Keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruangan itu mendadak terpecah oleh derap langkah kaki yang mendekat. Haknyeon tertegun, tubuhnya gemetar, dan pupilnya melebar ketakutan. la mencoba merangkak ke sudut ruangan, gesekan rantai besi dan lantai dingin itu bergema semakin menambah ketakutan nya.
Pintu besi terbuka dengan suara berderit, dan seorang pria dengan wajah datar masuk. Tanpa banyak bicara, pria itu membungkuk, membuka rantai yang mengikat kaki Haknyeon dengan paksa. Sebelum Haknyeon sempat berpikir untuk melawan, pria itu sudah menyeretnya keluar dari ruangan, membawanya ke tempat lain.
Tubuh Haknyeon yang lemas dibanting kasar ke atas bangsal logam dingin. la meringis kesakitan, ia merasa tubuhnya remuk. Di sampingnya, seorang pria paruh baya berdiri. Kaos tangan putih yang dikenakannya mencolok di bawah cahaya lampu. Di tangannya, ada sebuah benda kecil, mungkin sejenis chip, tapi Haknyeon tak tahu pasti.
Ketakutan dan kebingungan menyelimuti pikirannya. la tidak tahu apa yang akan dilakukan pria itu, tapi instingnya memberontak. Dengan sekuat tenaga, Haknyeon menendang ke segala arah, mencoba melawan. "Sialan, lepaskan aku, bajingan!" teriaknya marah, suaranya serak. la bahkan meludahi pria di depannya.
Alih-alih marah, pria itu justru tertawa pelan. Senyum dingin tersungging di bibirnya. Dengan perlahan, ia mengelus pipi dan bibir Haknyeon, membuatnya semakin jijik. "H0903, itu namamu, ya? Kau manis," kata pria itu dengan nada mengejek. Rasa jijik menjalar di tubuh Haknyeon.
Haknyeon kembali meronta hingga kekuatannya terkuras habis oleh rasa takut yang menyiksanya. Ia tidak lagi bisa melawan saat pria tua itu dengan perlahan menyingkap kaosnya, kulitnya yang dingin dan basah kini tersentuh oleh udara dingin ruangan. Napas Haknyeon semakin terengah-engah.
Pria tua itu kemudian membalik tubuh Haknyeon dengan mudah, memperlihatkan punggungnya yang telanjang. Di tangannya, dua chip kecil tampak berkilau di bawah cahaya ruangan. Tubuh Haknyeon gemetar hebat, ketakutannya semakin menjadi-jadi saat pria itu mulai meraba punggungnya dengan tenang, seolah-olah tengah memilih tempat terbaik untuk memasukkan chip-chip tersebut.
"Leher atau punggung," gumam pria itu, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Haknyeon. Tangannya terus menjelajahi kulit Haknyeon, menguji titik-titik di mana chip tersebut akan ditanam.
Haknyeon merasakan air mata mulai mengalir di wajahnya, bercampur dengan rasa mual. Ketidakberdayaan ini begitu menyiksa, dan pikiran akan apa yang akan terjadi berikutnya membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghentikan pria ini.
Pria tua itu berhenti sejenak, jarinya mengetuk perlahan pada leher Haknyeon, lalu pada punggungnya, seolah-olah sedang menimbang-nimbang keputusan yang tidak terburu-buru.
"Di mana kau ingin aku meletakkannya?" tanya pria tua itu, jarinya masih bermain di sekitar leher dan punggung Haknyeon.
Haknyeon mencoba meronta lagi, tubuhnya bergetar hebat dalam upaya untuk melepaskan diri. Setiap gerakan yang ia lakukan terasa lamban dan tak efektif, seolah-olah tubuhnya tak lagi mendengarkan perintahnya sendiri. Ketakutan menguasainya sepenuhnya, membuatnya semakin merasa tak berdaya.
Pria tua itu mengamati Haknyeon yang berusaha melawan, senyum tipis di wajahnya semakin melebar. "Ah, kau masih mencoba melawan?"
