Bab 6

173 36 9
                                    


Bab 6Makanmalam



Mara tak pernah merasa bingung seperti saat ini. Ia merasa tidak seperti diri sendiri. Sepanjang hari, Dipa mengisi pikirannya setiap saat. Menyelinap masuk di sela-sela pekerjaannya. Sesuatu yang belum pernah terjadi, karena selama ini, Mara jarang memikirkan Dipa seperti saaat ini.

Dalam pikirannya, ia menghabiskan waktu bersama Dipa. Melakukan semua hal yang tak pernah ia bayangkan. Mara membayangkan melakukan persiapan pernikahannya dan Dipa. Gaun yang akan dipakainya. Desain undangan yang mewakili mereka berdua. Dekorasi dan rangkaian bunga yang mengisi ballroom dengan ratusan bahkan ribuan undangan. Seketika tubuhnya terhenyak menyadari lamunannya.

Sisi rasionalnya berkata, pertunangan Dipa adalah jalan yang terbaik untuk semuanya. Ia harus mundur dan membiarkan semua berjalan seperti adanya. Namun, sisi emosionalnya menolak untuk diam dan melewatkan semua berlalu begitu saja. Ada rasa takut kehilangan semua yang bisa Dipa tawarkan. Sebuah rasa yang kerap muncul dan mengganjal hati semenjak perceraian kedua orang tuanya.

Meraih ponsel yang selama satu jam terakhir menjadi pusat kegalauannya. Mara menimbang kembali pilihan yang ada di kepalanya. Ia tak ingin menjadi perempuan egois yang tak tahu kapan waktu untuk berhenti. Namun, ia juga tak ingin menjadi perempuan bodoh yang melewatkan kesempatan begitu saja.

Tak ingin semakin lama bertarung dengan isi hati, Mara menghubungi satu-satunya orang yang semenjak pagi mengisi pikirannya. "Non, kenapa?" Suara Dipa menyambutnya di dering kedua seperti kebiasaannya selama ini. Nada kuatir yang terdengar jelas membuat Mara tersenyum, ada rasa puas karena masih menjadi prioritas Dipa. "Kamu di mana?"

"Masih di kantor. Males pulang." Mara bukan perempuan yang suka menghabiskan waktu mengelilingi Mall. Namun, sesekali, terkadang ia memilih untuk mengisi waktu dengan berjalan tanpa arah di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Surabaya. "Bisa ketemuan?" tanyanya memberanikan diri.

Selama ini ia jarang meminta Dipa untuk bertemu. Bahkan selama ini pertemuan mereka selalu diawali dengan permintaan Dipa. Terkadang alasan pertemuan mereka karena Dipa memaksa untuk mengantarnya kemana-mana. Atau karena Dipa memintanya untuk menemani belanja. Meski terkadang Mara harus mengubah waktu kepergiannya dan menyesuaikan dengan jadwal kerja Dipa. Namun, malam ini, Mara ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama ini.

"Tempat biasa?" tanya Dipa menyebut salah restoran di Tunjungan Plaza tempat mereka sering menghabiskan waktu makan malam di sana. Mendengar hal itu, Mara tak membutuhkan waktu lama untuk menyetujuinya. "Tapi, aku enggak bisa jemput, ketemu di sana aja, ya. Taxi!" perintah Dipa.

"Mas," kata Mara bersiap untuk melayangkan protes. "Aku masih bisa nyetir sendiri, lho." Siapa pun yang mengenalnya, mengetahui kecintaannya pada perjalanan darat. Menyetir membelah jalanan membawa kesenangan tersendiri bagi Mara. "Mas, kan, tahu aku lebih suka nyetir sendiri."

"Dan kamu tahu kalau aku selalu kuatir kalau kamu nyetir sendiri!" jawab Dipa tegas. "Dan aku lebih suka kalau kamu naik taxi, jadi bisa antar kamu pulang, Non."

Mara bersiap untuk membantah, ketika ia teringat alasan di balik ajakannya malam ini. "Iya iya ... taxi, Mas," jawabnya dengan suara yang tanpa ia sadari berubah manja.

"Non, kam—"

"Mas Dipa percaya enggak kalau aku bilang kangen," selanya. Tidak ada suara di ujung sambungan. "Pasti enggak percaya. Aku aja enggak percaya." Mara memutuskan untuk mengatakan apa yang dipikirkannya.

Tamat (PROSES CETAK - DIHAPUS SEBAGIAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang