Bab 5

266 61 12
                                    


Bab 5AncamanAga



Mara tak bisa memalingkan wajah dari pria yang menatapnya tajam. Seolah ada kekuatan kasat mata yang memakunya di tempat. Menahan pandangannya. Ia tak tahu apa yang terjadi, tapi Mara bisa merasakan getaran tak bersahabat darinya saat ini.

Ia bersedekap sambil menatap pria berbatik lengan panjang di depannya. Dari ujung kaki hingga kepala, pria itu terlihat menarik, Mara tidak menampik itu. Dada bidang yang tercetak jelas membuatnya terlihat semakin menarik. Facial hair yang terpotong rapi menghias wajah dengan rahang kokoh. Rambut ikal tersisir rapi, meski beberapa helai jatuh di dahi membuat penampilan pria sedikit santai. Tapi yang membuatnya tak bisa berpaling adalah matanya. Meski saat ini menusuknya dengan tajam, tapi Mara bisa melihat ada kelembutan di sana. Namun, dari gesture tubuh, ia bisa melihat pria tanpa nama di depannya itu tak menyukainya.

"Are you checking me out?"

Mara mengengkus menyadari kebodohannya. "Maaf, sebenarnya kamu siapa, sih?!" tanya Mara tanpa menutupi nada jengkel yang terdengar jelas.

"Agastya. Aga," jawab Pria itu mengulurkan tangan padanya. "Dan Caca adalah satu-satunya perempuan yang aku sayang!" Tangan yang saat ini masih menunggu tak membuat Mara ingin menyambutnya. Kesan tak bersahabat yang Aga tunjukkan membuatnya ragu. "Aku enggak gigit, Asmara!"

"Jangan kira aku dengan mudah terima uluran tanganmu gitu aja, lah!" hardik Mara. "Beberapa saat lalu kamu ngancam aku, lho!" Meski bukan ancaman yang membahayakan nyawa, tapi Mara tetap ragu untuk menerima perkenalan Aga.

Hilang sudah wajah sinis atau aura tak bersahabat ketika tawa Agastya terdengar di ruang dengarnya. Suaranya berat khas pria, dengan sedikit serak yang Mara duga karena pengaruh rokok. "Aku ngerti kenapa Dipa sesulit itu untuk ngelepas kamu."

Mendengar nama Dipa, Mara kembali memandang ke atas panggung. Mengabaikan uluran tangan Aga dan tak mempedulikan meski saat ini pria itu menatapnya tajam penuh kebencian. "Aku bukan ancaman buat mereka. Setidaknya hingga saat ini, aku enggak terpikirkan untuk ngelakuin sesuatu," ucapnya sengaja tanpa melepas pandangannya. "Kalau hatiku memilih Mas Dipa, aku enggak akan menolak ketika pertama kali dia memintaku untuk menikah dengannya, kan!"

Mara bisa merasakan perhatin Aga kembali padanya. Setelah beberapa saat lalu keduanya menatap ke atas panggung. "Kenapa nolak kalau gitu?" Mendengar pertanyaan yang terasa terlalu personal untuk dua orang yang tidak saling mengenal membuat Mara menaikkan alis. "Kenapa?" tanya Aga tanpa malu.

"Kamu biasa tanya sesuatu yang sifatnya pribadi begitu sama orang asing?!" tanyanya heran. Kejengkelan yang saat ini dirasakan, pasti jelas terlihat di wajahnya. Namun, Aga tak terlihat terganggu.

Meski ia tak memberi izin, Aga mendekat dan berdiri tepat di sampingnya. Hanya berjarak beberapa centi membuat Mara bisa menghirup aroma parfum yang menguar dari tubuh Aga. "Kita bukan orang asing, kan? Aku tahu nama kamu Asmara dan kamu tahu namaku Aga."

"Meski begitu bukan berarti kamu bukan orang asing bagiku!" ucapnya dengan jengkel. Mara melangkah menuju pintu keluar. Ia memilih untuk menjauh dari semua karamaian pesta pertunangan Dipa dan Caca. Membawa rasa sedih yang ada di hati semenjak mendengar kabar pertunangan itu.

"Kamu cinta sama Dipa?!" Kakinya terhenti seketika mendengar pertanyaan Aga. "Aku tahu itu." Menghitung hingga sepuluh sebelum membalik badan, Mara melihat wajah Aga tanpa senyum seperti beberapa saat lalu. "Aku tahu kamu cinta Dipa."

"Sok tahu!" jawabnya ketus. Mara membalik badan dan kembali meneruskan langkah menuju area parkir. Namun, suara langkah yang terdengar di belakangnya membuat Mara kembali berhenti. "Mau kamu apa sih?!"

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang