Tangan-tangannya terborgol erat, tak ada sedikit pun celah untuk bergerak. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara detak jantungnya yang menggema di kepalanya. Di balik dinding kaca tebal, beberapa pria berjas putih mengamati dengan tatapan dingin, tanpa ekspresi. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya, membasahi wajahnya yang penuh ketakutan.
Pintu di sudut ruangan berderit terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi, dengan tatapan datar, masuk membawa sebuah suntikan yang berisi cairan biru pekat. Haknyeon melihat benda itu dengan ngeri, tubuhnya mulai bergetar. Dia tahu, cairan itu bukanlah sesuatu yang baik. Mencoba memberontak, dia meronta, mencoba meloloskan diri dari ikatan logam yang mencengkeramnya. Namun usahanya sia-sia, pria itu semakin mendekat.
Tanpa sepatah kata, pria tersebut meraih leher Haknyeon dengan kasar, menekannya ke kursi hingga nyaris tak bisa bernapas. Dengan tangan lain, dia menyuntikkan cairan biru pekat itu ke tubuh Haknyeon. Rasa sakit yang luar biasa segera menjalar, membuat mulutnya terbuka lebar dalam jeritan yang tertahan. Bola matanya berputar, mencoba memahami apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Detik berikutnya, cairan merah pekat mulai menetes dari hidungnya, diikuti dengan darah kental yang keluar dari mulutnya. Rasa sakit itu tak tertahankan, memaksa teriakan putus asa keluar dari tenggorokannya.
Beberapa saat kemudian, tubuh Haknyeon mulai melemah, kekuatannya terkuras habis. Dia terkulai lemas di kursi, matanya terbuka, namun yang terlihat hanyalah kegelapan. Manik matanya berubah menjadi hitam pekat. Pemandangan itu membuat pria-pria berjas putih yang mengamatinya sedikit panik. Mereka tak menyangka efeknya akan secepat dan seintens ini.
Dengan tergesa, salah satu dari mereka mengambil suntikan lain, kali ini berisi cairan berwarna kuning cerah. Tanpa basa-basi langsung menancapkan nya pada leher haknyeon, tubuh itu limbung dan tidak sadarkan diri.
Pria itu dengan kasar menyeret tubuh lemas haknyeon, membanting nya ke ruangan tertutup berdinding beton, yang bertuliskan 'H0903' lalu merantai kakinya.
Haknyeon perlahan membuka matanya, merasa seperti tenggelam dalam kabut tebal. Kepalanya berdenyut, dan butuh beberapa detik baginya untuk memahami di mana ia berada. Ruangan itu gelap dan dingin, dengan hanya sedikit cahaya yang menyelinap masuk dari celah di pintu baja di depannya. Ia merasakan berat di kakinya dan ketika ia mencoba menggerakkannya, suara rantai yang menyeret di lantai beton bergema pelan.
Kakinya diikat erat dengan rantai baja yang tebal, membuat setiap gerakannya terasa sulit dan menyakitkan. Ia duduk terdiam sejenak, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
Napas Haknyeon terasa sesak, dan hidungnya menangkap bau anyir yang menyengat. Ia melihat ke bawah, menyadari bahwa pakaian yang ia kenakan kini sudah ternoda oleh darah—darahnya sendiri yang telah mengering dan mengeras. Bau anyir itu melekat di setiap helai pakaiannya, bercampur dengan membuatnya semakin tidak nyaman.
Dengan tangan gemetar, Haknyeon menarik ujung jaketnya yang lusuh dan usang. Jaketnya terasa kasar di kulitnya, tapi ia terus menariknya hingga bisa menyeka dagunya yang lengket. Darah kering menempel di sana, menambah rasa jijik yang makin membebani pikirannya. Sisa-sisa muntahan darah dari sebelumnya kini menjadi kerak yang terasa kasar di dagunya, mengingatkannya pada kejadian yang baru saja ia lalui.
Haknyeon meludah berkali-kali, berusaha keras untuk menghilangkan rasa besi yang memuakkan dari mulutnya. Namun, setiap kali ia menelan ludah, rasa anyir itu tetap bertahan, seperti bayangan yang tidak bisa ia usir. Frustrasi dan putus asa, ia mengerang pelan, perutnya terasa mual seolah ada sesuatu yang berputar-putar di dalamnya. Pikiran tentang kejadian sebelumnya terlintas di benaknya, membuatnya semakin tidak nyaman.
Haknyeon perlahan menyeret dirinya ke sudut ruangan. Di sana, ia meringkuk, berusaha mencari sedikit kehangatan dan rasa aman meskipun tahu tempat ini tidak akan memberikannya. Bahunya bergetar pelan, karena dingin, dan juga karena ketakutan yang semakin merasuki hatinya.