I hope u guys don't expect to much, but i will try my best so enjoy 💕
____
Sabtu, 12 Agustus 2020Jeevika Dhiajeng Rembulan. Nama yang terdengar indah, bukan? Mereka biasanya memanggilku dengan nama belakangku, "Rembulan" atau sekedar "Lan". Nama yang seolah menyimpan misteri malam, membawa cahaya lembut di tengah kegelapan. Namun, di balik nama yang menawan itu, hidupku terasa seperti sebuah kanvas yang belum terjamah, putih bersih tanpa goresan sedikit pun, menanti dengan sabar untuk diberi warna.
Aku, sang pemilik kuas, berdiri di hadapan kanvas itu, namun tangan ini masih ragu untuk bergerak. Kuas-kuas itu tergeletak di sana, siap untuk menciptakan dunia baru, namun entah mengapa, aku belum pernah sekalipun menyentuhnya. Mereka seolah menunggu sesuatu yang disebut tinta, substansi ajaib yang akan memberi mereka makna dan kehidupan.
Tapi, tinta itu, yang seharusnya mengalir lembut dan mengisi kekosongan, masih menjadi misteri bagiku. Seperti apakah tinta itu? Apakah ia hitam pekat seperti malam yang tak berbintang.
Atau mungkin merah menyala seperti senja yang berkobar di ujung cakrawala? Apakah warnanya akan sesuai dengan kuas yang kupegang, atau justru bertentangan, menciptakan kekacauan di atas kanvas yang kosong ini?
Aku hanya bisa menebak-nebak, mengandai-andai tentang tinta yang belum pernah kulihat, tentang harmoni yang mungkin tercipta antara kuas, kanvas, dan warna yang belum kujumpai.
Setiap hari, pertanyaan itu menggantung di benakku, seperti kabut tipis yang menyelimuti pagi—tak terlihat jelas namun terus terasa.
Mungkin, hidupku memang seperti kanvas itu, menunggu momen yang tepat, saat di mana tinta yang tepat akan datang dan mengubah segalanya. Mungkin, aku hanya perlu lebih bersabar, membiarkan waktu yang akan membawa jawabannya.
Atau mungkin, tinta itu sudah ada di sana, dalam diriku sendiri, menunggu untuk ditemukan, menunggu untuk dituangkan ke atas kanvas yang selama ini kosong.
Dan saat itu tiba, aku berharap bisa melihat lukisan yang menakjubkan—sebuah karya seni yang mencerminkan seluruh perasaan, mimpi, dan keajaiban yang tersembunyi di balik nama "Rembulan".
Pukul, 07:30
Pagi itu, saat semua orang di rumah memulai aktivitas dan rutinitas mereka, di balik pintu kamar yang berwarna hijau—yang kusebut warna Ngejreng —disana diriku yang masih aktif menekan jari di ponsel yang sudah ku anggap teman sendiri. Mungkin kalian mengira aku belum pernah tidur. Yap, benar.Sejak pembelajaran dipindahkan ke rumah, hubungan ku dengan ponsel telah berubah menjadi sesuatu yang bisa disebut sebagai love-hate relationship. Ponsel ini, benda kecil yang seolah menjadi perpanjangan dari diriku, kini memainkan peran yang lebih besar dari sekadar alat komunikasi.
Ia adalah jendela yang menghubungkanku dengan dunia luar, ruang kelas virtual tempat aku belajar, dan teman setia yang selalu ada di genggaman. Sangat membantu, memang—seolah menjadi penyelamat di tengah kesendirian, penghubung yang menjauhkan rasa terasing.
Namun, di balik segala manfaatnya, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan. Ponsel ini, dengan segala daya tariknya, sering kali membuatku lupa akan waktu.
Detik demi detik berlalu tanpa kusadari, jam berubah menjadi hari, dan hari berubah menjadi minggu, sementara aku terperangkap dalam layar kecil yang memancarkan cahaya biru.
