02. Tekad yang bulat

2 0 0
                                    

Hello! Sebelum membaca, Author ingin mengucapkan terimakasih pada kalian yang masih mau baca cerita ini, dan author mau menyampaikan sesuatu, bahwa di bab 1 kemarin ada beberapa yang diubah, jadi bisa di lihat kembali ke bab 1 agar tak bingung dengan alur nya <3.

Kalau ada typo atau kekurangan, tolong kasih tahu yaa!

Terimakasih.

Selamat Membaca!


Damien terduduk ditanah, tatapan nya tampak kosong dan hampa, dunia ini tampaknya tak berarti lagi baginya, pikirannya hanya diisi dengan kekosongan..

Sebuah api unggun berkobar dihadapannya, sinar nya memancar mengenai tubuh Damien dan hangatnya melindungi dari dinginnya udara.

Damien termenung, sedari tadi mulutnya terkunci rapat, dan tak berbicara sedikitpun, ia melamun sejenak sembari memikirkan kejadian itu..

Akan tetapi, suara parau dan berat terdengar ke telinga nya, sehingga membuat nya tersadar dari lamunannya. Tubuhnya terangkat sedikit karena terkejut.

"Hei, apa yang sedang kau pikirkan?" ucap pria itu.

Pria ini..

"Tidak ada." ucapnya seraya tersenyum grogi.

Pria itu hanya mengerut heran, sebelum akhirnya menyenggol bahu Damien dengan bahunya.

"Jangan melamun seperti itu, kita ada di hutan, bisa-bisa kau kesurupan, kau tahu?" canda pria tersebut, berusaha memecahkan kesunyian.

Damien hanya tersenyum, namun ia tetap diam. Tatapannya tetap tertuju pada kobaran api saat ia menghangatkan diri.

"Oh ya, kita belum berkenalan. Kau belum tahu siapa diriku, benar?" ucapnya, berusaha mencairkan suasana yang hening.

"O-oh, ya, benar. Uh, Namaku damien, Tuan." ucapnya dengan gugup.

"Ah, namaku Riel. Senang bertemu dengan mu."

Damien tersenyum tipis, ia merasa mulai agak akrab dengan pria ini. Setelah itu, Riel kembali berbicara.

"Ngomong-ngomong, aku ingin menanyakan sesuatu. Apa kau masih ingat..tentang kejadian yang menimpa dirimu?" tanya Riel.

Ekspresi Damien yang tadinya diisi dengan senyuman kini berubah, ia mengernyit dan menatap Riel.

"Tentang kedatangan iblis itu..?"

"Entahlah, pada awalnya..warna awan berubah menjadi merah, begitu pula dengan air hujan yang turun, dan setelah itu..kekacauan terjadi," kata Damien.

Riel mengangguk, mendengarkam dengan seksama penjelasan yang diucapkan nya.

"Dan ya, seperti yang anda tahu, mata kiri ku sekarang tak bisa digunakan, lalu..I-ibuku pun menjadi korban." lanjutnya sembari menitikkan air mata.

Tatapan Riel sedari tadi terfokus ke arah tanah seraya memasang telinga untuk mendengarkan penjelasan Damien, namun fokusnya tergoyahkan ketika suara isak tangis yang dikeluarkan Damien terdengar ke telinga nya.

Ia menoleh dan merasakan rasa iba pada bocah ini, senyuman menenangkan terpasang di mulutnya. Ia mendekati Damien dan mengusap-usap punggungnya, menciptakan lingkaran menenangkan disana.

"Hei, aku tahu apa yang kau rasakan, bocah kecil," ucapnya menenangkan.

"Tapi menangis tidaklah membantu untuk menyelesaikan masalah," katanya.

"Semuanya akan sia-sia jika kau hanya terus mengeluarkan air mata." Lanjut Riel, kemudian mengulurkan lengan nya ke depan, sehingga sebuah Pedang muncul di tangan nya.

"Meratapi nasib berlebih itu bukanlah hal yang baik, berpikirlah cara untuk merubahnya sehingga bisa menciptakan sesuatu yang indah."

Saat itu, Riel memberikan pedang tersebut ke arah Damien, senyumannya semakin lebar dan meyakinkan.

"Ubahlah rasa sedih mu menjadi kekuatan, sehingga kau bisa membalas perbuatan mereka atas kematian ibumu." ujar Riel, mencoba memberikan dorongan semangat padanya.

Mata Damien melirik pedang itu, dengan hati-hati ia meraihnya. Riel melepaskan tangan nya dari punggung Damien dan membiarkannya untuk mengamati pedang tersebut.

Matanya mengamati setiap detail yang ada di pedang itu, hiasan pernak-pernik yang ada di pedang  memancarkan cahaya ditengah gelap, bahkan bilah pedang ini dilapisi oleh emas murni.

"Ini..ini mengagumkan.." ucapnya seraya mengelus-elus pedang itu dengan hati-hati.

Namun saat itu, tiba-tiba Riel meletakkan tangannya di bahu Damien dan berkata sesuatu.

"Keputusan ada ditangan mu, Damien. Balas atau ditindas. Kau bebas tuk memilih."

Mulut Damien tetap terkunci, bahkan pandangan nya tak bisa dialihkan dan hanya terfokus pada pedang yang indah itu.

Wajah Damien yang tadinya dipenuhi isak tangis kini berubah menjadi ekspresi serius, bahkan ada kilatan tekad di matanya.

Riel kembali bertanya. "Jadi.. bagaimana? Apa keputusan mu?"

"Baiklah...Keputusanku sudah bulat, Tuan. Aku akan akan membalas. Aku tak terima jika kematian ibuku hanyalah hal yang sia-sia. Mahluk itu pantas untuk mati, mati bersama orang-orang yang mereka bunuh, termasuk ibuku."

Damien pun memasang ekspresi serius, ia merasa yakin dengan keputusan nya kali ini.  Ekspresi Riel menunjukkan kepuasan, sebuah senyuman puas terpampang diwajahnya.

"Kau telah mengambil keputusan yang bijak, Damien."

To be continued

― Makasih sudah baca yaww, maaf kalau author satu ini jarang up, karna.. author masih malu-malu buat publish bab kelanjutan nya, hehe :>

Punya saran atau kritik? Kasih tahu saja! Author akan meresapi kritikan dan saran kalian..lalu mencoba menerapkan nya ke cerita ini <3

Sekian terima kasih <3

-Author

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Destroy Them Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang