Prolog

4 1 0
                                    

Prolog

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prolog

Mungkin lebih baik kalau bersama Prabu


-



"Bentar deh, Rin, aku masih belum bisa mencerna omongan kamu tuh lho, Rin, ndak make sense," ujar Salma dengan muka semerah tomat, penggaris ditangannya dia arahkan ke undangan di lantai kamar, "Kamu tuh pacaran enam tahun dibohongin, diselingkuhin, ditinggal ndak dikasih penjelasan sama si Dimas bajilak itu dan kamu masih mau datang ke acara nikahannya dia!? Masokis ta kamu tu selama ini?"

"Yang udah lewat ya biar lewat sih, Sal. Mungkin ya ini closure dari Tuhan biar aku nggak nyangkut di Dimas terus. Aku juga Insyaallah ikhlas kok."

Salma melempar tubuhnya ke kasur, menutup wajah dengan bantal sebelum teriak kesetanan. "Klosar-klosur mbahmu cuk! Dimas tuh jahat sama kamu, Rin! Kalau ndak gara-gara janji-janji nya dia kamu harusnya sekarang udah bahagia di Australia sama suami bule dan dua anak lucu! Kalau ndak  karena egonya dia kamu harusnya lagi nyusun thesis atau lagi kasih makan kangguru di belakang rumah!"

"Loh ya aku bahagia kok, Sal, di Indonesia. Di Aussie ga ada kamu."

"Sumpah ya, hatimu tuh terbuat dari apa ya, Rin? Eman-eman  banget dikasih ke sapi mojokerto. Udah dicurangin sama Dimas segitunya aja kamu masih mau baik. Atau jangan-jangan kamu udah dicuci otak ya sama si kutu laut itu!? Jawab yang jujur kenapa!?"

Benar juga, kenapa ya?

Aku cuma bisa tertawa merespons praduga-praduga konyol yang tanpa henti dilemparkan Salma setiap hari. Bagiku enggak ada alasan khusus untuk tetap berlapang dada bahkan dengan semua hal buruk yang Dimas lukakan. It just, he used to be the king in my city before i realized that he's the one has been burning each of my town.

Pun aku memaklumi rasa kesal Salma, Ia banyak melihat dan mendengar hal-hal buruk yang Dimas lakukan selama enam tahun hubungan kami itu. Tapi di sisi lain, banyak pula kenangan baik yang tidak tersampaikan ke telinga dan mata Salma. Sahabatku itu melihat dengan kacamata kuda dengan fokus menyembuhkan bekas luka yang ditinggalkan oleh Dimas di seluruh bagian dariku, fisik dan psikis. Tapi aku sudah berdamai dengan diri dan Salma harus mulai berdamai juga dengan semua kenangan buruk dari Dimas.

Lagipula, aku percaya semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, ketiga, atau seberapa banyak pun dia pantas. Berbuat baik dan memaafkan kesalahan orang lain itu hal dasar yang harus dilakukan oleh semua orang. Untuk urusan karma dan balas dendam, bagiku itu ranah Tuhan. Bukan aku--manusia yang berhak menetukan layak atau tidaknya untuk menghukum dan menilai manusia lain. Sebagai manusia aku cuma bisa berdoa agar dilapangkan dadaku dan diluaskan lautan sabarku. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Two Hearts on the FloorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang