____
Sabtu, 19 Agustus 2020Minggu berikutnya, pagi datang dengan langit yang sedikit mendung. Cahaya matahari hanya tersisa samar-samar, tertutup awan yang bergulung lembut di angkasa. Aku bangun dengan rasa malas yang masih membungkus tubuhku, tapi suara alarm yang terus berdering memaksaku untuk menyeret diri dari tempat tidur.
Setelah meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal, aku melihat beberapa notifikasi yang menumpuk. Dan seperti yang sudah kuduga, ada satu pesan dari Ibu Fatma lagi.
*Ting!* Notifikasi WhatsApp itu muncul, kali ini terasa lebih awal dari biasanya. Aku membuka pesan itu dengan setengah mata yang masih terpejam.
Aku menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan energi untuk memulai hari. Tugas baru ini muncul seolah menjadi rutinitas yang tak terhindarkan—menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang kini dijalani dari balik layar.
Setelah membaca pesan dari Ibu Fatma, perhatianku tiba-tiba teralihkan oleh notifikasi dari Instagram. Nama yang muncul di layar bukanlah seseorang yang biasa berinteraksi denganku, namun ada sesuatu yang familiar dengan nama itu—seolah aku pernah mendengarnya di suatu tempat.
"Altair Sanjana Baskara" baca ku dalam diam,
Nama yang tertera dalam bio akun instagram tersebut.Aku terpaku sejenak, jempolku menggantung di atas layar, ragu-ragu antara membuka notifikasi itu atau mengabaikannya. Namun, rasa penasaran perlahan menguasai pikiranku. Dengan sedikit ragu, aku membuka pesan tersebut, mencoba mengingat di mana aku pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Di dalam ruang chat Instagram, muncul pesan dari pria yang tadi.
"Hai, aku yang minggu lalu di tukang bakso. Aku dapat IG kamu dari kakakmu. Ternyata kamu adiknya Sagita lembana."
Pesan itu sederhana, tapi cukup membuatku terkejut. Aku terdiam sejenak, mengingat momen minggu lalu di warung bakso Mang Wahyu.
Pria itu—yang secara singkat menanyakan namaku dan pergi begitu saja—ternyata tidak berhenti di situ. Sekarang, dia muncul kembali melalui pesan di sosmed, membawa serta keakraban yang tak terduga.
Ternyata dia mengenal kakakku lebih tepatnya my step sister from my mother. Setelah membaca pesan dari pria itu, aku merasa sedikit ragu dan bingung. Meskipun ada rasa penasaran yang tersisa.
Aku merasa tidak ingin terlibat lebih jauh. Aku tidak merasa perlu menjalin hubungan atau komunikasi lebih lanjut dengan orang yang baru kutemui secara singkat di warung bakso.
Aku memilih untuk tidak membalas pesannya dan hanya melihatnya, fokus pada kegiatan lain yang lebih penting. Sometimes, mengabaikan pesan yang tidak relevan atau tidak diinginkan adalah pilihan terbaik untuk menjaga keseimbangan dan fokus dalam rutinitas sehari-hari. Dengan tekad itu, aku melanjutkan aktivitas pagiku dan meninggalkan urusan dengan pria itu di belakang.
Malam pun tiba dengan tenang, hanya diterangi cahaya lampu kamar yang lembut. Aku sedang duduk di meja belajar, menyelesaikan beberapa tugas terakhir sebelum tidur, ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kakakku, Sagita, masuk dengan langkah ringan dan senyum lebar di wajahnya.
"Hi, Lan," sapanya dengan nada ceria. "Aku baru pulang dari luar. Ada yang bisa Kakak bantu?"
Aku tersenyum dan menatapnya. "Oh, hai, Kak. Enggak, cuma lagi ngerjain beberapa tugas. Ada yang bisa aku bantu?"
Sagita melangkah lebih dekat dan duduk di tepi ranjangku, tampak ingin berbagi sesuatu. "Sebenarnya, ada yang ingin Kakak bicarakan. Teman Kakak, yang beberapa waktu lalu kamu temui di warung bakso, dia—" Sagita berhenti sejenak, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati, "—dia tanya tentang kamu. Katanya dia tertarik untuk lebih kenal dan mungkin berteman."
Aku merasa sedikit terkejut. "Oh, begitu ya? Kenapa Kakak baru bilang sekarang?"
Sagita mengangguk. "Sebenarnya, dia meminta Kakak untuk menyampaikan sesuatu. Dia merasa mungkin ada baiknya jika kamu dan dia bisa berteman atau bahkan lebih dari itu.
Kakak hanya ingin memastikan kalau ini tidak mengganggu kamu. Kalau kamu tidak nyaman, Kakak bisa bilang ke dia."
Aku terdiam sejenak, mencerna informasi itu. "Kakak tahu kan kalau aku belum siap untuk berhubungan atau berkenalan dengan orang baru, terutama yang tidak ku kenal dengan baik?"
Sagita mengangguk penuh pengertian. "Iya, Kakak mengerti". Ini semua hanya usul dari temannya. "Kalau kamu merasa tidak nyaman, Kakak bisa mengaturnya." ucap sagita pelan
Aku merasa lega mendengar bahwa Sagita memahami posisiku. "Thank you, Kak. Aku rasa aku lebih suka fokus pada hal-hal lain dulu, seperti tugas dan belajar."
Sagita tersenyum, tampak senang karena bisa mendukung keputusan adiknya. "Baiklah, kalau begitu. Kita bisa bicarakan lagi kapan-kapan. Yang penting, jangan ragu untuk bilang kalau ada sesuatu yang Kakak bisa bantu."
Dengan itu, kami melanjutkan percakapan ringan sebelum akhirnya Sagita pamit untuk beristirahat. Kehadiran dan dukungannya malam itu memberiku rasa tenang, serta mengingatkanku bahwa aku tidak perlu terburu-buru dalam hal apapun, termasuk urusan pertemanan atau lainya yang belum tentu aku butuhkan saat ini.
Continued
Agustus 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
If You Could See it From My POV
General FictionMereka mengatakan aku berubah, namun aku menyukai diriku setelah kedatangan dia-dia yang kusebut bahagia. Dia datang tanpa izinku awalnya, dengan cara uniknya melihat dunia. Semua yang belum pernah dan tidak ku sangka akan kurasakan, di saat segala...