"Sayang sekali, sepertinya kau sudah kehabisan tenaga."
Dengan satu tangan, ia menahan Haknyeon di tempatnya, dan dengan tangan yang lain, ia memegang chip tersebut, menempelkannya perlahan pada kulit tengkuk Haknyeon.
Haknyeon bisa merasakan dinginnya chip itu menempel pada kulitnya, Pria tua itu akhirnya berhenti bermain-main. Dengan satu gerakan yang cepat ia menekan chip tersebut ke kulit tengkuk Haknyeon.
Pria tua itu menatap dengan penuh kegembiraan pada kulit Haknyeon yang terkoyak, darah segar mengalir keluar dari luka yang baru saja ia buat. Tanpa ragu, ia menundukkan wajahnya dan mulai menjilati darah itu, merasakan cairan hangat dan asin yang kini menempel di lidahnya. Setiap tetes darah yang ia jilat tampak memberinya kepuasan aneh yang tak dapat dipahami.
Namun, saat ia melanjutkan perilaku menjijikkan itu, sesuatu yang aneh terjadi. Pria tua itu tiba-tiba merasa ada yang tidak biasa.
la melihat luka di kulit Haknyeon, yang seharusnya masih terbuka dan berdarah, mulai menghilang di depan matanya. Kulit yang robek itu secara perlahan menutup kembali, seakan-akan waktu diputar mundur dan luka itu tak pernah ada. Hanya jejak darah yang tersisa, tetapi tidak ada bekas luka, tidak ada tanda-tanda bahwa kulit Haknyeon pernah terluka. Hanya tersisa jejak darah yang menetes pada kaos Haknyeon.
Pria itu bergerak mundur, ia menjauh dari Haknyeon yang masih telungkup di atas bangsal.Haknyeon terengah-engah, tubuhnya terasa lemas dan pikirannya kabur oleh rasa sakit yang masih menggelayuti dirinya. Dengan tangan gemetar, ia bangkit perlahan dari bangsal dingin, mengusap mulutnya yang basah dengan punggung tangan nya. Matanya menatap sayu ke arah pria tua di hadapannya, tanpa sepatah kata apapun.
Pria tua itu masih terkejut oleh kejadian luar biasa yang baru saja ia saksikan, mulai bertepuk tangan dengan perlahan, seolah-olah memberikan selamat kepada Haknyeon atas kemampuan aneh yang baru saja terungkap. "Wah, hebat,"
"Apakah cairan sialan itu yang mengubahmu menjadi seperti ini?"
Kata-kata pria tua itu menggema di telinga Haknyeon, tetapi sulit untuk dipahami. Kepalanya terasa semakin berat, berbagai ingatan acak mulai bermunculan dalam pikirannya seperti kilatan cahaya yang menyakitkan. Ingatan-ingatan itu tumpang tindih, campur aduk antara masa lalu dan masa kini, membuatnya bingung dan kesakitan. Ia merasakan denyut yang tajam di kepala, seolah-olah kepalanya dihantam oleh batu besar.
Dengan kedua tangan, Haknyeon memegangi kepalanya, mencoba menghentikan rasa sakit yang semakin menggila. Tetapi usahanya sia-sia. Perutnya berdesir, seakan seluruh tubuhnya sedang diaduk dari dalam. Pandangannya mulai kabur, dan perlahan-lahan, ia merasakan sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya.
Darah mulai menetes perlahan dari hidungnya, warna merah pekat yang kontras dengan kulit pucatnya. Haknyeon menyeka darah itu dengan tangannya, tetapi ia tahu ada yang salah. Rasa panas membakar di dalam kepalanya, dan saat ia memandang pria tua itu lagi, matanya—pupilnya—mulai berubah warna, menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, seperti kegelapan yang muncul dari dalam dirinya.
Pria tua itu mengamati perubahan itu dengan tatapan penasaran yang bercampur dengan kegembiraan. "Lihatlah dirimu,"
"Kau menjadi sesuatu yang lebih dari yang kami bayangkan." ia menatap haknyeon yang merintih kesakitan.