarang. Setiap langkah salah bisa mengungkap apa yang mereka lakukan dan membawa mereka pada bahaya yang lebih besar.
"Kita tidak bisa terus-terusan begini," keluh Maya saat mereka berkumpul di rumah Alya malam itu, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan yang terjadi. "Pak Ridwan tahu sesuatu. Aku bisa melihat dari tatapannya."
Dika mengangguk, wajahnya serius. "Benar. Kita harus bergerak cepat. Kita sudah punya bukti di tangan kita, tapi kita butuh lebih banyak untuk membuka semuanya."
Alya duduk diam, pikirannya melayang-layang. "Kita butuh bantuan lebih banyak orang. Tapi kita juga harus memilih orang yang bisa kita percayai. Kalau tidak, semuanya bisa berantakan."
Dika menatap Alya dengan pandangan tegas. "Kita sudah punya cukup banyak informasi sekarang. Jika kita bisa menyusup ke laboratorium lagi dan menemukan lebih banyak bukti, kita bisa memperlihatkan ini kepada orang yang tepat."
"Tapi siapa yang bisa kita percaya?" Maya menyela. "Sekolah ini sudah terkontaminasi. Kita tidak tahu siapa lagi yang terlibat. Mungkin bukan hanya Pak Ridwan, tapi bisa juga para guru lain."
Alya terdiam, merenung. Di saat seperti ini, dia merasa sendirian. Seolah-olah setiap orang di sekitarnya bisa menjadi ancaman. Bahkan teman-teman sekelasnya mulai tampak berbeda di matanya. Beberapa dari mereka mulai menunjukkan gejala aneh, seperti melamun terlalu lama atau berbicara dalam nada yang tidak biasa.
"Apa kita bisa melibatkan orang dari luar sekolah?" tanya Alya akhirnya. "Seseorang yang bisa membantu kita tanpa ada hubungan dengan sekolah ini?"
Dika menggeleng. "Itu terlalu berisiko. Orang luar mungkin tidak akan langsung mempercayai cerita kita. Mereka bisa saja melapor ke pihak berwenang atau bahkan menganggap kita gila. Kita harus menyelesaikan ini dari dalam."
Maya menghela napas panjang. "Kalau begitu, kita butuh rencana baru. Kita tidak bisa terus menyelinap seperti ini tanpa adanya langkah yang jelas. Ada terlalu banyak risiko."
Alya merasakan tekanan yang makin menumpuk di pundaknya. Meski begitu, dia tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. Jika mereka berhenti sekarang, siapa yang akan menghentikan eksperimen mengerikan ini?
Beberapa hari berikutnya, suasana di sekolah semakin mencekam. Beberapa siswa mulai menghilang tanpa penjelasan, dan rumor mulai beredar bahwa mereka yang hilang dikirim ke tempat perawatan khusus. Namun, Alya dan teman-temannya tahu lebih baik. Mereka yakin para siswa yang hilang itu adalah korban eksperimen.
Di tengah ketakutan yang semakin meningkat, Alya mulai memperhatikan sesuatu yang aneh pada dirinya. Setiap kali dia berada di sekitar siswa lain yang sudah terkena dampak penyakit, dia mulai merasakan sakit kepala ringan dan halusinasi samar. Ini bukan gejala biasa. Sesuatu yang lebih dalam sedang terjadi, sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari sekadar penyakit misterius.
"Apa menurutmu kita juga terinfeksi?" Alya bertanya pelan pada Maya suatu hari ketika mereka duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian.
Maya menoleh, matanya lelah. "Aku tidak tahu. Tapi aku juga merasa ada sesuatu yang salah. Sejak kita masuk ke laboratorium itu, aku merasa aneh."
Alya mengangguk, menekan pelipisnya yang terasa berdenyut. "Aku takut kita sudah terlalu dekat dengan sumber masalahnya. Mungkin kita juga akan menjadi korban jika terus begini."
Maya menelan ludah. "Kita harus keluar dari situasi ini secepatnya. Sebelum semuanya terlambat."