Dalam kenyamanannya, aku sering kali tenggelam, terhanyut dalam aliran informasi yang tiada henti, sampai-sampai lupa akan dunia nyata di sekitarku.
Dramatis, memang. Tapi mau bagaimana lagi? Ini adalah zaman di mana teknologi memegang kendali, di mana layar digital menjadi pintu masuk menuju realitas yang baru—realitas di mana jarak terasa lebih dekat namun emosi semakin terjauhkan.
Ponsel ini memberiku kebebasan, namun juga mencuri kebersamaan. Ia membantuku menemukan jawaban, namun juga membuatku lupa akan pertanyaan yang sebenarnya ingin kutanyakan pada diriku sendiri.
Ada saat-saat di mana aku merindukan kehidupan sebelum semua ini terjadi—ketika waktu terasa lebih lambat, ketika pertemuan terjadi dengan tatapan mata dan bukan hanya dengan pesan singkat.
Tapi, di saat yang sama, aku juga tak bisa melepaskan diri dari kenyataan bahwa ponsel ini adalah bagian dari hidupku sekarang, bagian dari diriku yang telah beradaptasi dengan dunia yang terus berubah.
Dan dalam kerumitan ini, aku hanya bisa mencoba menyeimbangkan keduanya—menerima kenyataan bahwa ponsel ini adalah alat yang powerful, namun juga mengingatkan diri untuk tetap terhubung dengan dunia nyata, dengan waktu yang terus berdetak di luar layar.
*Ting!* Notifikasi WhatsApp yang tak kunjung ku tunggu akhirnya muncul juga. Pesan dari Ibu Fatma tertera di layar:
"Kelas IPA 4, seperti biasa, jangan lupa catat materi yang Ibu kirim dan kirimkan bukti kalian sedang mengerjakan. Jangan curang menggunakan foto lama, karena Ibu pasti tahu!"
Begitulah isi pesan dari Ibu Fatma, sederhana namun penuh peringatan.
Seperti makan sehari hari selama 6 bulan, pembalajaran di rumah yang kemarin ku kira bakal seru nyatanya bertemu dan berinteraksi dengan teman kelas lebih baik pikirku.
Setelah melakukan kegiatan yang ku sebut Home schooling ala negri. Aku turun ke bawah untuk mengisi perut.
Rumahku bisa dibilang sangat random; di lantai atas penuh dengan warna biru, sementara di bawah didominasi warna hijau dengan kuning dan yang lucu di luar sendiri berwarna ungu full.
Entahlah, filosofi apa yang mendasari orang tuaku dalam mendesain rumah ini.
"Kak Lan!" Panggil adik ku Btari Dhiajeng Lentera,
"iya kenapa ra?" Jawab ku dengan melihat Lentera di depan pintu kamar mandi
"boleh mintol ngak?" Tanya lentera dengan wajah polos yang dengan cepat ku tau maksudnya
"handuk kan?!" Jawab ku malas.
"ketebak banget ra habit lo" kataku sambil membawa handuk dan disana lentera hanya cengengesan "heheh makasih ya my lonely sister" ucap lentera mengejek setelah mendapatkan handuknya.
Beginilah kegiatan ku setiap harinya Zoom, makan dan tidur, Sebagai orang Extrovert ini bakal jadi kegiatan yang membosankan. Aku tidak ingin tenggelam dalam kebosanan yang menghimpit, jadi aku mulai merencanakan sesuatu.
Dengan akhir pekan yang menjelang, aku memutuskan untuk keluar, momen berharga yang akan ku manfaatkan untuk mengubah suasana. Kegiatan sehari-hari yang membosankan ini harus diubah, setidaknya untuk sementara waktu, agar aku bisa kembali merasa hidup dan bersemangat....
Continued
Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
If You Could See it From My POV
General FictionMereka mengatakan aku berubah, namun aku menyukai diriku setelah kedatangan dia-dia yang kusebut bahagia. Dia datang tanpa izinku awalnya, dengan cara uniknya melihat dunia. Semua yang belum pernah dan tidak ku sangka akan kurasakan, di saat segala...