|
|
|Happy reading~
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi rasa sepi dalam diriku semakin bertambah. Aku mencoba menjalani rutinitas sehari-hari dengan normal-berangkat ke sekolah lalu pulang, belajar, berlatih menggerakkan kaki semampuku, dan sesekali bermain dengan teman-teman. Tapi ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang dulu menjadi bagian dari hidupku yang paling penting dan berharga-persahabatan dengan Rinda.
Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kami benar-benar berbicara. Dua bulan berlalu sejak kecelakaan itu, dan sejak saat itu, hubungan kami perlahan-lahan merenggang hingga akhirnya hanya tinggal bayangan. Di sekolah, kami hanya sekadar lewat, bahkan untuk menatap satu sama lain pun terasa canggung. Aku rindu saat-saat di mana aku bisa bicara dengannya tanpa ada rasa sungkan atau jarak di antara kami.
Setiap kali aku melihat Rinda di koridor sekolah atau di kelas, ada dorongan kuat untuk menghampirinya, mengajaknya bicara, dan mengingatkan kembali tentang semua kenangan yang pernah kami bagi. Tapi nyatanya, itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Setiap kali aku mencoba mendekat, Rinda tampak menghindar-entah dengan berpaling atau dengan memusatkan perhatiannya pada orang lain, seringkali Ersan.
Namun, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Meski hubungan kami kini berada di titik nadir, aku tetap memaklumi keadaannya. Aku tahu dia butuh waktu untuk sembuh dari trauma yang dialaminya. Itu bukan hal yang bisa diselesaikan dalam semalam. Maka dari itu, aku memilih untuk memberinya ruang. Aku tidak lagi memaksakan diri untuk terus mendekatinya. Sebaliknya, aku menunggu-menunggu dengan sabar, meskipun terkadang rasa sepi itu terasa menghimpit.
Kabar bahwa Rinda akhirnya mau berobat ke psikolog datang dari Tante Mara, ibunya Rinda. Mendengar hal itu, ada sedikit kelegaan di hatiku. Setidaknya, dia mengambil langkah untuk memulihkan dirinya. Itu lebih baik daripada terjebak dalam trauma tanpa jalan keluar. Aku hanya bisa berharap bahwa dengan waktu dan bantuan profesional, dia akan kembali menjadi dirinya yang dulu-atau setidaknya, menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri.
"Hai, Rin," tegurku pelan saat menghampirinya di meja kantin. Aku tak tahan kalau hanya lewat di depannya saja. Kebetulan sekarang sedang jam istirahat dan Rinda sedang duduk sendiri. Mumpung ada kesempatan aku langsung mendekatinya. "Di sini kosong, gue boleh duduk, kan?"
Dengan hati-hati aku meminta izin padanya. Rinda cuma melirik sebentar tanpa menjawabku. Dia kembali sibuk dengan mangkuk makanannya.
"Berarti tandanya boleh."
Tanpa basa-basi lagi aku mendudukkan diri di seberang meja menghadap Rinda. Sahabat ku yang cantik itu cuma menunduk sambil mengaduk-aduk mi. Dia diam begitu pula dengan ku yang hanya memerhatikan wajahnya yang lama tidak kulihat sedekat ini.
"Baso lo keburu dingin tuh," celetuk Ersan yang tiba-tiba muncul dengan dua botol air mineral di tangannya. Kontan aku menoleh sambil pasang tampang kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
To be okay
Teen Fiction"Gieon, kita nggak usah ketemu lagi...anggap aja gue nggak pernah ada dalam hidup lo." Gieon Pancakara punya dua mimpi besar: jadi atlet voli nasional dan tetap dekat dengan Rinda Ariana, sahabat yang selalu membuat harinya penuh warna. Tapi semuany...