Namun, sebelum Alya bisa merespons, Dika datang dengan tergesa-gesa, wajahnya penuh kecemasan. "Aku baru saja mendengar sesuatu," katanya sambil duduk di samping mereka. "Pak Ridwan akan mengadakan pertemuan rahasia malam ini. Pertemuan dengan beberapa staf sekolah dan dokter-dokter dari luar. Aku pikir ini tentang eksperimen yang mereka lakukan."
Maya menatap Dika dengan mata terbuka lebar. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku mendengar percakapan mereka di ruang guru. Kita harus ada di sana. Ini kesempatan kita untuk mendengar apa yang sebenarnya terjadi."
Alya menatap Dika, merasakan kecemasan yang menjalar di tubuhnya. "Bagaimana kita bisa masuk tanpa ketahuan?"
Dika tersenyum samar. "Aku punya akses ke beberapa bagian sekolah. Aku bisa membawa kalian masuk ke ruang belakang di aula utama, tempat pertemuan akan berlangsung. Kita bisa mendengarkan tanpa diketahui."
Meski hatinya penuh ketakutan, Alya tahu ini adalah kesempatan yang tidak bisa mereka lewatkan. Mereka harus berada di sana, dan mereka harus mendengarkan semua yang dibicarakan dalam pertemuan itu.
Malam itu, dengan hati-hati, mereka bertiga menyelinap masuk ke sekolah. Gedung itu tampak jauh lebih menyeramkan dalam kegelapan, hanya diterangi oleh cahaya remang-remang dari beberapa lampu jalan yang ada di luar. Suasana sunyi yang mencekam melingkupi mereka saat mereka bergerak menuju aula utama.
Dika, dengan cermat, membawa mereka ke pintu belakang aula, tempat pertemuan akan diadakan. Mereka bersembunyi di balik pintu, mendengarkan setiap kata yang terucap dari dalam ruangan.
"Proyek ini sudah berjalan terlalu lama," suara Pak Ridwan terdengar jelas. "Kami harus segera menuntaskan eksperimen ini sebelum ada yang mencurigai. Sejumlah siswa sudah mulai menunjukkan tanda-tanda aneh. Jika kita tidak menyelesaikannya, situasi bisa lepas kendali."
Seorang dokter yang duduk di sampingnya menjawab. "Kami butuh lebih banyak subjek untuk uji coba lanjutan. Penyakit ini berevolusi lebih cepat dari yang kita duga. Kita tidak punya waktu."
Alya menggigit bibirnya, jantungnya berdegup kencang. Ini lebih buruk dari yang mereka duga. Penyakit itu bukan hanya berbahaya, tetapi juga diakselerasi dengan eksperimen yang dilakukan.
Suara lain, kali ini dari salah satu staf sekolah, berkata dengan nada dingin, "Jika ada siswa yang terlalu mencurigakan, kita harus menyingkirkannya. Tidak boleh ada yang membocorkan informasi ini."
Alya merasa tubuhnya menegang. Mereka sedang berada di tengah konspirasi besar. Dan jika mereka tidak berhati-hati, mereka bisa menjadi korban selanjutnya.
Saat mereka mendengarkan percakapan itu, Maya tiba-tiba menyentuh lengan Alya, ekspresi wajahnya panik. "Kita harus pergi sekarang. Mereka akan menemukan kita jika kita tetap di sini terlalu lama."
Alya mengangguk setuju, meskipun dia merasa belum mendapatkan semua informasi yang mereka butuhkan. Dengan hati-hati, mereka bergerak keluar dari aula, kembali ke lorong yang gelap dan dingin.
Namun, sebelum mereka berhasil keluar dari gedung, suara langkah kaki terdengar mendekat. Mereka berhenti seketika, saling bertukar pandang dengan rasa takut.
To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SILENT PLAGUE
HorrorDi sebuah kota kecil yang tenang, penyakit misterius mulai menyebar tanpa peringatan. Orang-orang yang terinfeksi tidak segera berubah menjadi mayat hidup, tetapi mereka perlahan kehilangan kesadaran, menjadi terobsesi dengan suara tertentu yang han...